SURABAYA —
Menjual produk isu ulang kebutuhan rumah tangga seperti sabun mandi cair, sampo, sabun cuci, pengharum pakaian, hingga minyak goreng, menjadi salah satu upaya mengurangi sampah plastik, di tengah menjamurnya produk-produk yang dikemas dengan plastik ukuran kecil atau sachet. Toko Pokka di Desa Wringinanom, Kabupaten Gresik, merintis penjualan isi ulang aneka produk rumah tangga.
Tasya, pengelola Gerakan Belanja Produk Isi Ulang, mengatakan bahwa peminat belanja isi ulang atau refill produk kebutuhan rumah tangga mulai dilirik, meski belum semua memahami konsep tersebut. Fanatik terhadap merek suatu produk masih memengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih produk isi ulang. Selain itu, penjual produk isi ulang masih belum banyak dibandingkan dengan penjual produk dalam kemasan plastik mini atau sachet yang sudah menyebar hingga ke pelosok desa.
“Persepsi orang terhadap refill secara umum, itu adalah produk yang dibuat sendiri, jadi bukan yang bermerk. Sedangkan yang bermerk itu mereka lebih percaya, karena mereka sudah tahu secara kualitas, secara harga, secara penggunaan itu mereka sudah tahu, sehingga mereka lebih percaya, faktor kesetiaan terhadap merk juga mempengaruhi,” jelasnya.
Surik, ibu rumah tangga dari Desa Wringinanom, Gresik, mulai berbelanja produk isi ulang untuk sabun cuci baju, pewangi pakaian, hingga cairan pembersih piring. Ia mengaku mendapat harga yang lebih murah dengan belanja isi ulang, sekaligus turut mengurangi produksi sampah plastik. Selain membeli di toko yang ada di dekat rumahnya, warga juga dimudahkan dengan adanya layanan refill keliling menggunakan sepeda, sehingga dapat dilayani langsung di depan rumah warga.
“Pertama-tama ya mengurangi sampah ya, lebih hemat, terpaut (harganya). Biasanya orang-orang itu malas kalau jalan terlalu jauh gini ya (ke toko isi ulang), lalu bawa botol sendiri, mungkin kalau didatangi di rumah, bawa botol sendiri pak, bu (lebih mudah),” jelas Surik.
Model penjualan isi ulang atau refill produk kebersihan rumah tangga, bukan hal baru. Cara ini telah ada beberapa tahun terakhir di media digital berbasis internet.
Imanuel Valentino, warga Jakarta yang kuliah di Malang, mengaku tertarik memulai belanja isi ulang untuk mempraktikkan gerakan pengurangan sampah plastik. Menurut Imanuel, model belanja isi ulang ini merupakan langkah konkret mengurangi sampah, yang harus diperbanyak dengan mendekatkan penjualan secara langsung di tengah masyarakat.
“Ada salah satu yayasan atau marketplace itu pakai aplikasi gitu buat refilin, jadi pakai aplikasi buat pemesanannya, dari aplikasi gitu nanti datang ke rumah, ini menarik sih seperti itu. Kalau menurut saya sih boleh saja diperbanyak (jualan isi ulang), karena kan cari tempat yang strategis yang bisa masyarakat datang. Kan, tempat refillin seperti ini juga kan masih jarang,” jelasnya.
Timbunan sampah di Indonesia pada 2023 menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencapai 36 juta ton, dan sekitar 37 persen atau 13 juta ton tidak terkelola dengan baik. Dari volume sampah plastik secara global, 47 persen sampah plastik kemasan sekali pakai atau sachet paling banyak mencemari lingkungan.
Direktur Eksekutif ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation), lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada masalah lingkungan dan konservasi lahan basah, saat ini gencar mengkampanyekan stop konsumsi plastik karena berperan besar mencemari lingkungan, khususnya perairan.
Daru Setyorini mengatakan, upaya mengurangi sampah melalui penyediaan produk isi ulang perlu didorong dan didukung termasuk oleh pemerintah, agar sampah plastik, termasuk sachet, tidak semakin banyak mencemari lingkungan.
“Dampaknya ya karena sachet ini tidak terdaur ulang, dan pemerintah pun tidak menyediakan layanan pengumpulan sampah secara merata, hanya 30 persen saja populasi yang mendapat layanan sampah, sampah sachet ini yang sangat dominan menumpuk di perairan, di sungai, atau dibakar,” jelas Daru Setyorini.
Selain mendesak pembatasan, bahkan pelarangan bagi industri memproduksi plastik kemasan sekali pakai, Daru mendorong distribusi produk dengan kemasan yang bisa dipakai ulang, atau dengan cara refill, dapat diperbanyak dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah.
“Ke depannya diharapkan sistem refill ini bisa lebih meluas lagi. Cuma sayangnya model-model yang dibangun oleh industri itu, perusahaan itu masih lokasinya untuk kalangan menengah ke atas, misalnya tempatnya itu di mal, atau di kawasan perumahan elit. Padahal justru sumber sampah sachet ini kan banyak digunakan di perkampungan-perkampungan terpencil, atau di desa yang kelas ekonominya lebih rendah, dan yang tidak terjangkau layanan pengumpulan sampah dari pemerintah,” imbuhnya.
Daru menambahkan, meski telah ada regulasi yang mengatur tentang kewajiban produsen terhadap sampah kemasan produknya, pemerintah perlu mempertegas aturan mengenai penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Termasuk mengatur dan melarang iklan yang mengajak konsumen membeli produk dengan kemasan sachet ukuran kecil.
Menurutnya, iklan berperan besar mempengaruhi masyarakat untuk membeli suatu produk, namun justru banyak iklan yang menyesatkan karena tidak memberikan edukasi dan informasi yang benar terkait dampak sampah kemasan bagi lingkungan bila terus diproduksi. [pr/ka]