Asia Tenggara tengah menghadapi gelombang panas akibat suhu yang mencapai rekor tertinggi, sehingga sekolah-sekolah di beberapa negara ditutup dan otoritas setempat mengeluarkan peringatan kesehatan.
Filipina menjadi salah satu negara yang paling terdampak suhu ekstrem. Suhu musim panas tropis yang intens diperparah kelembaban udara. Kondisi tersebut membuat kegiatan sekolah dibatalkan dalam beberapa minggu terakhir dan memicu kekhawatiran akan adanya kelangkaan air, pemadaman listrik, dan rusaknya tanaman pertanian.
Memia Santos, seorang guru SMA di Filipina, mengatakan bahwa akibat cuaca panas ekstrem, Menteri Pendidikan mengeluarkan memorandum yang mengizinkan sekolah untuk menerapkan metode pembelajaran asinkron.
“Kalau suhu udara melebihi 40 (derajat Celcius), siswa dan guru tidak perlu pergi ke sekolah, tetapi kami bisa memberi tugas kepada siswa di rumah dan juga menerapkan (kelas) daring,” tutur Santos.
Di Thailand, suhu udara diperkirakan akan melampaui 40 derajat Celcius di Bangkok, serta bagian tengah dan utara negara tersebut. Di kota Lampang, Thailand utara, suhu melonjak hingga 44,2 derajat Celcius pada 22 April lalu. Badan meteorologi setempat menyampaikan pada Senin (29/4) bahwa suhu panas yang ekstrem diperkirakan berlanjut minggu ini.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Thailand, dalam sebulan terakhir, 30 orang tewas akibat serangan panas.
Kasus DBD Melonjak di Indonesia
Sementara itu, suhu yang lebih hangat di Indonesia memicu lonjakan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Jumlah kasus DBD di Indonesia meningkat dua kali lipat, dari 15.000 kasus pada tahun sebelumnya menjadi 35.000 kasus, menurut Kementerian Kesehatan RI.
Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, kepada kantor berita Antara bahwa pola cuaca yang dipengaruhi fenomena El Nino membuat musim kemarau semakin panjang dan suhu semakin panas, sehingga mempercepat siklus hidup nyamuk pembawa demam berdarah.
Asia Selatan Ikut Terdampak
Laporan media pada Senin (29/4) menyebut sedikitnya dua orang tewas di negara bagian Kerala, India selatan, diduga karena sengatan suhu panas.
Surat kabar The Hindu melaporkan, seorang perempuan usia 90 tahun dan pria usia 53 tahun meninggal di Kerala pada Minggu (28/4), ketika suhu udara mencapai 41,9 derajat Celcius, hampir 5,5 derajat Celcius di atas suhu normal.
“Hingga saat ini, kami telah menerima laporan-laporan insiden terkait suhu panas, yang kira-kira menimpa 450 orang. Ada laporan-laporan dari media terkait beberapa korban jiwa, tetapi belum dilaporkan secara resmi kepada kami. Harus ada pemeriksaan dan pengesahan oleh departemen kesehatan bahwa, iya, kasus ini dikonfirmasi sebagai kematian terkait suhu panas,” kata pejabat penanggulangan bencana negara bagian Kerala, Shekhar Kuriakose.
Sama halnya dengan Filipina, pihak otoritas Bangladesh juga kembali menutup semua sekolah dasar di seluruh negara itu dan institusi pendidikan di hampir separuh distriknya, termasuk di Dhaka, ibu kota Bangladesh, karena gelombang panas yang membuat suhu naik di atas 43°C pada Senin (29/4).
Namun, bagi mereka yang bekerja di luar ruangan, seperti pengemudi becak Shaheb Ali di Dhaka, tidak ada banyak waktu untuk rehat.
“Meskipun panas menyengat, kami, para penarik becak yang miskin ini, harus tetap bekerja di jalan. Kami juga perlu istirahat yang cukup. Jika tidak, ini akan sangat melelahkan. Jika tidak, bagaimana kami bisa menghidupi keluarga kami?” ujar Ali.
Para ilmuwan mengatakan bahwa jumlah kematian akibat gelombang panas di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya suhu bumi. Akan tetapi, tren gelombang panas di Asia tahun ini masih belum jelas sejauh ini, karena masih ada ketidakpastian soal cara mengidentifikasi kasus kematian yang tampaknya terkait dengan suhu panas. [br/ka]