Jakarta, CNN Indonesia —
Perusahaan media sosial X Corp, yang sebelumnya dikenal dengan nama Twitter, menggugat lembaga nirlaba Center for Countering Digital Hate (CCDH) karena menyebut platform itu tidak becus dalam menangani konten ujaran kebencian.
Gugatan tersebut diajukan pada Senin (31/7) di pengadilan federal San Francisco. X menuduh CCDH sengaja mencoba menjauhkan pengiklan dari Twitter dengan menerbitkan laporan yang mengkritik platform media sosial itu abai dengan konten-konten penuh kebencian.
Perusahaan media sosial itu secara khusus mengklaim CCDH melanggar persyaratan layanan Twitter dan undang-undang peretasan federal.
Bentuknya, mengambil data dari platform perusahaan dan mendorong individu untuk mengumpulkan informasi tentang Twitter secara tidak benar yang telah diberikannya kepada penyedia pemantauan merek pihak ketiga.
Menanggapi tuduhan itu, CEO CCDH Imran Ahmed mengatakan sebagian besar gugatan, terutama klaimnya tentang individu yang tidak disebutkan namanya, “terdengar seperti teori konspirasi bagi saya.”
“Yang benar adalah bahwa dia [Elon Musk] mencari alasan untuk menyalahkan kami atas kegagalannya sendiri sebagai CEO,” kata Ahmed, mengutip CNN, Rabu (2/8),
“Karena kita semua tahu bahwa ketika dia mengambil alih, dia memberikan ruang bagi orang-orang rasis. dan misoginis, homofobia, antisemit, mengatakan ‘Twitter sekarang adalah platform kebebasan berbicara.’ … Dan sekarang dia terkejut ketika orang dapat menghitung bahwa telah terjadi peningkatan kebencian dan disinformasi,” lanjut dia.
Ahmed mengatakan pihaknya hanya ingin perusahaan tersebut dan Elon Musk berkaca dari apa yang sudah mereka lakukan selama ini.
Dalam 24 jam terakhir, kata Ahmed, ribuan orang telah mengunjungi situs web CCDH dan banyak yang memberikan donasi kepada grup tersebut.
“Itulah yang akan kami butuhkan jika kami ingin selamat dari ini. Alasan mengapa organisasi seperti CCDH harus mengandalkan metodologi seperti yang kami lakukan adalah karena tidak ada transparansi pada platform ini,” jelas dia.
Gugatan itu muncul setelah CCDH pada hari Senin mengungkapkan ancaman asli Twitter pada 20 Juli untuk menggugat, bersamaan dengan tanggapannya terhadap ancaman Twitter yang menyebut klaim perusahaan itu “konyol”.
“Ancaman hukum X adalah upaya membungkam kritik jujur dan penelitian independen, mungkin mereka putus asa dan berharap itu dapat membendung gelombang cerita negatif dan membangun kembali hubungan perusahaan dengan pengiklan,” tulis Ahmed.
Dalam sebuah tulisan blog di laman resminya, Twitter mengatakan gugatan itu dimaksudkan untuk mempromosikan kebebasan berekspresi dan “menolak semua klaim yang dibuat oleh CCDH.”
“X adalah layanan publik gratis yang sebagian besar didanai oleh pengiklan,” kata perusahaan itu.
“Melalui kampanye menakut-nakuti CCDH dan tekanan berkelanjutan pada merek untuk mencegah akses publik ke kebebasan berekspresi, CCDH secara aktif bekerja untuk mencegah dialog publik,” lanjut Twitter.
Dugaan kriminalisasi pengkritik sendiri disebut sudah jadi tren di dalam negeri.
Para aktivis mencontohkannya dengan kasus duo eks Koordinator KontraS, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dalam kasus pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Ada pula kasus yang menyeret jurnalis Dandhy Laksono dan musikus Ananda Badudu usai mengkritik situasi pelanggaran HAM di Papua dan membantu mahasiswa aksi menolak RUU KPK serta RKUHP.
“Kriminalisasi sebetulnya adalah modus dari para penguasa, pengusaha, oligarki supaya kita tidak memperjuangkan hak supaya kita diam,” cetus Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, Rabu (2/8).