Suara.com – Isu mengenai misinformasi di media sosial, terutama di Indonesia, saat ini menjadi sorotan banyak mata.
Apalagi Indonesia akan memasuki tahun politik, yang membuat media sosial dibanjiri informasi yang belum tentu benar dan berpotensi menyesatkan.
Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), tingkat hoax yang beredar di Indonesia antara Januari hingga November 2023 sudah mencapai angka ribuan.
“Menurut data TurnBackHoax.id, dari Januari hingga November 2023 tingkat hoax untuk isu politik mencapai 53,9 persen. Sedangkan untuk jumlah konten hoax yang beredar mencapai 2.045,” papar Dewi Sari, Strategic Partnerships MAFINDO, dalam acara Workshop Jurnalis yang digelar Forum Wartawan Teknologi (Forwat) di Jakarta pada Jumat, 1 Desember 2023.
Di kesempatan yang sama, TikTok menegaskan bahwa mereka berkomitmen melawan penyebaran misinformasi di platform, baik terkait pemilu maupun isu-isu hangat lainnya.
“Ada berbagai upaya yang kami lakukan untuk melindungi keamanan pengguna di platform kami, mulai dari sisi TikTok itu sendiri dan juga dari sisi pengguna,” ujar Anggini Setiawan, Head of Communications, TikTok Indonesia.
Kenapa harus dua sisi, dia menambahkan, karena untuk memberantas misinformasi tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja.
“Selain itu, kami juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk MAFINDO yang merupakan salah satu mitra keamanan kami,” katanya.
Anggini mengatakan, dari sisi TikTok, mereka memiliki tim moderasi yang mengkombinasikan teknologi mesin dan tim moderasi manusia.
Kombinasi kedua hal ini penting untuk memberikan konteks lokal terhadap suatu konten dan memastikan keamanan dan kenyamanan pengguna dijaga dari berbagai sisi.
“Jadi, saat pengguna mengunggah sebuah konten, konten tersebut tidak langsung terunggah,” ujarnya.
Dia menjelaskan, konten akan melewati beberapa proses moderasi terlebih dahulu, dimulai dari analisis konten
secara otomatis.
Jika sudah melewati tahapan ini dan tidak terindikasi adanya pelanggaran, maka konten tersebut bisa langsung tayang.
Sedangkan jika terkena flagging, nanti akan diteruskan ke moderasi manusia untuk ditinjau ulang.
“Jika lolos, maka konten akan terunggah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan Panduan Komunitas kami, maka konten tidak akanditayangkan,” papar Anggini.
Sedangkan dari sisi pengguna, Anggini juga menjelaskan bahwa pengguna memiliki kendali besar terhadap algoritma TikTok agar konten yang muncul di laman For You sesuai dengan
preferensi mereka.
Konten yang dihadirkan dalam setiap akun akan berbeda tergantung preferensi unik dari tiap-tiap pengguna.
“Dari awal membuat akun, pengguna sudah diminta untuk memilih kategori apa saja yang mereka sukai, sehingga nantinya konten yang disediakan oleh TikTok relevan dengan minat mereka,” paparnya.
Selain itu, pengguna juga dapat mengontrol konten apa saja yang dapat dihindari dengan melakukan beberapa hal, seperti memanfaatkan fitur “tidak tertarik” untuk video yang tidak
sesuai minat mereka, melakukan filterisasi menggunakan hashtag (tagar kata kunci).
Jika menurut pengguna konten yang hadir di laman For You sudah tidak sesuai, mereka bisa menggunakan fitur penyegaran feed.
Anbar Jayadi, Outreach & Partnerships, Trust & Safety, TikTok Indonesia, memaparkan lebih lanjut perihal Panduan Komunitas yang harus dipatuhi oleh semua pengguna ketika berinteraksi dan berkreasi di platform tersebut.
“Panduan Komunitas merupakan serangkaian norma dan kode etik umum untuk TikTok; termasuk memberikan panduan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk menciptakan ruang yang ramah bagi semua orang,” ungkap Anbar.
“Yang melanggar, kontennya kami hapus. Yang melanggar berulang kali, akunnya kami takedown. Dalam konteks tertentu, kami juga dapat melaporkan kepada pihak otoritas, misalnya
kasus-kasus serius seperti percobaan bunuh diri, penyiksaan anak, dan lainnya,” jelasnya.
https://www.suara.com/tekno/2023/12/01/193628/kendali-konten-tiktok-di-tangan-pengguna