Jakarta, CNN Indonesia —
Reaktor Kartini masih berdiri kukuh sejak 1970-an beroperasi hingga sekarang. Mungkinkah keberadaannya yang sudah genap 44 tahun itu jadi bukti nuklir aman di RI?
Indonesia saat ini memiliki tiga reaktor nuklir, yakni RA Kartini atau Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta, reaktor TRIGA 2000 di Bandung, dan reaktor GA. Siwabessy di Serpong. Sebagai catatan, ketiga reaktor ini adalah reaktor riset dan bukan reaktor komersil.
Reaktor Nuklir Kartini sendiri dibangun pada 1974. Namun reaktor ini baru diresmikan dan beroperasi pada 1 Maret 1979. Pada Rabu (1/3), reaktor ini berulang tahun yang ke-44.
Nama Kartini merupakan akronim dari Karya Teknisi Indonesia, karena reaktor ini murni buatan putra-putri bangsa.
“Pemberian nama Kartini terinspirasi dari karya Habis Gelap Terbitlah Terang. Harapannya adalah agar Indonesia menjadi bangsa yang mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dalam penguasaan sains dan teknologi,” seperti dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Reaktor nuklir Kartini ini berjenis TRIGA. TRI dalam TRIGA merupakan akronim dari Training, Research, Isotop Production, sedangkan GA adalah akronim dari nama pabrik General Atomic. TRIGA di Yogyakarta ini hanya berkapasitas 100 kWh.
Reaktor nuklir Kartini berada di Kawasan Sains dan Edukasi Achmad Baiquni Babarsari, Yogyakarta. Wilayah ini telah berkembang menjadi kawasan padat penduduk jika dibandingkan dengan awal keberadaannya pada 1979 silam.
Maka dari itu, pengelola kawasan selalu mensosalisasikan keberadaan reaktor nuklir Kartini dengan harapan tidak terjadi kecelakaan sekecil apa pun.
Ketika beroperasi, radiasi reaktor nuklir Kartini disebut menghasilkan radiasi lebih kecil dibandingkan saat melakukan rontgen. Rontgen sendiri menggunakan radiasi elektromagnetik yang sama dengan reaktor nuklir Kartini.
Mohamad Nasir, kala masih menjabat Menteri Riset dan Teknologi pada 2015, mengklaim kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tidak berbahaya.
Pernyataan ini dilatarbelakangi rapihnya pengelolaan reaktor nuklir oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang kini ‘dilahap’ BRIN.
“BATAN sudah punya pengalaman. Mereka punya reaktor nuklir sudah 55 tahun sejak tahun 1960. Tapi tidak pernah mengganggu lingkungan,” katanya saat ditemui di Gedung BPPT, Jakarta 2015 lalu.
Bayang-bayang bencana nuklir
Kehadiran PLTN di tanah air tak luput dari bayang-bayang bencana nuklir yang mungkin terjadi. Sejumlah kejadian yang terjadi di negara lain membuat kekhawatiran akan terjadinya hal serupa di tanah air.
Sejarah mencatat PLTN pernah menyebabkan ledakan besar di Chernobyl, Ukraina pada 1986. Hingga kini, ledakan tersebut merupakan bencana nuklir terparah di dunia. Ledakan tersebut menyisakan zat-zat radioaktif yang bisa berbahaya bagi manusia.
Pemerintah Ukraina harus mengisolasi lokasi PLTN tersebut dengan luas sekitar 2600 kilometer persegi.
Selain itu, bencana nuklir juga pernah terjadi di Fukushima, Jepang pada Maret 2011. Ketika itu, reaktor nuklir di Fukushima bocor akibat Jepang dilanda gempa dan Tsunami.
Insiden ini disebut sebagai yang terparah sejak Chernobyl dan telah mengontaminasi laut, tanah, dan udara di wilayah Fukushima. Radiasi di wilayah itu tercatat masih sangat tinggi.
Survei
BATAN sempat menggelar sejumlah survei soal persetujuan masyarakat lokal dalam program pembangunan PLTN.
“Dari hasil riset 2014, ada 72 persen masyarakat yang mendukung pembangunan PLTN. Angka ini terus mengalami kenaikan yang signifikan dari 2012,” kata Kepala BATAN Djarot Sulistio Wisnuborot melalui keterangan resmi, Selasa (16/12/2014).
Sejak 2010, kata dia, BATAN sudah melakukan riset di sejumlah wilayah seperti Pulau Jawa, Madura, dan juga Bali soal PLTN. Hasilnya, 59,7 persen masyarakat setuju akan rencana pembangunan PLTN.
Namun, jumlah itu sempat menurun ke 49,5 persen setelah bencana Fukushima sebelum naik kembali ke 60,4 persen pada 2013, dan 72 persen pada 2014.
“Dengan hasil jajak pendapat ini kita dapat mengetahui bahwa masyarakat sebenarnya sudah tidak mempermasalahkan lagi tentang pembangunan PLTN di Indonesia. Mereka hanya mempermasalahkan apakah kita siap dengan sumber daya manusia dan sumber daya bahan bakar nuklir dan harga listrik yang dijual dari PLTN,” kata Djarot.
Terkait lokasi, BATAN menilai Jepara dan Bangka Belitung berpotensi untuk dibangun PLTN.
“Dari studi teknis ketenaganukliran, Kami melihat kawasan Jepara di Jawa Tengah dan Provinsi Bangka Belitung berpotensi untuk proyek PLTN. Dimana kedua kawasan tersebut layak dibangun PLTN kira-kira 12 unit di Jepara dengan kapasitas masing-masing 1.000 Megawatt (MW) dan di Bangka Belitung 10 unit dengan kapasitas masing-masing 1.000 MW,” katanya.
Dalam perkembangannya, Kalimantan Barat disebut bisa menjadi lokasi potensial lain. BATAN pun mengaku sedang melakukan studi kelayakan, yang diperkirakan membutuhkan waktu tiga tahun.
“Saat ini kami sedang melakukan studi. Ada di beberapa tempat (di Kalbar),” ujar Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir Batan, Suparman 2020.
Terlepas dari rangkaian riset itu, sejauh ini Pemerintah belum merealisasikan reaktor nuklir komersil di luar reaktor riset macam Kartini.