![](https://awsimages.detik.net.id/api/wm/2022/08/08/internet-provider_169.jpeg?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg)
Jakarta –
Kebutuhan layanan data internet kian hari kian menjadi laksana kebutuhan pokok. Sebab, kita kini sudah merasa tidak bisa hidup atau hidup menjadi tidak lengkap tanpa terkoneksi ke dunia virtual, media sosial maupun menikmati video streaming.
Pandemi juga menjadi momentum peningkatan kebutuhan kecepatan akses untuk mendukung work from home, pembelajaran jarak jauh, serta menikmati musik dan film mengisi waktu senggang dan keterbatasan gerak. Kebutuhan tersebut berkorelasi terhadap kebutuhan peningkatan kecepatan akses layanan data internet khususnya di rumah-rumah.
Karena sifatnya digunakan bersama, kecepatan yang tadinya mungkin cukup 1 Mbps, kini setidaknya kecepatan 20 Mbps menjadi kebutuhan minimal. Bahkan, karena harus mendukung beberapa meeting online, bersamaan dengan pembelajaran online serta menikmati film terbaru atau drama Korea terkini, beberapa rumah tangga membutuhkan kecepatan lebih besar lagi, bisa mencapai 40-50 Mbps. Hal itu karena memang akses video membutuhkan kecepatan tinggi agar tidak sering terjadi buffering supaya video tidak freezing patah-patah dan juga untuk streaming juga tentunya membutuhkan latency atau waktu tunda yang rendah.
Jumlah pengguna yang meningkat dan kebutuhan kecepatan akses yang juga naik, membuat para penyedia layanan internet (internet service provider/ISP) berlomba menyediakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tersebut. Memang saat ini ada ragam pilihan paket internet dari ISP, dengan harga yang beragam dan variasi kecepatan. Namun memang, pengguna harus berhati-hati dalam memilih ISP mana yang memberikan layanan berkuaiitas, bukan semata-mata murah harganya saja.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8/1999 mengatur beberapa hal terkait dengan kualitas layanan, utamanya adalah hak konsumen untuk mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf b) dan juga beberapa hal yang harus dipenuhi seperti sesuai dengan standar yang dipersyaratkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut serta sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya (Pasal 8 ayat (1)).
Menyangkut ukuran atau takaran itu, dalam layanan internet kita mengenal dengan istilah throughput. Istilah throughput merupakan istilah yang dipakai untuk melihat realisasi kesesuaian besaran kecepatan yang diterima dengan paket yang dipilih pelanggan. Misalnya, kita mengambil paket dengan kecepatan 20 Mbps, maka kecepatan real yang harus didapatkan pengguna adalah 20 Mbps, bukan berkurang dari kecepatan tersebut. Masalah kecepatan yang ternyata jauh di bawah paket layanan yang diambil sering terjadi karena akibat hanya melihat murahnya harga. Oleh sebab itu, pelanggan harus cerdas dalam memilih provider.
Mengenai throughput, dari beberapa riset, salah satunya dilakukan Enciety Business Consult yang melakukan direct observation, memberikan gambaran kualitas layanan fixed broadband beberapa ISP. Sayangnya tidak banyak yang dapat memenuhi kecepatan yang dijanjikan. Adapun ISP dengan throughputnya minimal atau di atas 100%, yang berarti memberikan layanan yang sesuai dengan janji adalah XL Home untuk 20 Mbps dengan 112% dan IndiHome dengan 103% untuk layanan 20 Mbps.
Dengan semakin tingginya kebutuhan internet bagi keluarga, semakin tinggi pula provider fixed broadband menggencarkan promosi dengan penawaran paket-paket super murah yang kerap kali menggoda pelanggan untuk berlangganan dengan beragam pilihan provider terbaik. Namun, dengan penawaran yang diberikan, pelanggan tetaplah harus cerdas dalam memilih provider. Dalam banyak kasus, alih-alih karena diiming-imingi tarif murah, namun kemudian yang terjadi adalah pengguna terkecoh karena layanannya tidak seperti yang diharapkan. Sebagai pelanggan kita harus memastikan memilih penyedia jasa internet yang tepat, bukan penyedia yang kebanyakan janji bukan realisasi.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
(akd/ega)