VOA —
Meskipun menyumbang lebih dari 80 persen bahan input untuk industri daur ulang dan dianggap kekuatan pendorong ekonomi sirkular, para pemulung hingga saat ini adalah kelompok yang sangat terpinggirkan. Menurut sejumlah pengamat, mengintegrasikan mereka dalam sektor penanggulangan sampah formal bisa menjadi solusi yang tidak hanya menguntungkan mereka, tapi juga para pemangku kepentingan lain, termasuk pemerintah.
Gagasan itu, di antaranya, dilontarkan Medrilzam, Direktur Urusan Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) yang juga dikenal sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Peneliti kebijakan pembangunan dan perubahan iklim di CarbonLab di University of Queensland, Australia, ini adalah pendukung kuat ekonomi sirkular, model ekonomi yang mengandalkan upaya-upaya mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin sehingga meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan.
Ekonomi sirkular bukan hanya membahas pengelolaan limbah yang lebih baik dengan lebih banyak melakukan daur ulang, namun juga mencakup serangkaian intervensi yang luas di semua sektor, termasuk efisiensi sumber daya dan pengurangan emisi karbon.
Medrilzam berpendapat, pemulung adalah kekuatan pendorong ekonomi sirkular karena menjembatani sistem pengelolaan sampah publik dan industri daur ulang negara dengan mengambil peran penting dalam mengumpulkan, memilah, dan menjual bahan buangan untuk didaur ulang. Sayangnya, menurutnya, pemulung secara umum cenderung terabaikan dan bahkan tidak terlindungi.
“Hak kewarganegaraan sipil yang belum terpenuhi. Banyak yang belum punya KTP. Stigma buruk yang melekat pada pemulung dan pelapak di masyarakat. Keselamatan dan kesehatan kerja yang tidak layak. Selain itu juga, mengingat statusnya yang informal, hak ketenagakerjaan mereka juga tidak terpenuhi, seperti hak untuk mendapat jaminan hari tua, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan lain sebagainya,” jelasnya.
Menurut studi yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019, kontribusi pemulung terhadap industri daur ulang sangat signifikan. Studi itu mencatat, pemulung menyumbang 84,3 persen sampah plastik dan 80,3 persen sampah kertas yang dipasok ke industri tersebut.
Gagasan mengintegrasikan pemulung ke sektor penanggulangan sampah formal disambut Maulidar Yusuf, seorang pejuang hak-hak pemulung yang sejak 11 tahun lalu tercatat sebagai pendiri Taman Edukasi Anak Pemulung, sebuah prakarsa yang memperjuangkan pendidikan anak-anak pemulung di Banda Aceh.
“Mereka ini pahlawan lingkungan. Mereka mengumpulkan sampah, mau kotor-kotor, mendaur ulang. Jadi sebenarnya, pekerjaan mereka ini berkontribusi besar pada pengelolaan kebersihan sebuah kota,” komentarnya.
Armawati Chaniago juga setuju. Pendiri dan direktur Bank Sampah Induk Sicanang, Belawan, Medan, ini mengatakan, menyertakan pemulung dalam sistem pengelolaan sampah kota tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pemulung tapi juga mendongkrak usaha penanggulangan sampah kota atau kabupaten. Namun, menurutnya, pemerintah juga perlu memberi perhatian serius kepada bank-bank sampah.
Ia menjelaskan, bank sampah tidak sama dengan pemulung. Pemulung lebih mementingkan nilai ekonomi dari sampah yang dikumpulkannya, sementara bank sampah lebih dari itu. Bank sampah tak hanya menampung dan mengelola sampah sehingga bernilai ekonomi, tapi juga, menurutnya, membentuk karakter masyarakat untuk terus menjaga lingkungan yang sehat, rapi, dan bersih.
Karena alasan itu pula, menurut Armawati, bank sampah tidak kalah penting dibandingkan dengan pemulung. “Pertama, kita memberdayakan masyarakat sekitar. Kedua, mereka (para anggotanya, red) terutama adalah para ibu yang notabene bukan pencari nafkah utama,” sebutnya.
Armawati mengungkapkan, banyak bank sampah, termasuk yang dikelolanya, kesulitan beroperasi maksimal karena tidak mendapat dukungan memadai dari pemerintah. Sejumlah bank sampah terpaksa mengubah strategi atau menggelar berbagai cara untuk bisa bertahan.
Padahal, katanya, bank sampah dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan sampah di kota-kota besar seperti Medan yang menghasilkan 1.500 hingga 2.000 ton sampah per hari.
Sudah Dipraktikkan, Hasil Signifikan
Gagasan untuk mengintegrasikan pemulung ke dalam pengelolaan sampah formal sebetulnya bukan sekadar angan-angan, melainkan sudah dipraktikkan dalam skala kecil dan menunjukkan hasil signifikan.
Medrilzam mencontohkan proyek kerjasama Indonesia-Jerman yang dikelola Kementerian PPN, yang disebut ERiC-DKTI. Proyek pengurangan emisi melalui peningkatan pengelolaan sampah ini sudah diterapkan di lima kota dan satu kabupaten.
Hasilnya menunjukkan bahwa pemulung memungut 86 persen dari total sampah yang dihasilkan kota-kota dan kabupaten tersebut, dengan rata-rata 21,66 persen sampah itu terutama plastik, kertas, dan kaca, berhasil didaur ulang.
“Integrasi sektor informal (pemulung, red) akan memberi keuntungan berupa tambahan tenaga kerja terlatih, yang sudah memahami pemilahan sampah, serta juga memiliki pengetahuan dan jaringan untuk menjual sampah ke off-taker (pembeli). Adanya integrasi tersebut dapat meningkatkan jumlah sampah yang bisa didaur ulang, dan mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir, red),” sebut Medrilzam.
Menurut Maulidar, pengumpul sampah informal di Indonesia terdiri dari berbagai pelaku, dari pemulung hingga lapak/bandar. Karena berada di posisi terbawah dalam industri daur ulang, sebagian besar pemulung hidup dalam kemiskinan dan bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya, termasuk orang tua, perempuan dan anak-anak.
Mengintegrasikan mereka ke dalam sektor formal, kata ibu tiga anak ini, secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Para pemulung tidak hanya mendapat pelatihan, bantuan alat, tapi juga akses ke tunjangan kesejahteraan, termasuk layanan kesehatan. “Ketika mendaur ulang, mereka bisa tetap menjaga kesehatan. Kalau ada alat pendukung, mereka juga dapat,” komentarnya.
Selain itu, menurut Maulidar, mengintegrasikan pemulung ke sektor formal, bukan tidak mungkin akan memberi mereka akses ke pelatihan literasi keuangan.
Karena umumnya berpendidikan rendah, banyak pemulung, kata Maulidar, tidak tahu mengelola keuangan dengan baik dan cenderung konsumtif. Literasi keuangan bisa mengubah itu.
“Sehingga jangan sampai ketika hari ini dapat uang banyak, mereka kemudian langsung konsumtif sehingga tidak bisa menabung. Ketika ada uang lebih, bisa digunakan untuk mengelola hal lain, hal yang lebih kreatif dan bermanfaat,” jelasnya.
Mengintegrasikan pemulung ke dalam sistem pengelolaan sampah formal sebetulnya sudah dipraktikkan di India, Mesir, dan Brazil dan terbukti menguntungkan.
Di kota Pune, India, praktik ini menguntungkan pemerintah daerah karena menghemat biaya pengelolaan sampah sekitar Rp 9,4 miliar per tahun. Dan karena keterbukaan akses ke sampah kota, pemulung bisa memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan lebih stabil.
Di Kairo, Mesir, mengintegrasikan pemulung ke dalam sistem pengelolaan sampah formal menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Para pemulung di sana tidak hanya memanfaatkan sampah plastik dan kertas untuk kebutuhan daur ulang, tetapi juga menggunakan limbah organiknya untuk membuat kompos.
“Berdasarkan kajian integrasi sektor informal (pemulung, red) yang dilakukan, salah satu faktor kunci untuk mendukung integrasi sektor informal ke formal di Brazil, India dan Mesir adalah adanya payung hukum,” jelas Medrilzam.
Payung hukum ini, kata Medrilzam, akan memberi para pemulung pengakuan yang tepat dan juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi daur ulang. Payung hukum ini memungkinkan pemulung mendapatkan kontrak formal, akses ke kesejahteraan sosial, dan perlindungan hukum.
“Memastikan kesejahteraan pemulung tidak hanya akan mengurangi angka kemiskinan tetapi juga meningkatkan kinerja pengelolaan sampah secara keseluruhan di Indonesia. Hasil win-win ini harus dipertimbangkan sepenuhnya oleh para pemangku kepentingan,” katanya.
Menurut studi Bappenas terkini, mayoritas pemulung atau sekitar 42 persen, hanya berpendidikan sekolah dasar. Hanya 37 persen di antara mereka yang memiliki akses terbatas terhadap jaminan sosial (BPJS) dan hanya tujuh persen yang memiliki KTP yang sesuai dengan tempat mereka tinggal mereka sehari-hari.
Yang memprihatinkan, menurat Maulidar, para pemulung seperti umumnya warga Indonesa lain, memiliki keluarga. Anak-anak mereka, yang hingga saat ini jumlahnya sulit didata karena persoalan ketiadaan tempat tinggal tetap, adalah juga penerus bangsa. Mengabaikan para pemulung, katanya, sama artinya dengan mengabaikan nasib anak-anak mereka.
Maulidar melalui Taman Edukasi Anak Pemulung ingin menyadarkan pemerintah dan masyarakat umum akan pentingnya nasib anak-anak pemulung. Ia berharap akan muncul prakarsa-prakarsa serupa di berbagai penjuru Indonesia, baik dengan maupun tanpa dukungan pemerintah.
Taman Edukasi Anak Pemulung di bawah arahannya ini telah menangani lebih dari 120 anak pemulung dengan berbagai tingkat pendidikan, mulai dari TK hingga universitas. Lebih dari 100 orang telah berpartisipasi sebagai pengajar, pengawas atau motivator, dalam gerakan sosial yang didirikan sejak tahun 2012 ini. [ab/uh]