Jakarta, CNN Indonesia —
Krisis iklim membuat para ahli dan pengambil kebijakan mencari cara untuk membuat Bumi agar tidak semakin panas. Salah satu wacana untuk memperbaikinya adalah dengan geoengineering atau rekayasa Bumi, tapi apa dampaknya?
Geoengineering merupakan rekayasa skala besar untuk mengendalikan iklim Bumi. Iklim global dikendalikan oleh jumlah radiasi matahari yang diterima oleh Bumi dan juga oleh nasib energi ini di dalam sistem Bumi, yakni berapa banyak yang diserap oleh permukaan Bumi dan berapa banyak yang dipantulkan atau dipancarkan kembali ke luar angkasa.
Pantulan radiasi matahari dikontrol oleh beberapa mekanisme, termasuk albedo (banyaknya sinar Matahari yang dipantulkan oleh suatu permukaan) dan tutupan awan serta keberadaan gas rumah kaca di atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), mengutip ensiklopedia Britannica.
Jika proposal geoengineering ingin mempengaruhi iklim global dengan cara ini, mereka harus secara sengaja mengubah pengaruh relatif dari salah satu mekanisme pengendali ini.
Geoengineering terdengar seperti perbaikan iklim secara instan, tetapi tanpa penelitian lebih lanjut dan batasan, ini adalah pertaruhan yang mahal dengan hasil yang berpotensi membahayakan.
Pemerintah AS baru saja mengumumkan hadiah pertama dari dana sebesar US$3,5 miliar untuk proyek-proyek yang menjanjikan guna menghilangkan karbon dioksida dari udara. Para pembuat kebijakan juga sedang menjajaki jenis-jenis geoengineering yang lebih agresif, yaitu manipulasi skala besar yang disengaja terhadap sistem alamiah Bumi.
Masalah utama perubahan iklim telah diketahui selama beberapa dekade, yakni penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, pembangkit listrik, penggundulan hutan, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan telah melepaskan lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer daripada yang bisa diserap oleh sistem Bumi secara alami, dan membuat pemanasan global.
Secara teoritis, geoengineering bertujuan mengembalikan keseimbangan tersebut, baik dengan menghilangkan kelebihan karbon dioksida dari atmosfer atau memantulkan energi matahari menjauh dari Bumi.
Namun, David Kitchen seorang ahli iklim dari Universitas Richmond percaya mengubah sistem iklim Bumi yang kompleks bisa menimbulkan konsekuensi. Perubahan yang membantu satu wilayah dapat membahayakan wilayah lain, dan efeknya mungkin tidak akan terlihat jelas.
“Sebagai seorang ahli geologi dan ilmuwan iklim, saya percaya konsekuensi-konsekuensi ini belum cukup dipahami. Di luar potensi dampak fisik, negara-negara tidak memiliki struktur hukum atau sosial yang memadai untuk mengelola penggunaan dan dampaknya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata David, mengutip AP, Rabu (23/8).
Kekhawatiran serupa juga disorot oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, dan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional.
Kantor Kebijakan Sains dan Teknologi Gedung Putih juga membahas masalah ini dalam rencana penelitian pada Juli 2023 untuk menyelidiki potensi intervensi iklim.
Risiko pengelolaan radiasi Matahari
Bagi sebagian orang, ketika mendengar kata “geoengineering,” mungkin membayangkan manajemen radiasi matahari. Teknologi ini, yang sebagian besar masih bersifat teoritis, bertujuan untuk memantulkan energi matahari menjauh dari permukaan Bumi.
Gagasan injeksi aerosol stratosfer, misalnya, adalah menyemai atmosfer bagian atas dengan miliaran partikel kecil yang memantulkan sinar matahari langsung ke luar angkasa. Penipisan awan cirrus bertujuan mengurangi dampak awan tinggi dan halus yang memerangkap energi di atmosfer dengan membuat kristal es lebih besar, lebih berat, dan lebih mudah mengendap.
Menurut David pencerahan awan bertujuan meningkatkan prevalensi awan yang lebih cerah dan lebih rendah yang memantulkan sinar Matahari, mungkin dengan menyemprotkan air laut ke udara untuk meningkatkan konsentrasi uap air.
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230823153947-199-989596/rekayasa-bumi-diklaim-jadi-solusi-pemanasan-global-cek-risikonya