Uni Eropa, pada Senin (24/10), menetapkan posisinya untuk KTT Iklim COP27 dalam sebuah naskah yang menyerukan “target yang ambisius,” tanpa menuliskan berapa persisnya jumlah bantuan dana yang akan diberikan bagi negara-negara berkembang untuk memerangi perubahan iklim. Blok beranggotakan 27 negara itu mengakui bahwa “ambisi global harus meningkat secara substansial” untuk memastikan agar target kenaikan suhu bumi sesuai Perjanjian Paris tetap dapat tercapai. Naskah itu mendesak negara-negara untuk “maju dengan target-target yang ambisius” menjelang konferensi PBB di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang berlangsung bulan depan. Uni Eropa sudah siap memperbarui kontribusi nasionalnya “sesegera mungkin” setelah negara-negara blok itu memutakhirkan rencana penanganan perubahan iklimnya. Rencananya, Uni Eropa menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca para anggotanya sebesar 55 persen pada tahun 2030, dibanding tingkat emisi tahun 1990. Naskah yang diratifikasi pertemuan menteri lingkungan negara-negara Uni Eropa di Luxembourg itu juga “menyerukan semua pihak agar mengakhiri penggunaan batu bara yang tak juga berhenti melalui penghentian bertahap.” Namun naskah itu amat berhati-hati saat menyinggung masalah sensitif terkait bantuan finansial bagi negara-negara berkembang. Pembiayaan “ganti rugi dan kerusakan” yang disebabkan oleh dampak pemanasan global akan menjadi isu panas di COP27, Konferensi Pihak-Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang ke-27. Negara-negara kaya belum juga memenuhi janji mereka untuk memberikan bantuan finansial senilai setidaknya $100 miliar per tahun – target yang awalnya ditetapkan untuk tahun 2020 – untuk membantu negara-negara miskin mengurangi emisi dan beradaptasi. Negara-negara anggota Uni Eropa mengharapkan “target itu tercapai pada tahun 2023,” demikian tertulis dalam naskah, tanpa memberikan angka pasti pada target yang baru. Kompensasi kerugian dan kerusakan merupakan “pertanyaan yang sulit,” kata Menteri Lingkungan Ceko Anna Hubackova. Ia menambahkan, “Kami siap mendiskusikan” syarat-syarat yang memungkinkan. “Hari ini di Dewan, kami sepakat untuk berpikiran terbuka dalam negosiasi kerugian dan kerusakan,” kata Menteri Energi Belanda Rob Jetten. “Kita harus menyadari dampaknya pada banyak negara berkembang,” tambahnya. “Kita lihat di Sharm el-Sheikh di mana ini akan berlabuh,” ujarnya. [rd/rs]
Category: Politik
Amerika Dakwa Agen Intelijen China yang Diduga Menghalangi Penyelidikan Kasus Huawei di AS
Dua pria yang diduga sebagai agen intelijen China didakwa berusaha menghalangi penyelidikan kriminal dan penuntutan hukum perusahaan raksasa teknologi China Huawei oleh Amerika Serikat, menurut dokumen pengadilan yang dibuka pada Senin (24/10). Kasus-kasus itu diumumkan kepala FBI dan Departemen Kehakiman AS dalam sebuah konferensi pers bersama yang jarang dilakukan, yang dirancang sebagai unjuk kekuatan AS terhadap upaya intelijen China. Washington telah lama menuduh Beijing ikut campur dalam urusan politik AS, mencuri rahasia dan kekayaan intelektual. Sebelas warga China lainnya didakwa dalam berbagai kasus, termasuk gangguan terhadap individu di AS, yang Direktur FBI Christopher Wray sebut sebagai “serangan ekonomi dan pelanggaran hak-hak oleh China merupakan bagian dari persoalan yang sama.” “Mereka mencoba membungkam siapa saja yang melawan tindak pencurian yang mereka lakukan – perusahaan, politikus, individu – seperti halnya mereka mencoba membungkam siapa saja yang melawan agresi mereka yang lain,” katanya. Kedua pria dalam kasus Huawei, Guochun He dan Zheng Wang, dituduh mencoba mengarahkan seorang individu dari pemerintah AS yang mereka yakini sebagai sekutu untuk memberikan informasi rahasia mengenai penyelidikan Departemen Kehakiman, termasuk tentang para saksi, bukti persidangan dan kemungkinan dakwaan-dakwaan baru. Salah satu terdakwa membeli informasi itu seharga $61.000 (sekitar Rp951 juta), kata Departemen Kehakiman. Departemen itu telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya, meski belum jelas apakah mereka akan ditahan. Jaksa Agung AS Merrick Garland juga mengumumkan dakwaan terhadap empat warga China yang lain. Mereka dituduh menggunakan kedok lembaga akademis untuk mencoba mendapatkan teknologi dan peralatan yang bersifat sensitif, serta menghalang-halangi protes yang “akan mempermalukan pemerintah China.” Sementara itu, dua orang lainnya ditangkap dan lima lainnya didakwa karena mengganggu seseorang yang tinggal di AS agar kembali ke China, sebagai bagian dari apa yang disebut Beijing sebagai “Operation Fox Hunt” atau perburuan orang-orang yang ‘licin.’ “Kasus-kasus hari ini memperjelas bahwa agen-agen China tidak akan ragu untuk melanggar hukum dan melanggar norma internasional dalam menjalankan tugas mereka,” kata Wakil Jaksa Agung Lisa Monaco. Wang dan He dituduh mendekati seseorang yang mulai bekerja sebagai agen ganda bagi pemerintah AS, di mana komunikasi orang itu dengan para terdakwa diawasi oleh FBI. Pada satu titik di tahun lalu, jaksa mengatakan bahwa orang yang tidak disebutkan namanya itu memberikan selembar dokumen kepada para terdakwa, yang tampak seperti dokumen rahasia dan berisi informasi tentang sebuah rencana untuk mendakwa dan menangkap pejabat eksekutif Huawei di AS. Akan tetapi, dokumen tersebut sebenarnya sudah disiapkan oleh pemerintah AS untuk melakukan pendakwaan tersebut, di mana informasi yang terkandung di dalamnya adalah palsu. Nama perusahaan itu tidak disebutkan dalam dokumen dakwaan, meskipun referensinya sudah jelas mengacu pada Huawei, yang didakwa pada 2019 atas kasus penipuan perbankan dan setahun kemudian dijerat dengan pasal baru berupa konspirasi pemerasan dan plot untuk mencuri rahasia dagang. Juru bicara Huawei dan Kedutaan Besar China di Washington tidak segera menanggapi permohonan wawancara. Huawei sebelumnya menyebut penyelidikan federal AS sebagai “persekusi politik.” “Menyerang Huawei tidak akan membantu AS tetap (menjadi) terdepan di tengah persaingan,” kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada tahun 2020. Dalam kasus yang terkait “Operation Fox Hunt,” jaksa menyebut para agen China mencoba mengintimidasi seseorang yang tidak disebutkan namanya dan keluarganya agar kembali ke China. Dalam tuduhannya, AS menyebut sebagian dari plot itu melibatkan keponakan orang tersebut yang terbang ke AS sebagai bagian dari sebuah kelompok wisata untuk menyampaikan ancaman, termasuk, “pulang dan serahkan dirimu adalah satu-satunya jalan.” [rd/jm]
Misteri Seputar Bocornya Audio dari Kantor PM Pakistan Semakin Dalam
Mantan perdana menteri Pakistan, Imran Khan, mengutuk bocornya audio percakapan dari masa ketika dia menjabat dan masa jabatan perdana menteri Shahbaz Sharif, yang saat ini berkuasa. Dia menyerukan penyelidikan yudisial atas apa yang ia sebuat sebagai “pelanggaran serius keamanan nasional.” Beberapa klip audio telah beredar di platform media sosial dalam beberapa minggu terakhir di mana Perdana Menteri Sharif dan pendahulunya Khan terdengar mendiskusikan masalah-masalah resmi dengan menteri atau pembantu dekat mereka. Percakapan itu konon direkam di kantor perdana menteri dan kediaman resmi. “Kami bermaksud pergi ke Pengadilan untuk memastikan keaslian (dari audio yang) bocor ke publik dan kemudian membentuk JIT (Tim Investigasi Gabungan) untuk menyelidiki badan Intel mana yang bertanggung jawab atas penyadapan dan siapa yang membocorkan audio yang banyak diedit/diubah,” cuit Khan di Twitter pada Senin (10/10). “Ini sangat penting karena masalah keamanan sensitif sedang dan telah direkam secara ilegal dan kemudian diretas, menunjukkan kerahasiaan keamanan nasional Pakistan telah terungkap secara global,” keluh mantan perdana menteri itu. Sharif sendiri telah menyebut kebocoran itu sebagai “kesalahan (keamanan) yang sangat serius” dan membentuk komite tingkat tinggi sekitar dua minggu lalu, yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Rana Sanaullah, untuk menyelidiki insiden tersebut. Para pejabat hingga kini belum memberikan informasi apa pun tentang status penyelidikan itu maupun hasilnya. [lt/jm]
Biden: Investasi IBM Bantu AS Berkompetisi Melawan China dalam Bidang Teknologi
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, pada Kamis (6/10), mengatakan investasi bernilai $20 miliar oleh perusahaan teknologi IBM di wilayah Hudson River Valley, New York, akan membantu AS selangkah lebih maju dari China dalam bidang teknologi. Presiden Biden mengunjungi fasilitas IBM di Poughkeepsie, New York, dan memuji apa yang Gedung Putih sebut sebagai sebuah “ledakan” manufaktur yang dipicu oleh paket legislatif bernilai $280 miliar yang dimaksudkan untuk mendorong industri semikonduktor dan penelitian ilmiah di AS. The CHIPS and Science Act yang ditandatangani Biden pada Agustus lalu merupakan sebuah undang-undang yang langka di mana presiden berhasil meraih dukungan bipartisan. Investasi IBM sebesar $20 miliar untuk satu dekade ke depan bertujuan untuk mendorong penelitian dan pengembangan, serta pembuatan semikonduktor, teknologi mainframe, kecerdasan buatan, dan komputasi kuantum. Produk legislatif itu diperlukan untuk sektor keamanan nasional dan ekonomi, kata Biden di Poughkeepsie, seraya menambahkan bahwa Partai Komunis China secara aktif melakukan lobi untuk menentangnya. “AS harus memimpin dunia dalam produksi cip canggih ini, dan undang-undang ini akan memastikan hal itu dapat tercapai,” kata Biden. [jm/lt]
Puan: Ini Saatnya Dunia Ambil Tindakan untuk Menurunkan Emisi Global
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia mulai tanggal 5-7 Oktober 2022 menyelenggarakan The 8th G20 Parliamentary Speakers Summit (P20). Perubahan iklim, kesehatan dan demokrasi menjadi sebagian isu yang dibahas dalam forum ini.
AS Dakwa Tiga Peretas Iran dalam Kasus Peretasan ‘Gaya Ransomware’
Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengajukan sebuah dakwaan kriminal pada Rabu (14/9), menuduh tiga warga negara Iran meretas jaringan internet dari ratusan korban di AS dan di seluruh dunia, dalam apa yang oleh para pejabat tersebut gambarkan sebagai kampanye dunia maya “gaya-ransomware”. Ransomware adalah perangkat lunak berbahaya (malware) yang bisa mencuri dan atau memblok akses ke data atau sistem komputer. Dalam serangan ransomware, pelaku mengenkripsi sejumlah file yang ada di dalam komputer korban dan lalu meminta pembayaran dalam mata uang kripto sebagai imbalan untuk mengembalikan kembali file tersebut. Meskipun dakwaan itu tidak menuduh peretas bertindak atas nama pemerintah Iran, sejumlah lembaga penegak hukum AS merilis peringatan bersama tentang “kegiatan siber berbahaya yang terus berlanjut” oleh pelaku yang berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam Iran. Sementara itu, Departemen Keuangan AS memasukkan alamat bitcoin yang terkait dengan dua terdakwa ke dalam daftar hitam. Laporan keamanan siber itu dikeluarkan bersama oleh lembaga penegak hukum AS, Australia, Inggris, dan Kanada. Dalam sebuah pernyataan video, Direktur FBI Christopher Wray mengatakan, laporan itu menggarisbawahi “ancaman lebih luas” yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan siber Iran. “Bagi para pelaku, mereka tidak mengenal yang namanya batasan. Sebagai contoh, mereka menjadikan rumah sakit khusus anak-anak di Boston sebagai target pada musim panas 2021,” ujar Wray. Tiga warga negara Iran itu, yang diidentifikasi bernama Mansour Ahmadi, Ahmad Khatibi Aghda dan Amir Hossein Nickaein Ravari, dituduh melakukan “peretasan dan pemerasan ala ransomware” antara Oktober 2020 hingga Agustus 2022, menurut dakwaan setebal 30 halaman yang diajukan pada Rabu. Ketiga orang tersebut kini masih buron dan diyakini berada di Iran, menurut pejabat penegak hukum AS. Departemen Luar Negeri AS menjanjikan hadiah sebesar $10 juta bagi pihak manapun yang mampu memberikan informasi soal ketiga terdakwa tersebut. [ps/jm/rs]
‘Whistleblower’ Twitter Sampaikan Peringatan Keamanan di hadapan Kongres AS
Peiter “Mudge” Zatko, whistleblower atau pelapor tindak pidana di platform media sosial Twitter, akan membawa kasusnya ke hadapan Kongres Amerika Serikat pada Selasa (13/9). Zatko sebelumnya telah memperingatkan tentang adanya kekurangan dalam sistem keamanan, ancaman privasi dan pengawasan yang lemah di perusahaan media sosial itu. Senator yang akan mendengar kesaksian Zatko khawatir dengan sejumlah tuduhan yang diutarakan olehnya di saat kekhawatiran soal isu keamanan pada perusahaan teknologi raksasa kini tengah meningkat. Zatko, pakar keamanan siber yang disegani, adalah kepala sistem keamanan Twitter sampai ia dipecat pada Januari lalu. Ia menyampaikan sejumlah tuduhan tersebut kepada Kongres dan regulator federal, dan menyatakan bahwa platform media sosial yang berpengaruh itu telah menyesatkan regulator tentang sistem keamanan siber yang mereka miliki dan upayanya dalam mengendalikan jutaan akun palsu. Kesaksiannya pada Selasa merupakan penampilan kedua Zatko di Capitol Hill. Pada tahun 1998, ia bersaksi di depan panel Senat bersama dengan sesama anggota kolektif peretas yang memperingatkan tentang bahaya keamanan internet yang muncul pada masa itu. Senator Dick Durbin dari Partai Demokrat, yang memimpin panel itu, mengatakan jika klaim Zatko akurat, “hal tersebut kemungkinan berarti privasi data dan risiko keamanan dari pengguna Twitter di seluruh dunia berada dalam bahaya.” Tuduhan yang dikemukakan Zatko juga memiliki andil dalam sengketa antara miliarder Elon Musk dan Twitter. CEO Tesla itu sedang berupaya membatalkan kesepakatan bernilai $44 miliar untuk membeli Twitter. Twitter menggugat untuk memaksa Musk menepati kesepakatan tersebut. Hakim Delaware yang mengawasi kasus itu memutuskan pekan lalu bahwa Musk dapat memasukkan bukti baru terkait tuduhan Zatko dalam persidangan berisiko tinggi yang akan dimulai pada 17 Oktober mendatang. [ps/rs]
Isu Keamanan Siber Kembali Mengemuka dengan Peretasan Bjorka
Peretasan oleh Bjorka menjadi perhatian banyak pihak, termasuk ancaman pembukaan berbagai informasi penting, hingga dokumen rahasia Istana. Meski pemerintah membantah informasi yang diungkap adalah rahasia atau penting, banyak pihak berharap pembobolan data itu menjadi pelajaran bagi pemerintah RI.
China Tuduh AS Mata-matai Salah Satu Perguruan Tingginya
China, pada Senin (5/9), menuduh Washington meretas komputer-komputer di sebuah universitas yang menurut pejabat Amerika Serikat universitas tersebut telah melakukan penelitian militer. Tuduhan itu menambah panjang keluhan kedua pemerintahan terkait upaya memata-matai satu sama lain secara daring. Universitas Politeknik Northwestern melaporkan peretasan komputer pada bulan Juni, menurut pengumuman Pusat Tanggap Darurat Virus Komputer Nasional China. Lembaga itu menyatakan bahwa pihaknya, yang bekerja sama dengan penyedia jasa keamanan komersial, Qihoo 360 Technology Co., melacak serangan tersebut berasal dari Badan Keamanan Nasional AS (NSA) tanpa menjelaskan bagaimana pelacakan dilakukan. China dan AS – bersama dengan Rusia – dianggap sebagai yang terdepan di dunia dalam penelitian perang siber. China menuduh AS telah memata-matai universitas, perusahaan energi dan perusahaan internet serta target lainnya. Sementara Washington menuduh Beijing mencuri rahasia dagang dan telah mengumumkan dakwaan kejahatan terhadap anggota militer China. Tindakan AS “sangat membahayakan keamanan nasional China,” kata Juru Bicara Menteri Luar Negeri China Mao Ning. Ia juga menuduh Washington mencuri dengar pembicaraan di telepon genggam dan mencuri pesan teks warga China. “China sangat mengutuk tindakan itu,” kata Mao. “AS harus segera berhenti memanfaatkan keunggulannya untuk mencuri rahasia dan menyerang negara-negara lain.” Kedutaan Besar AS di Beijing tidak segera menanggapi permohonan wawancara. Pakar keamanan mengatakan, sayap militer Partai Komunis China yang berkuasa, Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) dan Kementerian Keamanan Negara juga mensponsori para peretas non-pemerintah. Universitas Politeknik Northwestern, yang terletak di kota Xi’an, berada dalam “daftar entitas” pemerintah AS yang membatasi aksesnya ke teknologi Amerika. Washington mengatakan universitas itu membantu PLA mengembangkan pesawat nirawak udara dan bawah air serta teknologi rudal. Pengumuman yang dirilis pada Senin itu menuduh AS mengambil informasi tentang manajemen jaringan universitas itu dan “teknologi inti” lainnya. Pemerintah China mengatakan bahwa para analis China menemukan 41 “serangan jaringan” yang terlacak kembali ke NSA. Tahun lalu, seorang pria asal China, Shuren Qin, divonis dua tahun penjara oleh sebuah pengadilan federal di Boston setelah ia mengaku bersalah karena mengekspor teknologi bawah air dan kelautan ke Universitas Politeknik Northwestern di China tanpa lisensi yang disyaratkan. NSA, bagian dari Departemen Pertahanan, bertanggung jawab melakukan kegiatan “intelijen sinyal,” alias memperoleh data komunikasi dan data lainnya. Pusat Tanggap Darurat Virus Komputer, yang didirikan tahun 1996 oleh departemen kepolisian di kota Tianjin, mengidentifikasi diri sebagai badan pemerintahan China yang bertanggung jawab melakukan inspeksi dan pengujian produk anti-virus komputer. Sebuah laporan oleh Qihoo 360 pada tahun 2020 mengatakan bahwa alat peretasan yang digunakan dalam serangan-serangan terhadap perusahaan dan badan pemerintahan China pada kurun waktu 2008-2019 berasal dari Badan Intelijen Pusat AS (CIA) dengan cara membandingkannya dengan kode dalam perangkat CIA yang dibocorkan oleh kelompok WikiLeaks. Pusat virus itu menuduh NSA melakukan “serangan jaringan berbahaya” lainnya di China tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Ia mengklaim 13 orang yang terlibat dalam berbagai serangan telah diidentifikasi. Para peretas disebut menyasar “zero day,” atau kerentanan keamanan sekolah yang sebelumnya tidak dilaporkan, kata pernyataan itu. Badan itu menyebut peretasan dilakukan dari server-server di 17 negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, Swedia, Polandia, Ukraina dan Kolombia. Pernyataan tersebut menggambarkan apa yang disebutnya sebagai perangkat lunak NSA, dengan nama seperti “Second Date” dan “Drinking Tea,” tanpa menyebutkan perangkat lunak mana yang mungkin digunakan terhadap universitas itu. [rd/ah]
“Whistleblower” Tuduh Twitter Lalai dalam Menerapkan Sistem Keamanan Siber
Seorang mantan kepala keamanan di Twitter, Peiter Zatko, telah mengajukan pengaduan pelapor atau whistleblower complaints kepada sejumlah pejabat Amerika Serikat. Ia menuduh Twitter telah memberikan informasi yang menyesatkan kepada regulator mengenai sistem pertahanan keamanan siber mereka yang buruk dan mengatakan perusahaan tersebut telah lalai dalam membasmi akun-akun palsu yang menyebarkan disinformasi, demikian menurut laporan surat kabar The Washington Post dan stasiun TV CNN. Zatko, yang merupakan kepala keamanan Twitter hingga ia dipecat pada awal tahun ini, mengajukan keluhan ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal (FTC) dan Departemen Kehakiman pada Juli lalu. Washington Post, yang memperoleh dokumen pengaduan itu, melaporkan di antara sebagian tuduhan yang paling serius yang disebutkan Zatko adalah bahwa Twitter melanggar persyaratan penyelesaian FTC dengan mengklaim bahwa mereka memiliki rencana keamanan yang kuat. Zatko juga menuduh perusahaan itu melakukan penipuan yang melibatkan penanganan “spam” atau akun palsu. Tuduhan ini merupakan inti dari upaya miliarder Elon Musk membatalkan rencana pembelian Twitter bernilai $44 miliar. Saham Twitter Inc turun sebesar 7 persen pada hari Selasa (23/8). Zatko belum menanggapi permohonan komentar yang diajukan kantor berita Associated Press, tetapi sebelumnya ia mengatakan kepada Washington Post bahwa ia “merasa terikat secara etis” untuk bicara terbuka. Siapakah Zatko? Zatko, yang lebih dikenal sebagai Mudge, adalah pakar keamanan siber yang sangat dihormati. Ia pertama kali menjadi terkenal pada tahun 1990an dan kemudian bekerja pada posisi senior di Defense Advanced Research Agency di Pentagon dan Google. Ia bergabung dengan Twitter atas desakan CEO Jack Dorsey pada akhir tahun 2020, tahun yang sama ketika perusahaan itu mengalami isu pelanggaran keamanan yang memalukan. Saat itu sejumlah akun Twitter pemimpin dunia, selebriti dan maestro teknologi – termasuk Elon Musk – diretas, sebagai upaya menipu pengikut mereka agar meninggalkan Bitcoin. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Selasa, Twitter mengatakan Zatko dipecat karena “kepemimpinan yang tidak efektif dan kinerja yang buruk.” Perusahaan tersebut juga mengatakan bahwa “tuduhan dan kesempatan oportunistik yang muncul tampaknya dirancang untuk menarik perhatian dan menimbulkan kerugian terhadap Twitter, pelanggannya, dan para pemegang sahamnya.” Kongres Telah Terima Pengaduan Whistleblower Aid, badan nirlaba yang mewakili Zatko, mengonfirmasi keaslian dokumen yang diajukannya pada Selasa. Namun, lembaga tersebut mengatakan bahwa secara hukum pihaknya dilarang membagikan dokumen tersebut. Whistleblower Aid adalah kelompok yang sama yang bekerja sama dengan mantan karyawan Facebook, Frances Haugen. Haugen memberikan kesaksian di Kongres pada tahun lalu setelah membocorkan dokumen internal dan menuduh raksasa media sosial itu lebih memilih keuntungan dari pada keamanan. Juru bicara Komite Intelijen Senat Amerika, Rachel Cohen, mengatakan komite itu telah menerima pengaduan Zatko dan “sedang dalam proses mengadakan pertemuan untuk membahas tuduhan itu secara lebih rinci. Kami menangani masalah ini dengan serius.” [em/ka/rs]