Sebuah laporan yang dirilis Selasa (28/5), memperingatkan bahwa konsesi besar di hutan Malaysia mengancam jutaan hektare habitat alami dan menimbulkan ancaman terhadap komitmen negara tersebut untuk menjaga 50 persen tutupan hutan.
Menurut analisis LSM RimbaWatch terhadap konsesi hutan di negara tersebut, hingga 3,2 juta hektare lahan berpotensi untuk ditebang. Hal tersebut dapat menyebabkan pelepasan emisi karbon yang signifikan dan mengancam habitat hewan-hewan utama.
“Malaysia secara konsisten memberikan konsesi di kawasan hutan, sehingga banyak wilayah yang terancam,” kata Direktur RimbaWatch Adam Farhan.
“Hutan hujan Malaysia berusia jutaan tahun, dan jika hilang, maka akan hilang secara permanen,” katanya kepada AFP.
Mendefinisikan dan menggambarkan tutupan hutan alam adalah suatu tugas yang kompleks. Beberapa penilaian mengkategorikan hutan tanaman yang terbengkalai atau lahan kelapa sawit aktif sebagai bagian dari tutupan hutan, sementara penilaian lainnya hanya memperhitungkan lahan yang relatif belum tersentuh oleh aktivitas manusia.
Jadi RimbaWatch menggunakan tiga dasar penilaian tutupan hutan yang berbeda untuk penelitiannya: satu berdasarkan data satelit Uni Eropa, satu menggunakan data resmi Malaysia, dan satu berdasarkan analisis independen oleh perusahaan konservasi, The TreeMap.
RimbaWatch memetakan hibah konsesi ke dalam data dasar ini untuk menentukan seberapa banyak hutan yang terancam, dengan asumsi bahwa semua pohon di wilayah konsesi terancam.
Analisis tersebut menemukan bahwa 14-16 persen sisa hutan alam di Malaysia berisiko ditebang, atau antara 2,1 dan 3,2 juta hektar.
RimbaWatch menyatakan bahwa Malaysia telah lama berjanji untuk menjaga tutupan hutan mencapai 50 persen dari wilayahnya, tetapi komitmen tersebut kini terancam dan mungkin sudah dilanggar.
Dataset dari Atlas Nusantara The TreeMap memperkirakan tutupan hutan sudah di bawah 47 persen pada 2022.
Pendorong utama risiko deforestasi di Malaysia adalah perkebunan kayu dan kelapa sawit, tetapi ancaman lainnya juga meliputi pertambangan dan bahkan proyek pembangkit listrik tenaga air.
Laporan tersebut merupakan kali kedua RimbaWatch menganalisis risiko terhadap hutan Malaysia. Temuan mereka pada tahun lalu ditolak oleh pejabat Malaysia yang mengatakan definisi kelompok tersebut mengenai tutupan hutan tidak tepat.
RimbaWatch membantah bahwa Malaysia mendefinisikan tutupan hutan terlalu luas.
“Pemerintah Malaysia mengizinkan perkebunan monokultur dihitung sebagai tutupan hutan, dan ini merupakan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan,” kata Adam.
“Hilangnya 2,4 juta hektare kerugian yang diperkirakan terjadi akibat perkebunan kayu tidak akan dilaporkan oleh pemerintah Malaysia sebagai deforestasi,” imbuhnya.
Menteri Sumber Daya Alam dan Kelestarian Lingkungan Malaysia Nik Nazmi Nik Ahmad, Selasa (27/5) mengatakan pihak berwenang akan “memverifikasi” laporan RimbaWatch sebelum memberikan tanggapan, New Straits Times melaporkan.
“Kami tahu bahwa ada tantangan di beberapa tempat, tapi saya pikir kami bekerja sangat keras untuk melindunginya dan kami akan menangani laporan ini dengan serius,” katanya.
Namun, Adam mencatat bahwa Malaysia semakin agresif dalam memberikan konsesi di area hutan, bahkan memberikan insentif untuk perkebunan kayu di mana hutan-hutan asli ditebang untuk memberikan ruang bagi tanaman komersial yang cepat tumbuh seperti akasia.
“Hutan hujan Malaysia memiliki ratusan spesies pohon per hektare, tetapi monokultur hanya memiliki satu,” kata Adam. [ah/es]