Sedikitnya tiga orang cedera dalam gempa bumi berkekuatan Mangnitudo 7,1 skala Richter mengguncang perairan lepas pantai timur pulau utama selatan Jepang, Kyushu, di kedalaman sekitar 30 kilometer.
Gempa pada Kamis (8/8) ini paling terasa kuat di Kota Nichinan dan daerah-daerah sekitarnya di prefektur Miyazaki di pulau Kyushu.
Profesor Clive Oppenheimer di Departemen Geografi, Universitas Cambridge telah melakukan banyak perjalanan ke Jepang untuk mempelajari apa yang disebut sebagai wilayah “Cincin Api,” yaitu sabuk tektonik sepanjang 40.000 km yang terdiri dari serangkaian gunung berapi dan aktivitas seismik yang mengelilingi sebagian besar Samudra Pasifik. Dia telah melakukan penelitian lapangan di Kota Kagoshima, Aso, Pulau Miyake dan Hokkaido untuk mempelajari aktivitas gunung berapi di daerah tersebut.
“Jepang memiliki cincin gunung berapi (ring of fire) dan juga merupakan tempat di mana banyak gempa bumi terbesar berada. Dan itu bukanlah suatu kebetulan. Keduanya terletak berdampingan karena cincin ini menentukan batas lempeng Samudra Pasifik,” papar Oppenheimer.
Bagi negara-negara di sepanjang Lingkar Pasifik akan selalu ada risiko gempa bumi, tidak terkecuali Jepang. Menurutnya, gunung api di Jepang begitu aktif karena negara itu adalah bagian dari Lempeng Pasifik.
“Tepatnya, jika kita ingin mendefinisikannya lebih jauh lagi, lempeng Laut Filipina; dan lempeng tersebut bergerak ke arah Eurasia di mana daratan Jepang merupakan bagian daratannya,” tutur Oppenheimer.
Lempengan itu, katanya, bergerak dengan kecepatan sekitar enam sentimeter per tahun.
“Dan lempeng samudra yang menukik kembali ke bagian dalam Bumi – ke dalam mantel Bumi – dengan kecepatan sekitar enam sentimeter per tahun itu tidak bergerak dengan mulus, jadi ia akan menempel. Semua ‘pergerakan’ itu terjadi dan kemudian ‘patah’ sehingga menimbulkan gempa bumi seperti yang terjadi pada 8 Agustus,” katanya.
Pasca Gempa 2011, Jepang Terus Berbenah
Gempa bumi yang melanda Kyushu tidak terlalu serius dibandingkan dengan beberapa gempa bumi lebih besar yang pernah dialami Jepang dalam beberapa dekade terakhir.
Dunia masih ingat dengan video dan foto-foto menakutkan ketika gempa bawah laut berkekuatan Magnitudo 9,1 pada 11 Maret 2011 sekitar pukul 14.00 menghantam Kesennuma, di Prefektur Miyagi, yang menunjukkan kekuatan penuh alam. Hal itu akan terbayang di setiap benak orang-orang di Jepang dan di seluruh dunia ketika muncul berita gempa bumi. Gempa bumi dan tsunami yang diakibatkannya menyebabkan kecelakaan nuklir Fukushima ketika sistem pendingin mati akibat pemadaman listrik dalam waktu lama.
Hampir 20 ribu orang tewas, 6.242 luka-luka dan 2.553 orang hilang. Dampak kecelakaan nuklir Fukushima, yang disebut-sebut setara dengan bencana nuklir Chernobyl pada 1986, ikut dirasakan oleh negara-negara tetangga Jepang.
Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,1 pada 8 Agustus lalu jauh lebih kecil dibanding gempa bumi Tohoku pada 2011. Namun hal ini tidak mengesampingkan risiko gempa yang lebih dahsyat.
Sejumlah pakar seismologi Jepang langsung mengadakan pertemuan darurat untuk menganalisa apakah gempa tersebut mempengaruhi Palung Nankai di dekatnya, yang merupakan sumber gempa bumi dahsyat di masa lalu.
Ada potensi 70 hingga 80 persen akan terjadinya gempa berkekuatan Magnitudo 8 atau 9 yang berasal dari Palung Nankai dalam waktu hingga 30 tahun ke depan.
“Jadi dalam gempa berkuatan 7,1 maka gempa itu bisa bergerak sepuluh meter. Ia bisa bergerak beberapa meter dalam satu kejadian karena merupakan akumulasi dari ketegangan selama bertahun-tahun. Jadi, ada hubungan umum antara besarnya gempa bumi – yang merupakan ukuran energinya – dan jumlah slip dan juga jenis panjangnya, dari dimensi bidang yang benar-benar patah,” kata Oppenheimer.
Kesiapsiagaan Warga Jepang Tak Tertandingi
Jepang adalah salah satu negara yang paling rawan gempa bumi di dunia. Bagi banyak orang Jepang, aktivitas seismik adalah ancaman yang sangat nyata yang harus mereka hadapi, namun kesiapsiagaan dan respons mereka tidak ada duanya.
Profesor Oppenheimer ingat saat bekerja di Gunung Aso, tempat pendakian yang populer di kalangan turis dan dekat dengan gempa bumi Kyushu. Ketika sirene peringatan berbunyi, dalam waktu lima menit, semua orang meninggalkan lokasi.
“Maksud saya, itu sangat fenomenal untuk ditonton. Semua orang mematuhi peringatan itu. Tidak ada kepanikan yang terburu-buru atau apa pun. Semua orang tahu apa yang harus dilakukan,” kata Oppenheimer.
Dia menambahkan ada banyak sekali informasi mengenai hal inikarena ada sejarah bencana gunung berapi dan gempa bumi. Tidak terkecuali gempa bumi Tohoku pada 2011, katanya.
“Saya pikir orang-orang pada umumnya sangat sadar akan risiko terjadinya gempa bumi. Ada banyak informasi, banyak pemantauan, pemantauan berteknologi tinggi, dengan berbagai lembaga yang terlibat dan berhubungan dengan perlindungan sipil. Ada banyak pekerjaan rekayasa struktur bangunan untuk membuat setiap bangunan lebih tahan gempa,” tutur Oppenheimer.
Gempa bumi adalah kejadian yang menakutkan, namun kesiapsiagaan adalah kuncinya.
Pusat Gempa Lisbon di Portugal memberi kesempatan kepada pengunjung untuk merasakan gempa bumi dengan aman. Pada 1755, Lisbon diguncang gempa berkekuatan Magnitudo 8,5 dan menewaskan sedikitnya 40.000 orang. Gempa di Lisbon ini disebut-sebut sebagai gempa yang paling banyak menelan korban jiwa di Eropa. [em/jm]