Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mengatakan perlu kebijakan yang mendukung dalam menyikapi perkembangan kecerdasan buatan (AI).
“Dalam menyikapi perkembangan AI, perlu ada kebijakan yang mendukung, semisal moderasi konten, keberimbangan dan non-diskriminasi, serta upaya penguatan literasi digital,” ujar dia dalam rilis pers yang diterima hari ini.
Hal itu disampaikannya dalam sesi Global AI Governance and Generative AI – Contribution to Hiroshima AI Process, Internet Governance Forum (IGF) 2023 di Kyoto, Jepang, Senin.
Menurut dia, harus diakui bahwa AI membawa berbagai risiko seperti pelanggaran hak privasi dan penyalahgunaan kekayaan intelektual yang butuh ditangani secara hati-hati.
Baca juga: AI chatbot Snapchat mungkin timbulkan risiko privasi bagi anak-anak
Pemerintah, kata dia, memahami tentang pentingnya penanganan dan mitigasi risiko AI, baik dari sisi kebijakan maupun level praktis. Untuk itu Indonesia telah memulai pengembangan ekosistem pemerintahan berbasis AI sejak 2020 lewat beberapa kebijakan yang bersifat nasional.
“Di antaranya Dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Republik Indonesia 2020-2045, Klasifikasi Standar Pengembangan Lini Bisnis Pemrograman Berbasis AI, serta UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah mengakomodir pemrosesan data yang kompleks,” tuturnya.
Komitmen terhadap penanganan AI juga diwujudkan dalam bentuk dukungan atas G20 AI Principle saat Presidensi Jepang dalam KTT G20 empat tahun lalu.
Baca juga: Lemhannas sebut keamanan siber bisa rusak karena lompatan teknologi
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menekankan keberimbangan antara pengembangan AI dan regulasi yang mengaturnya.
“Dalam konteks AI, harus ada keberimbangan antara melakukan promosi dan menegakkan regulasi. Hanya dengan demikian AI dapat memberikan manfaat yang luas, juga mengurangi risiko negatifnya,” ucap Fumio.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Vinton G Cerf, yang lebih dikenal sebagai Bapak Internet Dunia. Dia menyampaikan kepeduliannya tentang AI berdasarkan pengalamannya sebagai dedengkot programmer.
AI, menurutnya, tidak hanya soal bagaimana sistem tersebut akan dikelola, tapi juga sumber materi yang digunakan AI.
“Kita juga harus memastikan dari mana sumber materi yang digunakan AI sebagai sebuah machine learning. Kita baru dapat mempertimbangkan kualitas AI apabila kita tahu sumber materi yang diolahnya. Teknologi AI juga dapat menghasilkan hal yang tak benar. Jika teknologi memiliki probabilitas untuk benar, maka dia juga memiliki probablitas untuk menjadi salah,” ujar Vinton.
Baca juga: Bamsoet: Indonesia perlu regulasi AI jelas dan kuat
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Siti Zulaikha
COPYRIGHT © ANTARA 2023