Negosiasi terbaru untuk mencapai perjanjian plastik sedunia berakhir pada Minggu (19/11) malam tanpa adanya kesepakatan mengenai bagaimana cara perjanjian tersebut harus dilaksanakan dan rasa frustrasi kelompok-kelompok lingkungan atas berbagai penundaan dan minimnya kemajuan yang dibuat.
Para perunding menghabiskan waktu satu minggu di markas besar Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) di Nairobi untuk tawar-menawar tentang rancangan perjanjian untuk mengatasi peningkatan masalah polusi plastik yang kini ditemukan di mana-mana, mulai dari dasar laut, puncak gunung, hingga darah manusia.
Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya sejak 175 negara berjanji pada awal tahun lalu akan mempercepat perundingan, dengan harapan dapat menyelesaikan perjanjian tersebut pada tahun 2024.
Pertemuan di Nairobi itu seharusnya menciptakan kemajuan, dengan penyempurnaan rancangan perjanjian dan memulai diskusi tentang tindakan nyata apa yang harus dilakukan untuk mengatasi polusi dari plastik, yang terbuat dari bahan bakar fosil.
Akan tetapi, rincian perjanjian itu pada akhirnya tidak pernah benar-benar dibahas, karena sebagian kecil negara produsen minyak – khususnya Iran, Arab Saudi dan Rusia – dituduh melakukan taktik mengulur-ulur waktu seperti yang tampak dalam perundingan-perundingan sebelumnya, untuk menghambat kemajuan.
“Tidak mengherankan, negara-negara tertentu menghalangi kemajuan di setiap periode, dengan menghalangi dan melakukan manuver prosedural,” kata Carroll Muffett dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional kepada AFP.
Kurangnya kepemimpinan
Dalam sejumlah pertemuan tertutup, begitu banyak proposal baru yang diajukan sehingga naskah perjanjian itu, bukannya direvisi dan disederhanakan, tetapi malah membengkak dalam seminggu, menurut para pengamat yang mengikuti perundingan itu.
Graham Forbes dari Greenpeace mengatakan, pertemuan itu telah “gagal” mencapai tujuannya dan ia mendesak berbagai negara mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap negara-negara yang tidak beritikad baik dalam negosiasi pada masa depan.
“Perjanjian yang sukses masih bisa dicapai, namun memerlukan tingkat kepemimpinan dan keberanian dari negara-negara besar dan ambisius yang belum pernah kita lihat sebelumnya,” kata Forbes kepada AFP.
Kemarahan sempat ditujukan kepada UNEP, di mana kelompok aliansi masyarakat sipil GAIA menuduh sang tuan rumah mengawasi sebuah pertemuan “yang tidak disiplin dan berliku-liku” dan membiarkan sekelompok kecil pihak “menyandera” jalannya pertemuan.
UNEP sendiri mengatakan bahwa kemajuan “yang substansial” telah dicapai oleh hampir 2.000 delegasi yang hadir.
Dewan Asosiasi Kimia Internasional, kelompok industri utama bagi perusahaan-perusahaan petrokimia dan plastik global, mengatakan bahwa pertemuan tersebut telah memperbaiki sebuah rancangan perjanjian yang “tidak memuaskan” dan perselisihan antar pemerintah merupakan hal yang sangat penting dalam penyusunan perjanjian.
“Kami (kini) memiliki dokumen – rancangan teks – yang lebih inklusif terhadap berbagai gagasan,” kata juru bicara Stewart Harris kepada AFP.
Perundingan plastik itu digelar tepat sebelum digelarnya KTT Iklim PBB di Uni Emirat Arab – negara kaya minyak – pada akhir bulan ini, yang akan didominasi oleh perdebatan mengenai masa depan bahan bakar fosil.
Permintaan global terhadap plastik telah menyebabkan tingkat produksi berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir pada tingkat saat ini, dan dapat meningkat jadi tiga kali lipat pada 2060 tanpa adanya tindakan, menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Sebanyak 90% plastik tidak didaur ulang, di mana sebagian besarnya dibuang ke alam sekitar atau dibakar secara tidak layak.
Kelompok-kelompok lingkungan telah lama berpendapat bahwa tanpa pembatasan produksi plastik baru, perjanjian apa pun dampaknya akan lemah. [rd/lt]