Negara-negara anggota PBB bertemu pada Senin (29/7) untuk menyelesaikan perjanjian internasional tentang perang melawan kejahatan siber, sebuah naskah yang ditentang keras oleh aliansi yang tidak terduga, antara organisasi hak asasi manusia dan perusahaan teknologi besar.
“Konvensi PBB Melawan Kejahatan Siber” bermula pada 2017 ketika diplomat Rusia menulis surat kepada sekretaris jenderal badan dunia itu, yang menguraikan inisiatif tersebut.
Dua tahun kemudian, meskipun mendapat tentangan dari AS dan Eropa, Majelis Umum membentuk komite antarpemerintah yang bertugas menyusun perjanjian semacam itu.
Sekarang, rancangan naskah itu akhirnya akan diajukan untuk pemungutan suara oleh negara-negara anggota pada akhir sesi dua minggu.
Namun, setelah berlangsungnya tujuh sesi negosiasi hingga saat ini, kritik justru semakin meningkat.
Jika draf yang direvisi memuat “beberapa perbaikan yang disambut baik,” menurut kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, masih ada kekhawatiran “tentang kekurangan yang signifikan, dengan banyak ketentuan yang gagal memenuhi standar hak asasi manusia internasional.”
“Kekurangan-kekurangan ini, khususnya bermasalah dengan latar belakang penggunaan undang-undang kejahatan dunia maya yang sudah meluas, di beberapa yurisdiksi untuk membatasi kebebasan berpendapat secara tidak semestinya, menarget suara-suara yang tidak setuju, dan secara sewenang-wenang mencampuri privasi dan anonimitas komunikasi,” tambah pihak Komisaris Tinggis PBB dalam sebuah analisis. [ns/ka]