JAKARTA —
Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan penerapan bursa karbon merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target nol emisi karbon di tahun 2060.
Bursa karbon adalah pemberian harga atau valuasi atas emisi gas rumah kaca atau karbon, yang kelak menjadi mekanisme transaksi dan bentuk kompensasi dari suatu entitas yang telah menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan melakukan mitigasi untuk menurunkan emisi di tempat lain.
“Kami berencana meluncurkan perdagangan karbon pada September 2023, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan dan untuk mencapai target nol emisi pada 2060 atau lebih awal,” ungkap Luhut dalam acara penandatanganan “Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing,” di Jakarta, Senin (24/7).
Ia menjelaskan, nantinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mengawasi kegiatan perdagangan bursa karbon tersebut di Tanah Air. Meski akan diluncurkan dalam waktu dekat, Luhut tidak berbicara banyak terkait harga dari karbon itu sendiri. Menurutnya, hal ini masih digodok oleh pemerintah.
Dalam kesempatan ini, Luhut juga menyebutkan perkiraan nilai perdagangan karbon di dalam negeri ini memiliki nilai yang cukup besar yakni diperkirakan bisa mencapai USD1 miliar-USD15 miliar per tahunnya.
“Saya kira langkah kongkret kita buka carbon market di Indonesia , nilai perdagangannya bisa USD1 miliar-USD15 miliar per tahun,” tuturnya.
Perkiraan tersebut bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, kata Luhut berdasarkan hasil dari berbagai studi disebut bahwa Indonesia berpotensi mampu menyimpan hingga 400 giga ton CO2 lewat depleted reservoir migas dan saline aquifer, yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi emisi di sektor migas.
“Jadi angka yang sangat besar, kita mungkin salah satu negara yang bisa menampung CO2 karena kita punya depleted reservoir dan saline aquifer mencapai 400 gigaton, ini sangat besar,” tuturnya.
Angka tersebut, kata Luhut bisa saja lebih besar mengingat posisi Indonesia yang berada di jalur ring of fire.
Ditambahkannya, berdasarkan hasil studi yang ada, disebutkan bahwa depleted reservoir atau reservoir migas yang telah habis dan saline aquifer merupakan tempat yang tepat untuk bisa menginjeksi CO2 dengan teknologi carbon capture and storage (CSS/penangkapan dan penyimpanan karbon).
“Saya baru tahu hal ini tiga bulan lalu di Amerika Serikat. Jadi dari hasil studi mereka (disebutkan), hutan mangrove, peatland (gambut), dan segala macam tidak akan bisa (mencapai target) zero emission itu. Yang bisa itu depleted reservoir dan saline aquifer karena itu bisa di-inject banyak CO2 ke dalamnya. Pilot project sudah dibikin dengan Chevron dan BP,” jelasnya.
Beberapa Catatan Sebelum Meluncurkan Bursa Karbon
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menyambut baik rencana peluncuran bursa karbon ini. Dengan potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia, sedianya sejak lama Indonesia mempunyai bursa karbon.
Meski begitu ada beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum meluncurkan perdagangan karbon tersebut. Pertama, idealnya semua pihak harus bisa terlibat; baik itu perusahaan besar, perusahaan rintisan, koperasi, BUMD bahkan individu.
“Cuma, penyelenggara di dalam bursa karbon itu modal minimumnya Rp100 miliar rencananya. Ini artinya, perdagangan karbon ini bisa jadi penyelenggaranya akan sangat terbatas, katakanlah hanya perusahaan skala besar. Sementara kita ingin agar keterlibatan komunitas, start up di dalam perdagangan karbon bisa terbuka,” ungkap Bhima.
Kedua, kata Bhima adalah terkait pengawasan di dalam bursa karbon itu sendiri. Jangan sampai kehadiran bursa karbon tersebut justru memicu adanya green washing.
“Jadi kalau ada perusahaan yang polusinya tinggi, dia membeli bursa karbon tapi operasional bisnis tidak berubah karena merasa sudah membeli bursa karbon, itu gak boleh juga. Makanya kita inginkan bursa karbon itu paralel dengan hadirnya pajak karbon, sehingga ada reward and punishment,” jelasnya.
Ia pun kembali mengingatkan kepada pemerintah, bahwa bursa karbon hanya bagian kecil dari mekanisme pasar untuk menurunkan emisi karbon. Menurutnya, diperlukan upaya dari berbagai sektor agar target penurunan emisi karbon tersebut dapat optimal seperti pengembangan sektor transportasi publik yang terintegrasi dan melakukan pensiun PLTU batu bara.
Bhima juga menekankan, pemerintah harus berhati-hati terkait dengan teknologi carbon capture and storage (CSS/penangkapan dan penyimpanan karbon), yang masih menjadi polemik di berbagai negara karena belum terbukti efektif.
“Biayanya juga mahal, kalau tidak salah di blok Masela untuk proyek CSS butuh lebih dari USD2 miliar. Artinya apa? kita masih boleh pake PLTU batu bara padahal ini kontradiksi dengan komitmen penutupan PLTU batu bara, karena dengan CSS, PLTU-nya bisa lebih panjang masa hidupnya. Ini akan muncul beberapa kontradiksi. Jadi kita harus mencermati, teknologi ini apakah bisa jadi solusi atau malah menjadi false solution?,” tambahnya.
Kerja Sama dengan Pemerintah Inggris
Kemenko Maritim dan Investasi pada hari Senin (24/7) meneken kerja sama Pengaturan Pelaksanaan Program Nilai Ekonomi Karbon atau UK PACT (UK Partnering for Accelerated Climate Transitions) dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
Luhut menjelaskan, penandatangan ini merupakan tindak lanjut dari MoU kedua negara terkait Aksi Iklim dan Nilai Ekonomi Karbon, yang ditandatangani di sela-sela KTT G20 di Bali tahun lalu.
Melalui program ini, Inggris menggelontorkan bantuan senilai 2,7 juta poundsterling guna mendukung pengembangan dan koordinasi teknis dalam aksi iklim dan nilai ekonomi karbon (NEK). Program ini akan mendukung Kemenko Marves dalam memimpin Komite Pengarah NEK Indonesia, dan melibatkan kementerian dan lembaga – terutama Kementerian Keuangan – khusus untuk pajak karbon.
Program Nilai Ekonomi Karbon bertujuan untuk mendukung Indonesia mencapai komitmen yang ditetapkan dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) dan pengendalian emisi Gas Rumah Kaca dalam pembangunann nasional, sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste Owen Jenkins mengatakan pihaknya mengapresiasi peningkatan kemitraan dengan Indonesia guna mewujudkan mitigasi perubahan iklim yang hemat biaya melalui kerangka kebijakan penetapan harga karbon.
“Kedua negara telah saling berbagi pengalaman dan keahlian satu sama lain dalam nilai ekonomi karbon (NEK) melalui bantuan teknis, pembangunan kapasitas dan pertukaran pengetahuan. Tahun pertama kemitraan ini telah menunjukkan hasil yang signifikan, dalam mendukung Indonesia membangun basis data untuk program NEK. Kami berharap dapat terus mendukung ambisi Net Zero Indonesia di tahun-tahun mendatang,” ungkap Owen. [gi/em]