Jakarta, CNN Indonesia —
Kepala urusan hukum dan kebijakan Twitter Vijaya Gadde menjadi salah satu pejabat Twitter yang dipecat Elon Musk usai mengambil alih platform media sosial itu. Sosok tersebut punya rekam jejak signifikan, yakni memblokir eks Presiden AS Donald Trump.
Dikutip dari Reuters, seusai menuntaskan akuisisi Twitter, Kamis (27/10) malam waktu setempat, Musk memecat Chief Executive Twitter Parag Agrawal, Chief Financial Officer Ned Segal, dan Vijaya Gadde.
Musk, menurut sebuah sumber, menuding mereka menyesatkan dirinya dan investor Twitter tentang jumlah akun palsu di platform medsos itu.
Menurut The New York Times, Musk juga memecat penasihat umum Sean Edgett. Sementara, Bloomberg melaporkan Chief Customer Officer Sarah Personette, yang sempat berkicau senang dengan akuisisi oleh Musk ini, turut pergi.
Meski dipecat, mereka menerima pesangon besar. Menurut Insider, Agrawal mendapat US$38,7 juta, Segal meraup US$25,4 juta, Gadde mendapat US$12,5 juta, dan Personette mengantongi US$11,2 juta.
Sebelum resmi menjadi pemilik Twitter, Musk mengaku berencana mengaktifkan lagi akun Trump, politikus penebar provokasi yang memicu penyerangan massa di Gedung DPR usai Pilpres AS 2020.
“Saya pikir tidak tepat untuk menyanksi Donald Trump. Saya kira itu sebuah kesalahan,” kata Musk seperti dikutip dari CNN, 10 Mei 2022.
“Saya akan membatalkan sanksi permanennya. Memblokir Trump dari Twitter tidak mengakhiri suara Trump, itu justru akan memperkuatnya di antara kaum kanan dan inilah kenapa itu salah secara moral dan benar-benar bodoh.”
Pemblokiran bertahap
Gadde, yang adalah lulusan NYU School of Law, pada prinsipnya setuju dengan keterbukaan diskusi antara politikus dan pemilihnya di platform medsos itu. Namun, fenomena Trump mengubah pandangannya.
“Bagi saya, tidak ada yang lebih baik daripada memiliki wacana politik dalam pandangan yang jelas dan terbuka dan memiliki akses ke pejabat terpilih Anda, dan mampu meminta pertanggungjawaban mereka,” Gadde, yang saat itu menjadi penasihat umum Twitter, di New York University School, 2017, dikutip dari CNN.
“Sekarang,” lanjutnya, “konsekuensi dari dialog langsung itu sedang berlangsung di depan kita dan bukan sesuatu yang bisa kita prediksi.”
Kerisauannya itu menjadi nyata pada periode Pilpres AS 2020. Setelah dinyatakan kalah dari Joe Biden, Trump menuding kecurangan pemilu dan menghasut pendukungnya. Hasilnya, massa menggeruduk U.S Capitol (Gedung DPR-nya Amerika) pada 6 Januari 2021.
Gadde, yang saat sudah menjabat kepala hukum, kebijakan, dan kepercayaan di Twitter, menjadi sosok sentral pengambilan keputusan pelarangan akun, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Keputusan Twitter untuk memblokir permanen Trump itu tidak serta merta. Platform itu awalnya melarang akun Trump selama 12 jam pada 6 Januari. Setelah pelarangan beres, Trump kembali berkicau sambil menyebut para pengikutnya yang menyerbu Capitol sebagai “patriot.”
Dalam rapat 8 Januari 2021, menurut The Washington Post, Gadde melontarkan “seruan yang berapi-api” kepada para staf untuk bersabar saat timnya mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.
Beberapa jam kemudian, Twitter memblokir akun Trump secara permanen dengan alasan “risiko hasutan kekerasan lebih lanjut.” Langkah itu dipuji oleh para pendukung hak-hak sipil. Langkah itu diikuti oleh Facebook dan YouTube beberapa hari kemudian.
Di saat yang sama, CEO Twitter Jack Dorsey sedang berlibur di pulau pribadinya.
Saat ditanya tentang sosok yang berperan dalam pemblokiran Trump, juru bicara Twitter mengatakan, “Keputusan penegakan kebijakan dibuat oleh tim Trust and Safety kami yang melapor ke Vijaya Gadde.”
“Vijaya berada di persimpangan beberapa keputusan kebijakan terpenting yang dibuat perusahaan dan bagaimana ia berinteraksi dengan pemerintah di seluruh dunia,” kata representasi itu.
Pelarangan akun Trump itu merupakan keputusan paling berani dan paling berisiko dalam 15 tahun sejarah perusahaan teknologi itu: memblokir pemimpin dunia yang masih berkuasa sekaligus akun paling terkenal dengan hampir 89 juta pengikut.
Usai pemblokiran permanen itu, Trump pindah ke medsos yang diendorse-nya, Truth Social.
Katie Paul, direktur organisasi riset nirlaba Tech Transparency Project, mengatakan pemblokiran Trump adalah “momen penting bagi perusahaan untuk benar-benar menetapkan batas dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menangani hal-hal semacam ini.”
(tim/arh)