Twitter membutuhkan waktu lebih lama untuk meninjau konten ujaran kebencian dan tidak banyak menghapusnya pada 2022 dibandingkan pada tahun sebelumnya, demikian menurut data Uni Eropa yang dirilis pada Kamis (24/11). Angka-angka Uni Eropa itu diterbitkan sebagai bagian dari evaluasi tahunan kepatuhan platform online dengan kode etik blok beranggotakan 27 negara itu tentang disinformasi. Twitter tidak sendirian. Sebagian besar perusahaan teknologi lain yang sukarela mendaftar pada pengaturan itu juga mendapat skor lebih buruk. Tetapi angka-angka itu bisa menandakan masalah bagi Twitter dalam mematuhi aturan baru online yang tegas di Uni Eropa setelah pemilik barunya, Elon Musk, memecat cukup banyak pegawai dari total dari 7.500 pekerja penuh waktu pada platform tersebut,. Musk juga memberhentikan sejumlah kontraktor yang bertanggung jawab atas moderasi konten dan tugas-tugas penting lainnya. Laporan Uni Eropa, yang dilakukan selama enam minggu dalam musim semi, mendapati bahwa Twitter meninjau lebih dari setengah pemberitahuan yang diterima tentang ujaran kebencian ilegal dalam waktu 24 jam, turun dari 82 persen yang tercatat pada 2021. Sebagai perbandingan, jumlah materi yang ditinjau Facebook dalam 24 jam turun menjadi 64 persen, Instagram turun menjadi 56,9 persen, dan capaian YouTube juga mengalami penurunan menjadi 83,3 persen. TikTok menjadi satu-satunya perusahaan yang mencatat kenaikan dengan mencapai 92 persen. Jumlah ujaran kebencian yang dihapus Twitter setelah diingatkan, turun menjadi 45,4 persen dari 49,8 persen tahun sebelumnya. Sementara itu, tingkat penghapusan ujaran kebencian yang dilakukan TikTok turun menjadi 60 persen, sedangkan Facebook dan Instagram hanya mengalami sedikit penurunan. Hanya YouTube yang mencatat kenaikan dalam tingkat penghapusan, dengan pencapaian yang melonjak hingga 90 persen. “Sangat mengkhawatirkan melihat tren penurunan dalam tinjauan pemberitahuan terkait ujaran kebencian ilegal oleh platform media sosial,” cuit Wakil Presiden Komisi Eropa Vera Jourova. “Ujaran kebencian online adalah momok era digital dan platform harus memenuhi komitmen mereka.” Twitter tidak menanggapi permintaan komentar. Sejumlah email yang dikirim ke beberapa staf dalam tim komunikasi perusahaan itu di Eropa terpental dan dinyatakan tidak terkirim. [ka/rs]
Category: VOA Headline News
Diskusi Soal Pemberian Kompensasi untuk Bencana Lingkungan Picu Ketegangan di COP27
Amerika Serikat dan China terlibat pembicaraan yang sengit dalam KTT Iklim COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir, pada Kamis (17/11). Utusan Khusus AS untuk Perubahan Iklim John Kerry menyebut pembicaraan yang berlangsung pada Kamis itu berjalan “menarik” dan “membantu untuk memproses” berbagai isu, tetapi tidak memberi rincian lebih jauh. Pembicaraan selama dua jam itu berlangsung menjelang pertemuan inventarisasi. Diskusi tentang perubahan iklim itu menemui jalan buntu pada Kamis malam terkait sejumlah isu utama, namun kemungkinan tercapainya sebuah kesepakatan kemudian didukung oleh sebuah proposal yang tak terduga yang diajukan oleh Uni Eropa. Blok tersebut mengajukan proposal mengenai dana kompensasi untuk bencana akibat perubahan iklim. Setelah Presiden KTT Iklim PBB Sameh Shoukry mengatakan perundingan yang berlangsung tidak sesuai dengan seharusnya, Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans menyampaikan pengumuman yang mengejutkan. Timmermans mengusulkan pendekatan dua arah untuk membentuk dana bagi negara-negara miskin dan dorongan ekstra untuk memangkas emisi karbon yang memerangkap panas dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil – termasuk minyak, gas alam dan batu bara – secara bertahap. [em/rs]
Elon Musk Bela Diri Soal Kompensasi Tesla yang Diberikan Padanya
CEO Tesla Elon Musk, pada Rabu (16/11), membela diri dalam gugatan hukum yang diajukan para pemegang saham perusahaan tersebut yang menentang pemberian paket kompensasi oleh dewan direksi kepada Musk, di mana paket itu berpotensi bernilai lebih dari $55 miliar. Saat hadir di ruang sidang di Delaware, Musk membantah telah mendikte persyaratan paket kompensasi pada tahun 2018 itu, dan ia juga membantah telah menghadiri rapat dewan atau komite apapun yang membahas rencana tersebut. Gugatan hukum itu menuduh bahwa hibah opsi saham berbasis kinerja itu dirundingkan oleh komite kompensasi dan disetujui oleh anggota dewan Tesla yang memiliki kepentingan karena ikatan pribadi dan professional dengan Musk, termasuk investasi di perusahaan-perusahaannya. Gugatan itu juga menuduh bahwa pemungutan suara para pemegang saham yang menyetujui kompensasi itu didasarkan atas pernyataan proksi yang menyesatkan. Penggugat pemegang saham itu menuduh bahwa proksi yang salah itu menggambarkan anggota komite kompensasi sebagai “pihak yang independen,” dan menggambarkan semua hal yang memicu pemberian opsi saham sebagai tujuan “stretch goals” yang dimaksudkan supaya sulit dicapai, meskipun proyeksi internal menunjukkan bahwa tiga tonggak operasi tampaknya dapat dicapai dalam waktu 18 bulan setelah pemungutan suara para pemegang saham. Stretch goal adalah tujuan berisiko tinggi yang sengaja ditetapkan di atas standar normal untuk menarik imbalan, peluang, dan pengalaman eksponensial. Musk justru mengatakan ia sepenuhnya fokus pada operasi perusahaan itu. Seorang pengacara penggugat pemegang saham itu menghabiskan sebagian besar pemeriksaan silang awalnya dengan mencoba mendorong Musk agar mengakui bahwa ia mengendalikan Tesla sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi dewan tersebut untuk melakukan penawaran sebagaimana yang diinginkannya. [em/lt]
Google Setujui Penyelesaian Hukum Senilai $391,5 Juta dengan 40 Negara Bagian AS
Raksasa teknologi Google telah menyetujui penyelesaian hukum bernilai $391,5 juta dengan 40 negara bagian di Amerika Serikat guna menyelesaikan penyelidikan tentang bagaimana perusahaan itu dapat melacak lokasi pengguna. Beberapa jaksa agung negara bagian menyebut penyelesaian hukum ini sebagai yang terbesar dalam sejarah Amerika. Para pejabat mengatakan penyelidikan oleh negara-negara bagian itu didorong oleh laporan Associated Press yang dirilis pada 2018 yang mendapati bahwa Google terus melacak data lokasi individu, bahkan setelah mereka memilih keluar atau menonaktifkan fitur yang oleh perusahaan itu sebut sebagai “riwayat lokasi.” Keputusan tersebut datang di saat meningkatnya kegelisahan warga atas privasi dan pengawasan oleh perusahaan-perusahaan teknologi yang telah memicu peningkatan kemarahan para politisi dan pengawasan oleh regulator. Putusan Mahkamah Agung pada Juni lalu, yang mengakhiri perlindungan konstitusional untuk melakukan aborsi, telah menimbulkan potensi kekhawatiran pelanggaran privasi para perempuan yang mencari atau ingin menemukan prosedur aborsi itu, atau informasi terkait hal itu di dunia maya. “Penyelesaian bernilai $391,5 juta ini merupakan kemenangan bersejarah bagi konsumen di era meningkatnya ketergantungan pada teknologi,” ujar Jaksa Agung Connecticut William Tong dalam sebuah pernyataan. “Data lokasi adalah salah satu informasi pribadi yang paling sensitif dan berharga yang dikumpulkan Google, dan ada banyak alasan mengapa konsumen dapat memilih untuk tidak dilacak,” tambahnya. Google, yang berkantor di Mountain View, California, mengatakan telah memperbaiki masalah itu beberapa tahun lalu. Juru bicara Google, Jose Castaneda, dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa pihaknya “konsisten dengan perbaikan yang kami lakukan dalam beberapa tahun terakhir ini, kami telah menyelesaikan penyelidikan yang didasarkan pada kebijakan produk yang telah usang yang kami ubah beberapa tahun lalu.” Pelacakan lokasi diketahui dapat membuat Google menjual iklan digital kepada pemasar yang ingin terhubung dengan konsumen di sekitar mereka. Fitur tersebut merupakan piranti lain dalam pengumpulan data yang menghasilkan lebih dari $200 miliar pendapatan iklan tahunan bagi Google, yang sebagian besar mengalir ke induk perusahaannya, Alphabet, yang bernilai lebih dari $1,2 triliun. [em/jm]
Pesawat Antariksa Bertenaga Surya AS Kembali Setelah Menjalani Misi Selama 908 Hari
Sebuah pesawat antariksa militer Amerika Serikat yang tak berawak telah mendarat setelah menghabiskan rekor mengudara selama 908 hari di orbit dalam misi keenamnya untuk melakukan eksperimen ilmiah. Kendaraan bertenaga surya itu mendarat pada Sabtu (12/11) pagi di Kennedy Space Center NASA. Misi sebelumnya berlangsung selama 780 hari. “Sejak peluncuran pertama X-37B pada tahun 2010, pesawat antariksa itu telah memecahkan beberapa rekor dan memberi negara kita dengan kapabilitas tak tertandingi untuk mengujicoba dan mengintegrasikan teknologi antariksa baru,” kata Jim Chilton, wakil presiden senior Boeing. Boeing adalah pengembang pesawat antariksa itu. Untuk pertama kalinya, pesawat antariksa itu membawa sebuah modul yang melakukan eksperimen bagi Laboratorium Riset Angkatan Laut, Akademi Angkatan Udara AS dan institusi lainnya. Salah satu eksperimen yang pernah dilakukannya adalah pengiriman sebuah satelit bernama FalconSat-8 yang dirancang dan dibangun oleh para kadet akademi yang bermitra dengan Laboratorium Riset Angkatan Udara. Satelit itu diluncurkan ke orbit pada Oktober 2021 dan hingga kini masih berada di orbit. Sebuah eksperimen lainnya mengevaluasi dampak jangka panjang paparan antariksa terhadap biji-bijian. [vm/lt]
Badai Tropis Nicole Robohkan Rumah Tinggal di Tepi Pantai Florida
Badai tropis Nicole merobohkan sejumlah rumah di tepi pantai di Florida, menyebabkan puing-puing dari rumah tersebut hanyut ke Samudra Atlantik pada Kamis (10/11). Badai tersebut juga mengancam sederetan kondominium bertingkat tinggi di tempat-tempat di mana Badai Ian menerjang sejumlah wilayah pada September lalu. Pihak berwenang Volusia County di Florida mengatakan beberapa rumah tepi pantai di area Wilbur-By-The-Sea telah ambruk dan sejumlah properti lainnya terancam mengalami kondisi serupa. Wilbur-By-The-Sea adalah sebuah komunitas yang tidak resmi yang berada di pulau pembatas dan berisi sejumlah rumah tepi pantai. Di dekatnya di wilayah Daytona Beach Shores, sebuah barisan kondominium bertingkat tinggi dievakuasi menjelang kedatangan badai Nicole ke daratan, dan meskipun tetap kokoh berdiri pasca badai, namun masa depan dari bangunan tersebut bergantung pada pemeriksaan keselamatan bangunan. Asosiasi pemilik rumah dari Kondominium Marbella baru saja menghabiskan dana sebesar $240 ribu untuk membangun kembali tembok laut yang hancur oleh terjangan badai Ian pada September lalu, demikian kata Connie Hale Gellner, yang keluarganya memiliki satu unit kondominium di wilayah tersebut. “Kondisi saat ini adalah sebuah trifecta yang dimulai dari badai Ian, kemudian disusul oleh ombak besar, dan lalu badai Nicole. Dan kami tidak punya kesempatan untuk memulihkan situasi,” kata Krista Dowling Goodrich yang mengelola 130 rumah sewa di Wilbur-By-The-Sea dan Daytona Beach Shores. Nicole adalah badai yang mencakup daerah yang luas, meliputi hampir seluruh negara bagian Florida yang sudah letih didera terus menerus oleh terjangan badai. [jm/rs]
Modul Pesawat Antariksa ke-3 dan Terakhir China Merapat di Stasiun Antariksa
Modul ketiga dan terakhir pesawat antariksa milik China, Mengtian, akhirnya merapat ke stasiun luar angkasa permanennya, untuk melanjutkan upaya dalam menghadirkan keberadaan awak pesawat secara berkelanjutan di orbit yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Mengtian diluncurkan ke luar angkasa pada Senin (31/10) dari pusat peluncuran di provinsi pulau selatan Hainan di atas roket pembawa Long March – 5B Y4, salah satu kendaraan peluncur paling kuat di China. Kerumunan besar juru foto amatir dan penggemar ruang angkasa menyaksikan ketika pesawat itu naik ke langit. Mengtian adalah modul laboratorium kedua untuk stasiun luar angkasa, yang terhubung ke modul inti tempat para awak tinggal dan bekerja. Modul sekarang ini diisi tiga astronaut, dua pria dan seorang perempuan. “Program luar angkasa ini adalah simbol negara besar dan dorongan modernisasi pertahanan nasional China,” kata Ni Lexiong, profesor ilmu politik dan hukum Universitas Shanghai, yang menggarisbawahi hubungan dekat program militer. “Program ini juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat China, memicu patriotisme dan energi positif,” tambah Ni. Mengtian yang artinya, “Mimpi Surgawi,” bergabung dengan Wentian sebagai modul laboratorium kedua untuk stasiun tersebut, yang secara bersama dikenal sebagai Tiangong, atau “Istana Surgawi.” Keduanya terhubung ke modul inti Tianhe, tempat awak tinggal dan bekerja. [ps/rs]
Elon Musk Resmi Jadi Pemilik Baru Twitter
Elon Musk resmi menjadi pemilik baru Twitter Inc. pada Kamis (27/10). Ia langsung memecat pejabat tinggi Twitter yang dituduh menyesatkannya dan tidak cukup memberikan petunjuk agar ia dapat mencapai ambisi-ambisi yang telah ia uraikan untuk platform media sosial berpengaruh itu. CEO perusahaan mobil listrik Tesla Inc TSLA.O itu mengatakan, ia ingin “mengalahkan” bot spam di Twitter, membuat algoritma yang menentukan bagaimana caranya agar konten disajikan kepada penggunanya tersedia bagi publik, dan mencegah platform itu menjadi ruang gema bagi ujaran kebencian dan perpecahan, bahkan di kala dirinya ingin membatasi penyensoran. Meski demikian, hingga berita ini diturunkan, Musk belum menjelaskan caranya untuk mewujudkan semua itu dan siapa yang akan menjalankan perusahaan media sosialnya tersebut. Ia sempat mengungkapkan niatnya untuk mengurangi pegawai, membuat 7.500 pegawai Twitter resah tentang masa depan mereka. Ia juga mengatakan pada hari Kamis bahwa ia tidak ingin membeli Twitter untuk memperoleh keuntungan, melainkan “untuk mencoba membantu umat manusia yang saya cintai.” Musk memecat Kepala Eksekutif Twitter Parag Agrawal, Kepala Urusan Keuangan Ned Segal dan Kepala Urusan Hukum dan Kebijakan Vijaya Gadde, menurut beberapa orang yang mengetahui hal itu. Ia menuduh mereka menyesatkan dirinya dan para investor Twitter terkait jumlah akun palsu di platform tersebut. Agrawal dan Segal berada di markas Twitter di San Francisco ketika kesepakatan itu selesai dipenuhi dan langsung dikawal keluar gedung, kata sumber-sumber tersebut. Twitter, Musk maupun para pejabat tersebut tidak segera menanggapi permintaan berkomentar. Akuisisi senilai $44 miliar (sekitar Rp683,7 triliun) itu merupakan puncak dari drama yang luar biasa, penuh lika-liku, yang menabur keraguan apakah Musk akan benar-benar melakukan akuisisi. Semua itu bermula pada 4 April lalu, ketika Musk mengungkapkan kepemilikan saham Twitter sebesar 9,2 persen, yang membuatnya menjadi pemegang saham terbesar perusahaan media sosial itu. Orang terkaya di dunia itu lantas setuju untuk bergabung dengan dewan perusahaan Twitter, hanya untuk kemudian menolaknya di menit-menit terakhir dan justru menawarkan diri untuk membeli perusahaan itu dengan harga $54,20 per lembar saham – penawaran yang ditanggapi Twitter dengan kebingungan: apakah ini hanya lelucon Musk lainnya Penawaran Musk nyatanya sungguhan dan dalam kurun waktu satu minggu kemudian, masih di bulan April, kedua pihak bersepakat pada harga yang ia tawarkan. Hal ini terjadi tanpa uji kelayakan apa pun dari pihak Musk terhadap informasi rahasia perusahaan, seperti yang biasanya dilakukan ketika mengakuisisi perusahaan. Pada minggu-minggu setelahnya, Musk meragukan keputusannya. Secara terbuka, ia mengeluh bahwa dirinya meyakini bahwa jumlah akun spam Twitter sebetulnya jauh lebih tinggi dari perkiraan Twitter sendiri yang diterbitkan dalam pengajuan peraturan, kurang dari 5 persen dari pengguna aktif harian yang dapat dimonetisasi. Pengacaranya lantas menuduh Twitter tidak memenuhi permintaannya atas informasi mengenai masalah tersebut. [rd/rs]
Laporan PBB: Sebagian Besar Negara Tak Penuhi Janji Mereka Untuk Redam Pemanasan Global
Dari semua negara yang berkomitmen untuk memperbarui upaya untuk memerangi perubahan iklim pada KTT Iklim PBB tahun lalu (COP26), hanya segelintir yang benar-benar menindaklanjuti janji mereka, menurut laporan yang diterbitkan PBB pada Rabu (26/10). Masing-masing dari ke-193 negara yang terlibat dalam COP26 telah membuat rencana untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, yang memerangkap panas di atmosfer Bumi. Ketika diberikan bukti bahwa rencana yang mereka miliki saat ini tidak cukup untuk mencegah planet Bumi mengalami pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat praindustri – titik yang diyakini para ilmuwan menjadi ambang batas bencana iklim yang menghancurkan – negara-negara peserta pun berjanji akan merevisinya. Laporan yang diterbitkan pada Rabu, yang mengumpulkan semua rencana aksi iklim itu, menemukan bahwa dari seluruh peserta, hanya 24 negara yang telah mengambil tindakan untuk meningkatkan upaya mereka mengurangi emisi. “Di KTT Iklim PBB di Glasgow [Skotlandia] tahun lalu, semua negara setuju untuk meninjau kembali dan memperkuat rencana iklim mereka,” kata Simon Stiell, sekretaris eksekutif Perubahan Iklim PBB, dalam sebuah pernyataan yang diberikan kepada media. “Fakta bahwa hanya terdapat 24 rencana iklim baru atau yang diperbarui yang diajukan sejak COP26 sungguh mengecewakan. Keputusan dan tindakan pemerintah harus mencerminkan tingkat urgensi, besarnya ancaman yang kita hadapi, dan betapa pendeknya waktu yang kita miliki untuk menghindari konsekuensi yang menghancurkan dari perubahan iklim yang tak terkendali,” tambah Stiell. COP27 di Depan Mata Laporan itu dikeluarkan kurang dari dua minggu sebelum KTT Iklim PBB berikutnya, COP27, dijadwalkan untuk digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir. Cherelle Blazer, direktur senior Kampanye Iklim dan Kebijakan Internasional Sierra Club, mengatakan kepada VOA bahwa analisis PBB tidak mengejutkan para aktivis yang melacak komitmen berbagai negara. “Isi laporan itu akurat, dan saya sangat senang bahwa sebelum konferensi itu digelar, mereka memberitahu semua pihak di mana posisi mereka masing-masing dan bahwa kita harus berusaha lebih baik dengan sangat jelas. Kita harus berusaha untuk terus berada di jalur yang tepat dan memahami persis apa yang jadi pertaruhannya,” kata Blazer. Beberapa Kabar Baik Meskipun temuan dari keseluruhan laporan itu mungkin mengecewakan, tetap terdapat beberapa bukti bahwa setidaknya ada kemajuan yang tercipta secara terbatas. Meskipun penilaian rencana-rencana iklim saat ini oleh Perubahan Iklim PBB menunjukkan bahwa emisi akan naik 13,7 persen pada 2030 dan terus naik setelahnya, komitmen-komtitmen baru telah mengubah hasil analisis organisasi itu. Bila semua negara menepati janji mereka, maka emisi hanya akan naik 10,6 persen antara saat ini hingga 2030, dan akan mulai menurun setelahnya, meskipun bukan pada tingkat yang diharapkan oleh para ilmuwan. “Tren penurunan emisi yang diharapkan pada tahun 2030 menunjukkan bahwa negara-negara telah membuat beberapa kemajuan tahun ini,” kata Stiell. “Namun perhitungan sainsnya sudah jelas, demikian juga target iklim kita berdasarkan Perjanjian Paris. Kita masih belum mendekati skala dan kecepatan penurunan emisi yang dibutuhkan agar kita bisa membatasi kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius. Agar target ini bisa tercapai, pemerintah berbagai negara harus memperkuat rencana aksi iklim mereka sekarang dan menerapkannya dalam delapan tahun ke depan.” Laporan itu memperingatkan bahwa tanpa perubahan signifikan, planet Bumi akan jauh melampaui kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius, di mana pada abad selanjutnya, suhu bumi bisa menjadi 2,1 hingga 2,9 derajat Celcius lebih tinggi. [rd/rs]
Sekjen PBB Sebut Ketergantungan Bahan Bakar Fosil Secara Terus Menerus ‘Bodoh’
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Rabu (26/10) mengatakan, merupakan hal yang “bodoh” apabila dunia terus bergantung pada bahan bakar fosil, karena hal itu memicu kondisi darurat iklim yang sekarang sedang terjadi. “Jika dunia, terutama Eropa, selama dua dekade terakhir telah berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan, kita tidak akan menghadapi krisis energi yang kita hadapi saat ini,” kata Guterres dalam wawancara dengan BBC. “Dan harga minyak dan gas pun tidak akan setinggi sekarang,” tambahnya saat menjawab pertanyaan mengenai perang di Ukraina dan konsekuensinya terhadap produksi bahan bakar fosil. “Karena kita tidak cukup berinvestasi pada energi terbarukan, kini kita yang merasakan akibatnya,” kata Guterres. Ia melanjutkan: “Hal paling bodoh adalah bertaruh pada apa yang telah menyebabkan kita mengalami bencana ini.” Menjelang pembukaan KTT Iklim PBB bulan depan di Mesir, pemimpin PBB itu mendesak negara-negara untuk berbuat lebih banyak demi memerangi pemanasan global. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Rabu (26/10), PBB mengatakan bahwa komitmen iklim dunia saat ini masih jauh dari target untuk membatasi kenaikan suhu bumi hingga sebesar 1,5 derajat Celcius. Komitmen itu akan membawa Bumi yang kini sudah diamuk gelombang panas, banjir dan badai yang meningkat ke bencana pemanasan global yang menghancurkan. Komitmen gabungan saat ini dari hampir 200 negara akan membawa suhu bumi naik 2,5 derajat Celcius pada akhir abad ini bila dibandingkan suhu bumi pada tingkat pra-industri, demikian bunyi laporan tersebut. Guterres mengatakan, “1,5 derajat itu masih mungkin dicapai. Tapi kita sudah hampir kehilangan harapan itu.” [rd/jm]