
Jakarta, CNN Indonesia —
Nama-nama hari dalam sepekan yang dipakai hari ini berasal dari sejarah yang panjang yang amat erat dengan mitologi.
Melansir LiveScience, jumlah tujuh hari dalam sepekan berasal dari kalender orang Babilonia yang dibuat berdasarkan kalender Sumeria pada Abad ke-21 Sebelum Masehi. Jumlah tujuh hari disusun berdasarkan waktu yang dibutuhkan Bulan untuk menuntaskan masing-masing fase.
Karena siklus Bulan berlangsung 29,35 hari, orang-orang Babilonia akan menyisipkan satu atau dua hari ke dalam akhir pekan di setiap bulan.
Menurut Assyriologis seperti Friedrich Delitzschdan Marcello Craveri, tradisi Babilonia tersebut lalu diambil juga oleh orang-orang Yahudi dan Romawi. Meskipun pada orang-orang Romawi, mereka tidak menggunakannya sampai Kalender Julian berlaku pada Abad ke-1 SM.
Hingga saat itu, orang-orang Romawi memakai “siklus nundinal” yang diturunkan dari orang-orang Etruscans.
Orang-orang Romawi lalu menamai hari-hari tersebut dengan berdasarkan nama planet. Dikutip dari The Conversation, dalam tujuh hari, bangsa Romawi menamakan hari dengan nama berikut ini:
• dies Solis, “hari matahari (kemudian dianggap sebagai planet)”
• mati Lunae, “hari bulan”
• dies Martis, “hari Mars”
• dies Mercurii, “hari Merkurius”
• dies Iovis, “hari Jupiter”
• dies Veneris, “hari Venus”
• dies Saturni, “hari Saturnus”
Jumlah tujuh hari dalam sepekan itu kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa barat yang berbahasa Jermanik. Itu kemungkinan terjadi pada awal abad di era Kristiani.
Orang-orang berbahasa Jermanik itu lalu menamai tujuh hari tersebut berdasarkan dewa-dewa mereka, yang secara karakteristik mirip dengan dewa-dewa Romawi.
Salah satunya adalah orang-orang Anglo-Saxons, yang membawa dewa mereka sendiri dan bahasa -yang kemudian menjadi bahasa Inggris- ke Kepulauan Inggris pada Abad ke-5 dan ke-6 Masehi. Dalam bahasa Inggris, Saturday (Sabtu), Sunday (Minggu), Monday (Senin) dinamai berdasarkan Saturnus, Matahari, dan Bulan, mengikuti Bahasa Latin.
Sementara, empat hari sisanya yakni Tuesday (Selasa), Wednesday (Rabu), Thursday (Kamis), dan Friday (Jumat) dinamai berdasarkan dewa-dewa yang mungkin dipuja oleh orang-orang Anglo-Saxons tersebut sebelum mereka bermigrasi ke Inggris. Setelah bermigrasi, orang-orang tersebut diketahui berpindah agama menjadi Kristen.
Tuesday misalnya dinamai berdasarkan Dewa Tiw yang sedikit sekali diketahui informasinya. Boleh jadi, Tiw berkaitan dengan perang, sama seperti Dewa Romawi, Mars.
Lebih lanjut, Wednesday juga mungkin dinamai berdasarkan Dewa Woden, yang paralel dengan Dewa Merkuri di orang-orang Romawi. Pasalnya, kedua dewa tersebut berbagi atribut yang sama seperti kefasihan, kemampuan untuk melakukan perjalanan, dan pemandu orang mati.
Thursday adalah hari Thunor, atau berdasarkan Bahasa Inggris kuno dari Thunresdæg alias “Hari Petir”. Nama tersebut diambil dari bahasa Latin, dies Iovis atau Hari Jupiter. Pasalnya, kedua dewa tersebut diasosiasikan dengan petir di mitologi masing-masing.
Friday menjadi satu-satunya hari yang dinamai berdasarkan dewi, Frig. Nama itu sulit ditemukan di mana pun di awal-awal Bahasa Inggris. Namun nama itu justru muncul sebagai kata benda biasa yang berarti “cinta, dan afeksi” dalam sebuah puisi.
Karena itulah, Frig dipasangkan dengan Dewi Venus di Romawi.
Nama-nama hari itu kemudian diadopsi di Indonesia secara jumlah dengan konsep yang agak berbeda. Yakni, menggunakan konsep angka dalam bahasa Arab, yang menurut cendikiawan muslim Nurcholis Madjid, untuk mendemitologisasi konsepsi hari-hari dewa.
Maka jadilah, Senin, Selasa, hingga Ahad.