Jakarta, CNN Indonesia —
Topan Vamei (Vamei Typhoon) disebut berkontribusi besar pada cuaca buruk di sebagian besar wilayah Indonesia beberapa hari terakhir. Apa sebenarnya fenomena yang diklaim amat langka ini?
Berdasarkan peringatan dini cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sejumlah wilayah Indonesia berpotensi mengalami hujan ringan hingga lebat pada 2-3 Maret 2023.
Mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua, hujan ringan hingga lebat mendera.
Pagi ini, Kamis (2/3), kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pun terpantau diguyur hujan ringan maupun deras.
Peneliti Klimatologi di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin sempat mengungkapkan hujan awal Maret itu dipicu dua fenomena yang ada di Laut Natuna Utara (Laut China Selatan) yang saling berinteraksi.
Yakni, Lonjakan Lintas Utara Khatulistiwa atau Cross Equatorial Northly Surges (CENS) dan Vorteks Borneo atau badai.
Pertama, CENS merupakan penguatan angin dari utara yang memiliki kecepatan rata-rata di atas 5 meter/detik di wilayah Laut China Selatan bagian selatan dekat Laut Jawa.
“Angin dari utara yg kuat ini telah berperan memperkuat angin monsun hingga 2-3 kali lipat semula, sehingga memengaruhi angin kencang yg marak terjadi saat ini,” tutur Erma, di akun Twitter-nya.
Kedua, Vorteks Borneo. Vorteks adalah pusaran angin yang memiliki radius putaran pada skala meso, yaitu antara puluhan hingga ratusan kilometer.
“Saat ini, vorteks Borneo mulai terbentuk dekat ekuator di atas Laut China Selatan,” lanjut dia.
Kedua faktor itu, katanya, berinteraksi secara terus-menerus pada lokasi yang sama hingga makin lama makin kuat dan membesar. Interaksi selama lebih dari 72 jam atau empat hari itu pun membentuk siklon tropis Vamei.
“Kejadian ini sangat langka, oleh karena itu probabilitasnya terbentuk kembali sekitar 100-400 tahun sekali. Sebab belum tentu syarat-syarat bisa terpenuhi semuanya,” tutur Erma.
Kasus Singapura
Fenomena Topan Vamei ini sendiri pernah diungkap pada studi yang dilakukan Chang dkk. dari Department of Meteorology, Naval Postgraduate School, Monterey, California, AS bertajuk ‘Typhoon Vamei: An equatorial tropical cyclone formation’ (2003).
Penelitian ini berdasarkan temuan Taifun Vamei pada 27 Desember 2001. Itu merupakan fenomena formasi siklon tropis pertama yang tercatat dalam jarak 1,5 derajat dari garis khatulistiwa.
Fenomena itu merupakan hasil dari dua sistem yang saling berinteraksi; pertama, pusaran Borneo yang lemah yang melayang ke ujung selatan Laut China Selatan dan bertahan di sana selama empat hari.
Kedua, gelombang dingin yang kuat dan terus-menerus yang menciptakan pusaran siklon latar belakang yang besar di khatulistiwa.
Chang menjelaskan kasus ini terjadi selama angin atau monsun musim dingin di belahan bumi utara. Gelombang dingin di timur laut secara sporadis menyebar ke arah ekuator dari benua Asia Timur di tepi tenggara permukaan tertinggi.
Lonjakan dingin (cold surge) terkuat yang terjadi di Laut China Selatan. Dengan udara yang tidak lagi dingin, angin timur laut bergerak ke selatan dengan cepat ke arah khatulistiwa dalam dua hari.
Kekekalan potensi vortisitas (pusaran fluida) menyebabkan udara berbelok ke arah timur setelah melintasi khatulistiwa. Angin barat dari belahan bumi selatan ini dapat meningkatkan monsun Australia lebih jauh ke selatan.
Di sisi lain, Kalimantan, yang jadi lokasi pusaran Borneo, ada di sebelah tenggara sabuk gelombang angin utama di Laut China Selatan ini. Pusaran ini lantas berkembang menjadi siklon tropis.
Gelombang dingin berkembang pesat di atas Laut China Selatan, sementara pusat pusaran Kalimantan terletak di dekat 3° LU di pantai barat laut.
Pusat-pusat pusaran pun berpindah ke lepas pantai menjadi di atas air dengan diameter yang menyempit hingga 500 km. Hal itu berlanjut selama beberapa hari.
Akibatnya, aliran lintas-ekuator melilit pusaran dan hasilnya adalah putaran cepat berlawanan arah jarum jam yang mirip dengan putaran gasing yang dimainkan oleh seorang anak.
“Dan ini menyebabkan berkembangnya Topan Vamei,” ujar Chang dkk.
Para ahli menghitung kasus ini amat jarang terjadi, hanya 100 hingga 400 tahun sekali dengan pertimbangan beberapa faktor.
“Kami memperkirakan probabilitas topan berkembang di Laut China Selatan khatulistiwa menjadi sekitar 0,12-0,49 persen per tahun, atau perkiraan sekitar setiap 300-400 tahun sekali,” kata Chang dkk.
“Probabilitas ini dapat ditingkatkan dengan faktor 3,5, menjadi sekitar sekali setiap 100 tahun, jika kita menurunkan periode persistensi yang diperlukan dari pusat pusaran Kalimantan di wilayah laut khatulistiwa menjadi 72 jam,” tandas peneliti.
Namun, tak sampai 100 tahun Topan Vamei itu kini terjadi lagi!