Taman hiburan digital, House of Hype, menawarkan pengalaman yang mendalam bagi para pengunjung di Riyadh, Arab Saudi. Para pengunjung dapat menjelajahi taman seperti dalam video game, membuka hadiah, hingga berburu barang bekas dalam dunia realitas tertambah dengan menggunakan ponsel pintar mereka.
Category: Seni&Hiburan
Teknologi AI: Matikan atau Hidupkan Era Baru Orisinalitas Musik?
Teknologi kecerdasan buatan atau AI kini semakin berkembang. Bahkan sudah merambah dunia industri musik. Banyak pro dan kontra di kalangan musisi terkait penerapan AI, namun sejumlah pakar menganggap hal itu tidak dapat…
Konser Elvis dengan Bantuan AI Siap Digelar
Elvis akan kembali pada tahun 2024. Raja Rock ‘n’ Roll ini akan memulai debutnya di Inggris dengan sebuah pengalaman menyeluruh yang memetakan kehidupan pribadi dan publik, yang diakhiri dengan sebuah pertunjukan. Perusahaan…
‘Slow Fashion’, Gaya Hidup Peduli Lingkungan Lewat Fesyen
Isu-isu keberlanjutan (sustainability) terkait lingkungan banyak menimbulkan perubahan di berbagai industri, termasuk di antaranya industri mode atau fesyen. Kesadaran mengenai dampak industri fesyen yang sering disebut termasuk tiga besar polutan lingkungan di seluruh dunia ini menimbulkan gaya hidup yang mulai memarakkan slow fashion. Najmah Faradiba, karyawan perusahaan swasta, mulai membeli produk-produk fesyen ramah lingkungan sejak tahun 2017. Diba, begitu ia dipanggil, mengaku tertarik dengan isu-isu keberlanjutan terutama di industri fesyen. “Saya mulai baca-baca-ternyata baju yang sering saya pakai itu termasuk fast fashion yang impak lingkungannya parah sekali,” kata Diba. Fast fashion yang Diba sebut itu mengacu pada industri yang memproduksi pakaian secara massal, cepat, sesuai tren dan … murah. Karena murah, konsumen kerap rela untuk tidak berlama-lama mengenakan pakaian itu. Ellen Macarthur Foundation di AS mendapati angka rata-rata tujuh hingga 10 kali pakai sebelum satu pakaian dibuang. Yayasan yang berkomitmen pada ekonomi sirkular untuk menghilangkan limbah dan polusi ini juga mencatat industri tekstil sangat bergantung pada sumber daya tak terbarukan, seperti minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk untuk tanaman kapas, serta berbagai bahan kimia untuk memproduksi serat maupun tekstil. Organisasi lainnya, earth.org, mencatat bahwa dari 100 juta helai pakaian yang diproduksi setiap tahun 92 juta ton berakhir di TPA. ‘Slow fashion’ Buku “Fast Fashion: The Dark Sides of Fashion” terbitan Jerman yang dibaca Ghina Fadhilla, membuka matanya mengenai slow fashion. Istilah yang kerap disamakan dengan fesyen berkelanjutan (sustainable fashion) ini mengacu pada praktik yang didasari pada proses produksi yang ramah lingkungan serta beretika, dan pemakaiannya pun bertahan dalam rentang waktu yang lebih lama. Praktik slow fashion juga tidak memprioritaskan kuantitas, melainkan kualitas. Keinginan Ghina untuk lebih banyak berkontribusi ke slow fashion membawanya bergabung dengan komunitas Slow Fashion Indonesia (SFI) pada tahun 2020, mula-mula menjadi sukarelawan sebagai kreator konten media sosial SFI. Salah satu konten awal yang menarik di akun IG SFI pada awal 2021, kenangnya, adalah “Know Your Jeans,” yang membahas dampak produksi jins terhadap lingkungan. “Kami mengekspose, untuk membuat satu potong celana jeans itu membutuhkan sekian liter air. Dari hasil produksinya, ada limbah cair, ada dampaknya bagi lingkungan di sekitar pabriknya,” jelasnya. Menurut sumber SFI, satu potong celana jins biasa memerlukan 11 ribu liter dalam proses produksinya, jumlah yang bisa mengisi 20 bak mandi. Ghina menganggap penting untuk terus mengampanyekan slow fashion atau waste less lifestyle. “Kalau kita tidak banyak mengampanyekan slow fashion atau less lifestyle, mungkin yang sadar itu cuma orang-orang yang memang punya kepedulian di bidang itu,” tegasnya. Tetapi kalau banyak yang mengampanyekannya, orang yang terus terpapar info semacam itu akan berusaha memperhatikan apa yang bisa dikontribusikan sebagai individu, lanjut Ghina. Komunitas SFI Ghina bergabung dengan SFI karena ia kenal dengan pendirinya, Tara Ainun Adila. Tara sendiri sangat tertarik dengan isu sustainable fashion ketika mengambil kursus online semasa pandemi COVID. Aktivis organisasi semasa kuliah ini mengikuti berbagai akun untuk isu terkait, termasuk gerakan slow fashion global yang berbasis di Belanda, hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan komunitas SFI pada akhir 2020. Membentuk komunitas dipandang penting oleh Tara karena sudah banyak pabrik garmen di Indonesia yang memproduksi busana untuk berbagai merek luar negeri dan menyebabkan lingkungan yang tercemar bahan kimia dari pabrik tersebut, serta, selera masyarakat untuk mengonsumsi fast fashion yang masih besar. Selain itu, karena ada salah pemahaman di kalangan anak-anak muda Indonesia yang banyak memperhatikan isu lingkungan. “Mereka mulai belanja di thrift shop (toko barang bekas). Tapi pola pikir mereka, yang penting ikuti tren, jadi thrift shop jatuhnya tren, yang dibeli produk-produknya itu yang trendi,” kata Tara. Karena menganggap belanja semacam itu berarti sudah cukup peduli lingkungan, mereka terus berbelanja. Dampak ikutannya, harga pakaian di toko ini naik menyamai harga produk baru, jelas Tara. Pada awal beraktivitas, SFI berupaya meningkatkan kesadaran mengenai slow fashion di komunitas pencinta fesyen secara daring mengingat situasi pandemi ketika itu. Di antaranya ikut menyelenggarakan SF Season. Selama tiga bulan, komunitasnya mengajak orang-orang untuk berhenti mengonsumsi atau berbelanja fesyen baru, menginformasikan cara-cara menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab dan berkesadaran. Piramida ‘buyerarchy’ Ajakan SFI kerap berpatokan pada piramida Buyerarchy of Needs yang disusun Sarah Lazarovic, kata sarjana kesehatan masyarakat itu yang kini bekerja sebagai rekruter di sebuah perusahaan rintisan teknologi. “Pertama, kita kampanye untuk memakai yang ada di lemari kita. Di atasnya, meminjam baju kalau tidak ada, kita bisa meminjam baju mama atau kakak. Ketiga, swap atau bertukar baju. Keempat, thrift, berbelanja baju bekas atau second hand. Selanjutnya, make, memperbaiki pakaian menjadi baru, yang terakhir barulah beli,” jelas Tara mengenai hierarki tersebut. Tara optimistis slow fashion akan semakin marak dipraktikkan. Sekarang saja, sudah banyak kalangan yang mengampanyekan fesyen berkelanjutan. Ketika SFI diundang menjadi salah satu pembicara oleh perusahaan semacam itu, misalnyam ia melihat hadirin yang berasal dari kalangan industri, komunitas termasuk pesohor, memiliki ketertarikan pada isu yang sama. “Saya kira, ke depannya akan lebih banyak lagi yang menaruh kepedulian pada slow fashion,” kata Tara. Optimismenya bertambah ketika murid-murid sebuah sekolah yang dikunjungi SFI untuk mempromosikan sustainable fashion kemudian antusias menyelenggarakan acara tindak lanjutnya. Begitu juga ketika swappyness, acara bertukar baju yang disponsorinya mendapat sambutan dari berbagai kelompok usia. SFI tahun ini juga mengunjungi suku Baduy untuk mempelajari tenunan suku tersebut dalam rangka mempelajari salah satu ilmu keberlanjutan dari berbagai suku di Indonesia. Pewarna alami, peduli lingkungan Kembali ke Diba yang membeli produk slow fashion untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Beberapa merek lokal, katanya, berusaha mengurangi impak ke lingkungan, salah satu caranya dengan menggunakan bahan pewarna yang lebih alami. Di antara merek fesyen yang disebut Diba adalah Abhati. Putri Anggita Mustikasari adalah pemilik dan co-founder Abhati, studio warna alam yang berbasis di Yogyakarta. Abhati, dari bahasa Sansekerta yang berarti kemegahan, memproduksi kain dengan menggunakan teknik warisan nenek moyang, seperti batik tulis, dengan menggunakan bahan-bahan alami di lingkungan. Sebagai sarjana arsitektur, ia mempelajari konsep sustainability atau berkelanjutan. Namun ia beralih ke tekstil, pakaian yang dikenakan sehari-hari, setelah merasa masalah yang harus diselesaikan di dunia arsitektur lewat sustainability itu terlalu kompleks. Putri mengaku bahwa konsumennya ada yang tertarik membeli karena desain Abhati, selain yang peduli lingkungan seperti Diba. “Misi kami nomor satu adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Itu PR terbesar kita, yang jujur masih terus kita lakukan dan tidak mudah. Tetapi meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa apa yang kita pakai, apa yang kita beli, memiliki dampak lingkungan maupun sosial,” ujar Putri. Putri memasarkan produknya melalui media sosial maupun bazar artisan. Ia selalu menyiapkan brand story Abhati yang menampilkan foto-foto bagaimana proses kain dibuat hingga pembatikannya. Sekarang ini kapasitas pencelupan Abhati sekitar 100 meter bahan per bulan, dan untuk produk batiknya, perlu waktu sampai dua bulan untuk memproduksi panjang kain yang sama, jelas Putri. Apa rencana ke depan Abhati? “Goal kita bukan growth. Karena kalau goal kita itu, nggak ada habisnya, satu-satunya batasnya itu kan sumber daya alam. Makanya kami lebih ingin memperluas kolaborasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat, karena yang penting adalah perilaku konsumen,” jelasnya. Sekarang ini, tantangan paling berat bagi Putri adalah kala harga produk dibanding-bandingkan, karena masyarakat yang sudah terbiasa dengan harga baju pada fast fashion. “Orang tidak sadar, contohnya ketika mereka membayar hanya Rp50 ribu untuk baju fast fashion, sebetulnya yang membayar sisanya itu siapa Ada yang membayarnya, ya bumi kita, orang-orang yang kerja di pabrik dan dibayar dengan upah sangat rendah,” katanya mengingatkan. Dengan sosial media sebagai alat komunikasi, Abhati terus meningkatkan kesadaran itu ke masyarakat. Abhati berusaha transparan mengenai harga, misalnya, karena pembatiknya dibayar dengan upah yang layak, tidak seperti kebanyakan pembatik yang dibayar di bawah UMR Yogyakarta. Harga dan kualitas ‘slow fashion’ Diba sendiri mengatakan bahwa meski tergolong mahal, tidak masalah baginya untuk membeli produk-produk slow fashion apabila kualitasnya baik. Kriteria pilihan baju bagi perempuan yang terakhir kali membeli baju sekitar enam bulan lalu adalah, “Saya lihat ke brand-nya dulu, lihat cerita dari brand itu apakah komit terhadap isu lingkungan atau tidak, lalu lihat kualitasnya, apakah akan lebih awet, nyaman dipakai atau tidak.” Ia juga lebih memilih model yang serbaguna dengan warna-warna netral. Meski ia sudah mulai menerapkan gaya hidup seperti itu, Diba yang mengaku masih menyimpan dan menggunakan baju yang ia beli tiga hingga lima tahun lalu, mengatakan ia belum giat mengampanyekan slow fashion dan baru menerapkannya untuk keluarga intinya. Kabar baik datang dari Ghina yang mengaku baru-baru ini menukar tiga bajunya yang jarang ia pakai dalam ajang tukar baju baru-baru ini. Ini menegaskan bahwa mempraktikkan slow fashion tidak sulit. Ia sendiri percaya bahwa banyak orang dewasa yang sebenarnya mengetahui cara mempraktikkan slow fashion. Menurutnya, ini adalah praktik yang dilakukan orang zaman dahulu yang tidak konsumtif membeli baju karena memang tidak terlalu banyak pilihan dan tidak ada kemudahan belanja online. Meski demikian, Ghina mencermati masih ada salah kaprah dalam penerapan slow fashion di Indonesia. “Orang mengira kalau kita mau implementasi slow fashion, kita harus membeli baju yang di-branding dengan sustanaibility. Misalnya, bahannya dari bahan alami, dengan pewarna alami. Baju-baju itu menurutku kebanyakan masih dibanderol dengan harga yang tinggi untuk orang Indonesia, 1 jutaan rupiah ke atas. Nah sebenarnya untuk menerapkan slow fashion tidak selalu kita harus beli baju yang berbahan alami. Bisa mulai dari apa yang kita punya di rumah. Itu kan jauh lebih ramah lingkungan daripada beli baru, sekalipun bahannya alami,” jelasnya. [uh/ab]
AI Dunia Musik: Suara Biduan yang Menyanyi Dalam Bahasa yang Tak Ia Pahami Hingga ChatGPT untuk Menulis Lirik
Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini digunakan untuk menciptakan “deepfake” dunia musik, misalnya dalam bentuk lagu-lagu yang terdengar dinyanyikan oleh artis tertentu, tapi nyatanya buatan komputer.
Tim Ilmuwan Ciptakan Kembali Aroma Balsem Mumifikasi Kuno
Tim ilmuwan mengidentifikasi dan menciptakan kembali aroma yang digunakan dalam mumifikasi Perempuan Mesir kuno, lebih dari 3.500 tahun lalu. Produk yang dijuluki ‘aroma keabadian’ itu kini diperkenalkan dalam pameran baru yang mengeksplorasi obsesi Mesir kuno akan kehidupan setelah kematian.
Apakah Kecerdasan Buatan Tingkatkan atau Hambat Kreativitas Seni?
Apakah lukisan yang dihasilkan dengan teknologi kecerdasan buatan benar-benar bisa dianggap karya seni? Sebuah pameran di Pusat Seni dan Budaya Noua, Kuwait, yang menampilkan karya-karya seni yang dibuat oleh teknologi itu menyerahkan jawabannya pada penonton yang hadir.
Manfaat Sains Kuantum Bagi Manusia
Tidak seperti kebanyakan komputer saat ini, potensi komputasi kuantum tampaknya tidak terbatas. Hanya sedikit yang kita ketahui tentang teknologi baru ini dan pengetahuan yang sedikit itu hanyalah puncak dari gunung es, kata para ahli. Film blockbuster “Oppenheimer” berkisah tentang karya fisikawan teoretis Amerika J. Robert Oppenheimer dan pengembangan bom atom. Ketika mempersiapkan film tersebut, sutradara Christopher Nolan dilaporkan melakukan penelitian besar-besaran terhadap fisika kuantum yang “merupakan studi tentang materi dan energi pada tingkat paling mendasar,” menurut Institut Teknologi California. Nolan ingin mengungkapkan sifat dan perilaku alam semesta, bahan penyusun alam semesta.” Olivia Lanes, pemimpin global pendidikan dan advokasi tim kuantum di IBM, berbicara dengan VOA melalui Skype. “Komputasi kuantum, pada intinya, adalah kerangka kerja baru dan cara baru untuk melakukan komputasi dan menjalankan algoritma,” jelasnya. Komputer klasik beroperasi pada bit… “Dan komputer klasik dapat memproses informasi dengan menerjemahkan segala sesuatu menjadi nol dan satu, dan pemrosesan itu berjalan berdasarkan hukum yang diatur oleh fisika klasik,” lanjut Olivia. Sementara komputer kuantum beroperasi berdasarkan fisika kuantum, seperti dijelaskan oleh Olivia Lanes. “Komputer klasik memiliki bit biner, sedangkan komputer kuantum memiliki bit yang dapat dimasukkan ke dalam superposisi keadaan, yang berarti sedikit nol, dan pada saat yang sama sedikit satu,” jelasnya. Artinya, komputer kuantum berpotensi menjadi lebih cepat dan lebih mampu memecahkan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh komputer klasik. Olivia Lanes mengatakan mekanika kuantum telah merevolusi teknologi dalam banyak hal, mulai dari hard drive di ponsel dan laptop, hingga laser dan GPS. Teknologi baru ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan pengobatan, membantu mengatasi perubahan iklim, dan dalam pengembangan kapal, perahu, dan pesawat terbang yang lebih cepat dan dapat melakukan perjalanan dengan jarak lebih jauh, katanya. Sementara itu, para ilmuwan di IBM dan perusahaan-perusahaan teknologi lainnya juga berupaya membangun perlindungan dalam sistem mereka untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan siber pada masa depan dan potensi ancaman keamanan nasional lainnya yang dilakukan oleh peretas komputer kuantum. [lt/ab]
Lagu yang Dibuat dengan AI Guncang Industri Musik
Sebuah lagu yang dibuat dengan kecerdasan buatan (AI) bisa mengecoh para penggemar musik yang mengira lagu itu diciptakan penyanyi terkenal. Menurut pakar, pesatnya perkembangan ini membuat industri musik perlu memutuskan bagaimana cara menyikapi musik AI.
Dari Tatakan Gelas Hingga Rumah, Hasil Daur Ulang Sampah Plastik di Bali
Sejumlah pegiat lingkungan di Bali yang peduli pada sampah plastik menggelar berbagai cara untuk mengatasi limbah yang sulit terdekomposisi itu. Mereka mendaur ulang sampah plastik menjadi berbagai benda yang bermanfaat dan bahkan sama sekali berbeda dengan bentuk asalnya.