TikTok mengambil tindakan pada Selasa (21/3) untuk menanggapi tekanan Barat yang meningkat terkait kekhawatiran masalah keamanan siber dan disinformasi. TikTok menerbitkan pembaruan aturan dan standar konten, ketika sang CEO memperingatkan kemungkinan larangan AS terhadap aplikasi berbagi video asal China tersebut.
CEO Shou Zi Chew dijadwalkan hadir di hadapan Kongres AS dalam sidang pada Kamis (23/3). Kongres akan mencecarnya soal praktik keamanan data pribadi perusahaan itu dan hubungannya dengan pemerintah China.
Chew mengatakan dalam sebuah video TikTok bahwa sidang dengar pendapat itu “dilakukan pada saat yang sangat penting” bagi perusahaan tersebut, setelah Kongres mengumumkan sejumlah langkah yang akan memperluas kewenangan pemerintahan Biden untuk memberlakukan larangan terhadap aplikasi yang digunakan oleh lebih dari 150 juta pengguna di AS, kata sang CEO.
“Beberapa politisi sudah mulai membicarakan pelarangan TikTok. Hal ini dapat merebut TikTok dari seluruh 150 juta pengguna seperti Anda,” kata Chew, yang berpakaian santai dengan celana jin dan hoodie biru, dengan latar belakang kubah gedung Kongres AS di Washington.
“Saya akan bersaksi di depan Kongres minggu ini untuk membagikan semua yang kami lakukan untuk melindungi warga Amerika Serikat yang menggunakan aplikasi ini,” ungkapnya.
Aplikasi TikTok mendapat kecaman di AS, Eropa dan Asia-Pasifik, di mana semakin banyak pemerintah yang telah melarang penggunaan TikTok dari perangkat yang digunakan untuk kepentingan dinas karena khawatir akan risiko keamanan siber dan data pribadi atau khawatir digunakan untuk mendorong narasi pro-Beijing dan menyebarkan disinformasi.
Sejauh ini, tidak ada bukti bahwa hal itu telah terjadi atau bahwa TikTok telah menyerahkan data pengguna kepada pemerintah China, seperti yang ditakutkan sejumlah kritikus.
Norwegia dan Belanda pada Selasa (21/3) memperingatkan bahwa aplikasi seperti TikTok tidak boleh dipasang di telepon-telepon genggam yang dipegang oleh para pegawai negeri, dengan mengutip badan keamanan atau intelijen.
Terdapat “risiko besar” dari pemasangan TikTok atau Telegram pada perangkat yang memiliki akses terhadap “infrastruktur atau layanan digital dalam negeri,” kata Kementerian Kehakiman Norwegia tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
TikTok juga mengeluarkan pembaruan aturan dan standar bagi konten dan pengguna dalam seperangkat pedoman komunitas yang ditata ulang, yang mencakup delapan prinsip untuk memandu keputusan moderasi konten.
“Prinsip-prinsip ini didasarkan pada komitmen kami untuk menegakkan hak asasi manusia dan selaras dengan kerangka hukum internasional,” kata Julie de Bailliencourt, kepala kebijakan produk global TikTok.
Ia mengatakan, TikTok berusaha untuk bersikap adil, melindungi martabat manusia dan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan mencegah bahaya.
Pedoman yang akan mulai berlaku pada 21 April mendatang itu dikemas ulang dari aturan TikTok yang sudah ada dengan rincian dan penjelasan tambahan.
Salah satu perubahan signifikan yang dibuat adalah rincian tambahan soal pembatasannya pada fitur deepfake, atau yang dikenal dengan istilah media sintetis, yang diciptakan oleh teknologi kecerdasan buatan (AI). TikTok secara lebih gamblang mengatakan dalam kebijakannya bahwa semua deepfake atau konten yang dimanipulasi, yang menunjukkan adegan realistis, harus dilabeli untuk menunjukkan bahwa itu semua palsu atau diubah dalam sejumlah cara.
TikTok sebelumnya telah melarang deepfake yang menyesatkan pemirsa tentang peristiwa dunia nyata dan menyebabkan kerugian. Pedomannya yang diperbarui mengatakan bahwa deepfake sosok-sosok pribadi dan orang muda juga tidak diperbolehkan.
Deepfake tokoh publik diperbolehkan untuk konteks tertentu, misalnya untuk konten artistik atau pendidikan, namun bukan untuk kepentingan dukungan politik atau komersial. [rd/jm]
https://www.voaindonesia.com/a/tiktok-perbarui-aturan-platform-demi-raih-dukungan-as/7015905.html