Di samping itu, menurutnya perbankan dunia sudah selayaknya meningkatkan kapasitas pendanaan transisi energi dengan bunga rendah, mengingat situasi krisis iklim yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.
“Target Paris Agreement dan net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga memamerkan upaya Indonesia yang menurutnya sudah bekerja keras untuk mencapai target emisi nol karbon pada 2060 atau lebih awal. Sejumlah upaya tersebut diharapkan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penurunan kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan.
Ia menjelaskan, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Indonesia terus menurunkan emisi karbon sebesar 42 persen antara 2020-2022 di atas perencanaan business as usual yang ditetapkan pada 2015. Jokowi mengklaim bahwa Indonesia telah bekerja keras memperbaiki isu Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan.
“Dalam hal pengelolaan FOLU, Indonesia terus menjaga dan memperluas hutan mangrove, serta merehabilitasi hutan dan lahan. Deforestasi juga berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, pembangunan persemaian juga kita lakukan dalam skala besar dengan kapasitas total sebesar 75 juta titik per tahun juga sudah efektif berproduksi,” jelasnya.
Selain itu, dalam hal transisi energi yang lebih ramah lingkungan, Indonesia juga terus mempercepat pengembangan energi baru terbarukan terutama energi surya, air, angin, panas bumi, dan arus laut. Pengembangan biodiesel, bioetanol, serta bioavtur juga semakin diperluas disamping memperkuat upaya menurunkan penggunaan batu bara, tambahnya.
Pernyataan Jokowi kontradiktif, kebijakan problematik
Menyikapi pidato Jokowi di COP 28, Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan semua yang disampaikan oleh Jokowi di ajang internasional tersebut sangat kontradiktif dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam konteks mengatasi krisis iklim.
Sebagai salah satu dari sepuluh negara penghasil emisi karbon kumulatif terbesar, Indonesia, menurut Leonard, harus bertanggung jawab dalam mengatasi krisis iklim tersebut.
Dengan berbagai kebijakan pemerintah yang ada saat ini, seperti salah satunya pembangunan PLTU batubara sebesar 13,8 gigawatt yang sudah diatur dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik tahun 2021-2030, hal itu tidak akan mampu berkontribusi mencegah kenaikan suhu bumi di ambang batas 1,5 derajat celcius, seperti yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.
“Yang ada di dalam paket-pake pemerintah, masih jauh dengan 1,5 derajat kompatibel. Tetapi ini juga persoalan seluruh dunia, jadi bukan hanya Indonesia. Tapi karena banyak sekali skenario transisi energi menjadi rusak setelah perang Rusia-Ukraina, di Eropa dan di mana-mana, jadi kita pasti terdampak,” ujarnya.
“Cuma kita bukan negara pasifik yang kecil-kecil, yang bisa bilang bahwa mereka sepenuhnya korban, atau hampir tidak berkontribusi kepada global warming. Kita nggak, kita adalah salah satu dari 10 emiter terbesar, jadi kita harus punya responsibility,” tambah Leonard.
Menurutnya, tidak hanya Indonesia, namun juga seluruh dunia harus serius dalam upaya mengatasi krisis iklim tersebut karena berdasarkan penelitian terbaru melaporkan bahwa kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius akan mulai disentuh dalam kurun waktu satu dekade ke depan, dan bukan tidak mungkin di dekade selanjutnya suhu bumi akan melewati 1,5 derajat celcius.
“Kalau soal financing betul sepakat, dibutuhkan besar sekali untuk transisi energi, dan kita kritik juga negara-negara G7 yang komitmennya setengah hati. Misalnya di JETP kebanyakan commercial loans. Kalau commercial loans buat apa ada JETP? Karena bisa dicari market global. Jadi memang ada kontradiksi atau bahkan false solution yang ada di lanskap aksi-aksi iklim Indonesia. Maka dari itu, sebenarnya tidak ada lagi tempat untuk solusi-solusi palsu, solusi setengah hati, atau kebijakan yang terbukti salah,” tegasnya.
Sementara itu, Pengkampanye Hutan dan Kebun dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Uli Arta Siagian, mengatakan pidato Jokowi tidak menggambarkan tekad yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim.
Uli mencontohkan dalam konteks transisi energi yang disampaikan oleh Jokowi, ia menilai hal tersebut bukanlah transisi yang benar-benar menuju ke energi bersih. Yang ada, kata Uli, hanyalah peralihan dari satu pembangkit lain ke pembangkit lainnya tanpa mengubah mode konsumsi energi di kalangan masyarakat. Selain itu, seringkali pembangunan sebuah pembangkit listrik juga menimbulkan masalah sosial di lapangan.
“Biodiesel yang juga ketika dikejar itu akan membuat pembukaan lahan sawit semakin besar dengan konsekuensi paling besar ruang hidup masyarakat dirampas dan hutan akan diubah menjadi lahan sawit. Pilihan-pilihan energi yang diklaim sebagai energi bersih itu bermasalah dan tidak menjawab permasalahan iklim sama sekali. Itu justru memunculkan praktik perusakan baru,” jelas Uli.
Lebih jauh Uli mengatakan bahwa WALHI melihat upaya pencarian solusi untuk mengatasi krisis iklim yang berlangsung di forum-forum internasional sebenarnya tidak akan pernah menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Menurutnya seluruh pemerintah yang ada di dunia ini harus kembali pada cara tradisional.
Di Indonesia sendiri, kata Uli, masyarakat adat selama ini telah turut menjaga keberlangsungan hutan yang ada yang sudah terbukti mampu untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim.
“Sehingga WALHI mendorong mungkin kita harus coba beralih, kita tidak boleh secara parsial hanya ngomongin mitigasi yang kemudian terbukti dalam praktiknya gagal untuk menahan 1,5 derajat. Sepertinya kita tetap harus membicarakan, mengambil tindakan untuk konteks adaptasi karena situasi hari ini mengharuskan kita untuk beradaptasi.”
“Para pengurus negara harus beradaptasi, melahirkan satu kebijakan yang memproteksi hutan-hutan yang tersisa lalu memproteksi wilayah genting, dan rakyat dari situasi iklim yang semakin memburuk. Pengusaha atau kelompok kapital juga harus beradaptasi untuk secara drastis mengurangi pelepasan emisi mereka atau kemudian berhenti untuk melakukan praktik bisnis yang berbasis fosil,” pungkasnya. [gi/rs]