Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memperkirakan Indonesia butuh satelit Republik Indonesia atau SATRIA untuk melayani 150 ribu titik layanan yang ditargetkan. Saat ini SATRIA-1 yang sudah meluncur baru bisa melayani 50 ribu titik.
Menurut Sri Sanggama Aradea, Kepala Divisi Infrastruktur Satelit BAKTI Kominfo mengatakan satelit-satelit tersebut nantinya akan mengakomodir kebutuhan kapasitas hingga 1 Tbps.
“Roadmap awal dari proyek awal SATRIA ini, sampai tahun 2030-an kita harus memiliki 600 Gbps-1 Tbps. Dan secara teknis cuma bisa dikumpulkan dari berbagai macam atau banyak satelit yang akan kita luncurkan,” kata Aradea di acara FORWAT x BAKTI Kominfo, Jakarta, Senin (31/7).
“Dan Indonesia sendiri itu untuk satelit geo itu maksimum memang cuma 200 Gbps. Jadi bisa dikali aja tuh kira-kira kurangnya berapa ya? Mungkin sampai SATRIA-4 mungkin ya kurang lebih,” tambahnya.
BAKTI sebelumnya mengurangi wilayah layanan SATRIA-1 hanya menjadi 50 ribu titik dari rencana awal 150 ribu titik. Mayoritas titik yang dilayani adalah fasilitas pendidikan.
Selain itu, satelit ini juga bisa melayani fasilitas publik seperti rumah sakit, kantor pos, dan lain-lain. SATRIA-1 rencananya baru beroperasi Desember mendatang.
SATRIA-1 saat ini masih dalam proses orbit raising hingga November yang dilanjutkan dengan proses testing.
“Satelit masih dalam masa orbit raising, sampai dengan November 2023. Setelah sampai di orbit 146E, akan dilakukan uji coba akhir untuk sistem payload (In-Orbit Testing) dan juga sistem secara secara keseluruhan (End-to-End Testing) sebelum memulai Masa Operasi,” kata Nia Asmady, Project Manager SATRIA-1 di PT Pasifik Satelit Nusantara.
“Instalasi komponen ruas bumi seperti RF equipment dan sistem monitoring masih berjalan. Perencanaan untuk deployment kapasitas masih dalam tahap finalisasi,” ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, SATRIA-1 juga akan mendapatkan dukungan dari Hot Backup Satellite (HBS) berkapasitas 80 Gbps. HBS yang pengerjaannya sudah 85 persen ditargetkan dapat beroperasi pada Q4 2023 melalui 7 stasiun bumi. Satelit ini disiapkan sebagai infrastruktur cadangan SATRIA-1.
Selain itu, pada 2024-2026, pembangunan twin satellite yang masing-masing dinamakan SATRIA 2A dan 2B juga telah direncanakan. Kedua satelit itu diprediksi akan memberikan total kapasitas sebesar 300 Gbps.
Alasan SATRIA-1 cuma layani 50 ribu titik
Aradea memaparkan alasan pihaknya mengurangi titik layanan SATRIA-1 dari 150 ribu menjadi 50 ribu. Menurutnya pengurangan itu untuk merasionalkan target.
“Kalau kita lihat 1 Mpbs buat kita di kota itu buat apa. Akhirnya dengan berat hati kita harus merasionalkan targetnya. Untuk SATRIA-1 untuk target awal 150 ribu itu akan kami rasionalkan menjadi 50 ribu, sehingga di setiap titik layanan itu bisa mendapatkan 3-4 Mbps,” ujar dia.
“Kalau disampaikan secara detail kami sangat memfokuskan ke [kebutuhan internet] sekolah dulu. Karena ini paling penting, ini fondasi dasar ini. Dengan banyaknya anak muda [berdasarkan data kelahiran BPS], minimum ini mereka bisa dapat akses internet untuk belajar,” tambahnya.
Sebelumnya, BAKTI Kominfo menyebut kapasitas 100 Gbps yang disediakan oleh SATRIA-1 akan melayani 150 ribu titik layanan di wilayah 3T (daerah tertinggal, terdepan dan terluar).
Layanan internet dari SATRIA-1 hadir untuk fasilitas publik dan kantor layanan pemerintah. Artinya, satelit yang meluncur pada Juni lalu ini tidak ditujukan untuk melayani masyarakat secara langsung.
Meski demikian, masyarakat yang berada di sekitar layanan tetap dapat memanfaatkan layanan ini dengan mendekati titik yang mendapatkan koneksi internet dari SATRIA-1 seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan kantor layanan pemerintah lain.
SATRIA-1 ditargetkan berada di orbitnya di 146°BT atau tepat di atas Pulau Papua pada awal November. Kemudian, satelit ini akan mendapatkan tes untuk menguji kesiapannya dalam memberikan layanan internet.
Lebih lanjut, pemberian layanan internet fixed broadband sebetulnya memiliki beberapa metode, yakni fiber optik, microwave link, dan satelit. Namun, kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyulitkan penyediaan dua metode pertama.
“Jaringan utama yang terbaik adalah fiber optik. Berikutnya ada microwave link, dan yang terakhir adalah satelit. Karena faktor geografis dari Indonesia ini yang luas dan banyak kepulauan, sehingga tidak bisa dijangkau oleh jaringan fiber dan microwave link,” tutur Aradea.
“Namun, untuk mempercepat digitalisasi, akhirnya teknologi satelit inilah yang kita pilih,” imbuhnya.
Indonesia saat ini memiliki 5 satelit telekomunikasi komersial, 4 satelit asing yang disewa, dan satelit SATRIA-1. Selain itu, Indonesia juga akan memiliki Hot Backup Satellite (HBS) untuk menopang kinerja SATRIA-1.
Aradea menyebut HBS yang memiliki kapasitas 80 Gbps sudah hampir rampung dengan persentase pengerjaan 85 persen.
Proyek SATRIA akan memiliki fase lanjutan dengan kehadiran SATRIA-2. Satelit dengan model kembar ini rencananya akan mulai dibangun pada 2024 mendatang hingga 2026.
“Gunanya apa SATRIA-2 ini? Gunanya adalah menambah kapasitas atau menambah kecepatan yang diberikan oleh satelit ke 150 ribu titik. Targetnya tidak bertambah, tapi kapasitasnya akan terus kami tambah,” jelas Aradea.
“Perencanaan 2024, kami melihat dalam mengadakan SATRIA-2 ini bisa disediadakan oleh 2 satelit geostasioner (GSO) dengan kapasitas total 300GB, sehingga nantinya kapasitas total yang 2026 kita miliki itu kurang lebih di 500-an Gbps,” pungkasnya.
(lom/dmi)