Teknologi yang memungkinkan mahasiswa belajar dalam skenario simulasi yang sangat realistis ini disebut Mixed Reality. Tidak seperti Virtual Reality (VR), yang sepenuhnya menggantikan lingkungan pengguna dengan elemen virtual, solusi ini menambahkan elemen virtual ke lingkungan nyata. Dalam praktiknya, mahasiswa menggunakan headset yang disebut HoloLens untuk bisa memasuki simulasi ini.
Teknologi ini sebetulnya masih dikembangkan di Cambridge University Hospitals (CHU) namun piranti lunaknya akan dirilis akhir tahun ini. CHU bermitra dengan Universitas Cambridge dan perusahaan teknologi yang berbasis di Los Angeles, GigXR, dalam mengembangkannya. Sekelompok mahasiswa tingkat doktoral telah menguji coba teknologi ini selama lima bulan terakhir. Menurut rencana, lebih banyak fitur akan dihadirkan di dalam versi yang lebih baru.
Doktor Jonathan Martin, dari Cambridge University Hospitals, adalah salah seorang yang memimpin pengembangan simulasi itu.
“Simulasi ini memungkinkan mahasiswa mengalami kegagalan di lingkungan yang aman dan merasa aman jika mengalami kegagalan. Tentu saja, itu bukan sesuatu yang ingin kami lakukan dengan pasien sungguhan. Jadi, lingkungan simulasi memungkinkan mahasiswa untuk mengambil pelajaran berikutnya. langkah-langkah dalam pembelajaran mereka, di mana mereka memiliki lingkungan yang semakin nyata di sekitar mereka untuk mempraktikkan keterampilan dan teknik yang mereka perlukan ketika mereka berhadapan dengan pasien yang sebenarnya,” jelasnya.
Teknologi ini juga akan membantu menyebarkan latihan simulasi berkualitas tinggi ke rumah sakit-rumah sakit dan universitas-universitas yang tidak mampu membeli simulator dengan ketelitian tinggi itu. Hal ini dimungkinkan karena piranti lunaknya tidak hanya bisa diakses oleh HoloLens tapi juga oleh ponsel pintar asalkan kualitas gambar tidak menjadi pertimbangan utama.
“Pada akhirnya, apa yang kami inginkan adalah menghadirkan elemen-elemen dunia nyata dan membuatnya bereaksi terhadap elemen-elemen di ruang realitas tertambahkan. Seiring berkembangnya teknologi, kami ingin memanfaatkan alat-alat yang benar-benar dapat kami gunakan pada pasien,” imbuh Martin.
Untuk saat ini, baru satu modul tersedia. Modul ini berfokus pada kondisi pernapasan. Mahasiswa medis bisa belajar mendeteksi dan mengatasi berbagai gangguan seperti asma, anafilaksis, emboli paru dan pneumonia.
Dalam jangka panjang, semakin banyak modul akan dibuat, dan serangkaian skenario akan tersedia. Setiap modul akan memiliki tingkat kerumitan yang berbeda, mulai dari mode yang hanya dapat melihat, mode dengan keputusan terbantu, hingga mode ahli.
Universitas Cambridge juga akan melakukan penelitian untuk mengevaluasi dampak proyek ini baik pada mahasiswa maupun pasien. [ab/lt]