Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan akan memutuskan apakah mereka akan membatalkan keputusan berusia puluhan tahun yang sering menjadi sasaran dari kelompok konservatif dan, jika keputusan tersebut dibatalkan, hal itu dapat mempersulit upaya untuk mempertahankan sejumlah peraturan pemerintah. Mahkamah Agung, pada Senin (1/5), mengatakan akan memutuskan apakah akan menolak kasus tahun 1984 yang dikenal sebagai kasus Chevron. Kasus tersebut melibatkan perusahaan minyak besar Chevron dan putusannya mengatakan bahwa ketika undang-undang tidak jelas dalam mengatur situasi terkait, maka sejumlah lembaga federal harus diizinkan untuk mengambil alih permasalahan yang ada. Kondisi itulah yang saat ini dilakukan oleh lembaga pemerintahan – di mana mereka mengatur sejumlah isu termasuk peraturan lingkungan, standar tempat kerja, perlindungan konsumen, dan undang-undang imigrasi. Jajaran hakim MA yang kini didominasi oleh hakim dari kubu konservatif sebelumnya diketahui telah mengekang tindak-tanduk lembaga federal, termasuk dalam putusan pada bulan Juni tahun lalu di mana mereka membatasi kemampuan Lembaga Perlindungan Lingkungan untuk mengatur emisi gas rumah kaca. Namun Chevron telah menjadi salah satu kasus yang saat ini paling sering disebut, dan putusan yang membatasi atau membalikkan putusan awal dari kasus tersebut dapat secara drastis membatasi keleluasan para pejabat lembaga pemerintah federal untuk membuat peraturan yaang berdampak pada kehidupan warga AS. Setidaknya empat anggota hakim MA yang dikenal konservatif – Hakim Clarence Thomas, Hakim Samuel Alito, Hakim Neil Gorsuch dan Hakim Brett Kavanaugh – telah mempertanyakan hasil dari putusan sebelumnya. Kasus tersebut tidak akan ditinjau MA sebelum musim gugur. [my/jm/rs]
Category: Politik
Dokumen Rahasia yang Bocor Tunjukkan Bagaimana Rusia dan China Berkolaborasi dalam Upaya Penyensoran
Bocoran dokumen yang diberikan kepada jaringan mitra VOA, RFE/RL, mengonfirmasi laporan bahwa Rusia dan China berkolaborasi dalam upaya penyensoran dan taktik kontrol di internet. Materi itu merinci dokumen dan rekaman yang dikatakan berasal dari sejumlah pertemuan tertutup pada 2017 dan 2019 antara para pejabat China dan Rusia yang bertugas pada lembaga-lembaga yang mengawasi internet di kedua negara. Dalam dokumen dan rekaman tersebut — seperti dilaporkan oleh RFE/RL — pejabat dari kedua negara berbagi strategi untuk melacak pembangkang dan mengendalikan internet, termasuk permintaan bantuan untuk memblokir artikel berita “berbahaya” dan saran untuk mengatasi teknologi yang dapat menghindari sensor di internet. RFE/RL mengatakan bahwa unit investigasinya di Rusia memperoleh rekaman dan dokumen itu dari sumber yang memiliki akses ke materi tersebut. DDoSecrets, grup yang menerbitkan dokumen yang bocor dan diretas, menyediakan perangkat lunak untuk mencari file itu. VOA belum melihat dokumen dan rekaman tersebut. Meskipun sebelumnya telah muncul laporan-laporan tentang kerja sama Moskow dan Beijing dalam upaya terkait penyensoran dan bentuk represi lainnya, isi percakapan khusus tersebut belum pernah dilaporkan sebelumnya. Baik kedutaan Rusia maupun China di Washington tidak menanggapi permintaan komentar yang dikirim via email oleh VOA. Dalam beberapa materi yang bocor, para pejabatChina tampaknya meminta saran kepada Rusia untuk menangani pembangkang dan mengatasi media, kata laporan itu. Sementara itu, para pejabat Rusia meminta nasihat dari Beijing mengenai isu-isu seperti bagaimana menghalangi alat pengelakan seperti VPN dan mengatur platform perpesanan. [lt/rs]
Beri Label “Media Didanai Pemerintah,” Twitter Dikritik Tajam
Sejumlah kantor media dan analis mengecam keras keputusan Twitter untuk memberi label pada BBC, VOA dan NPR sebagai “media yang didanai pemerintah.” Mereka mengatakan penerapan kebijakan Twitter tidak konsisten dan berisiko mengurangi kepercayaan terhadap kantor-kantor media independen itu. Awalnya pada 4 April lalu, Twitter menambahkan kalimat “media yang berafiliasi dengan pemerintah” pada akun utama NPR. Namun pada Sabtu (8/4) lalu, platform tersebut menggantinya menjadi “media yang didanai pemerintah.” Kalimat yang sama ditambahkan pada akun utama VOA dan BBC. Label “berafiliasi dengan pemerintah” telah umum digunakan pada kantor-kantor propaganda yang dikendalikan pemerintah di negara-negara seperti China dan Rusia. Ketika NPR pertama kali menerima label “berafiliasi dengan pemerintah,” kepala eksekutif NPR John Lansing menolak hal itu dengan mengatakan “NPR mendukung kebebasan berbicara dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang berkuasa. Merupakan hal yang tidak dapat diterima ketika Twitter melabeli kami dengan cara seperti itu. Pers bebas yang kuat dan penuh energi merupakan hal yang penting bagi demokrasi yang sehat.” Aktivis Juga Bersuara Aktivis-aktivis kebebasan pers juga menyampaikan keprihatinan yang sama. “Kebingungan antara media yang melayani kepentingan umum dan media propaganda sangat berbahaya, dan merupakan bukti lebih jauh bahwa platform media sosial tidak kompeten untuk mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan jurnalisme atau bukan jurnalisme,” ujar Vincent Berthier, Kepala Divisi Teknologi di Reporters Without Borders, dalam sebuah pernyataan. Menurut situs web NPR, anggaran operasional tahunan NPR yang berasal dari hibah Corporation for Public Broadcasting dan entitas federal hanya kurang dari satu persen. VOA Tolak Pelabelan Twitter Departemen Hubungan Masyarakat VOA, pada Senin, juga menolak keputusan Twitter, dengan mengatakan pelabelan itu memberi kesan VOA bukanlah media independen. Twitter belum menanggapi permohonan komentar yang disampaikan VOA. VOA didanai oleh pemerintah Amerika melalui U.S. Agency for Global Media (USAGM), tetapi independensi editorialnya dilindungi oleh regulasi dan sejumlah batasan. Direktur Hubungan Masyarakat VOA Bridget Serchak mengatakan “label dibiayai oleh pemerintah, menyesatkan dan dapat ditafsirkan sebagai dikendalikan oleh pemerintah. Padahal tidak demikian dengan VOA.” “Firewall editorial kami, yang dikukuhkan dalam undang-undang, melarang campur tangan apapun dari pejabat pemerintah di tingkat mana pun dalam liputan berita dan proses pengambilan keputusan editorialnya,” ujar Serchak lewat email. “VOA akan terus menekankan perbedaan ini dalam diskusi kami dengan Twitter, karena label baru di jaringan kami ini telah menimbulkan kekhawatiran yang tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan terkait akurasi dan objektivitas liputan berita kami.” Di pedoman platformnya, Twitter mendefinisikan media yang berafiliasi dengan pemerintah dan negara, sebagai “media di mana negara menjalankan kontrol terhadap konten editorial melalui sumber daya keuangan, tekanan politik langsung atau tidak langsung, atau kontrol atas produksi dan distribusi.” Kantor media propaganda seperti Xinhua-China dan TASS-Rusia diberi label sebagai media yang berafiliasi dengan negara. [em/rs]
Rusia Gunakan TikTok untuk Dorong Narasi Pro-Moskow tentang Ukraina
Data terbaru menunjukkan, setidaknya beberapa musuh AS memanfaatkan aplikasi berbagi video TikTok yang sangat populer itu, untuk menyebarkan pengaruhnya. Sebuah laporan yang dirilis oleh Aliansi untuk Mengamankan Demokrasi (ASD) pada Kamis (30/3) mendapati bahwa Rusia “menggunakan aplikasi TikTok untuk menyebarkan narasinya sendiri” dalam upaya melemahkan dukungan Barat untuk Ukraina. “Berdasarkan analisis kami, beberapa pengguna lebih terlibat dengan media pemerintah Rusia daripada media berita independen lain yang lebih memiliki reputasi di platform tersebut,” menurut laporan keamanan pemilu yang berpusat di AS, yang melacak aktor resmi negara dan media yang didukung negara. “Lebih banyak pengguna TikTok yang mengikuti kantor berita Rusia atau RT, daripada harian New York Times,” katanya. Laporan ASD mendapati, pada 22 Maret terdapat 78 outlet berita yang didanai Rusia di TikTok dengan lebih dari 14 juta pengikut. Laporan tersebut juga menemukan bahwa meskipun TikTok bertekad untuk melabeli akun-akun tersebut sebagai media yang dikontrol negara, 31 akun nyatanya tidak diberi label. Namun, pemberian label pada sejumlah akun itu tampaknya tidak berdampak banyak pada kemampuan mereka untuk menyerap penonton. Laporan tentang penggunaan TikTok oleh media pemerintah Rusia muncul, ketika para pejabat AS kembali menyuarakan kekhawatiran tentang potensi penggunaan TikTok untuk kampanye disinformasi dan operasi pengaruh asing. [ps/rs]
Di Tengah Kepungan Sanksi AS, Huawei Luncurkan Telpon Pintar 4G Baru
Dalam peluncuran produknya pada 23 Maret lalu di Shanghai, raksasa teknologi China, Huawei meluncurkan seri telpon pintar P60 khasnya dengan kamera kelas atas dan ponsel seri Mate X3 yang dilengkapi dengan layar lipat. Pada acara peluncuran tersebut terdapat pertunjukkan serta pidato tentang produk anyar Huawei itu. Tetapi ada sesuatu yang hilang dari apa yang ditawarkan Huawei, yaitu teknologi 5G, yang memberi ponsel akses internet cepat yang diinginkan oleh banyak konsumen di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Telepon pintar itu juga tidak memiliki akses ke sistem operasi Google Android dan aplikasi populer Barat seperti Google Maps. Peluncuran tersebut meredam “rumor bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk menjual bisnis telepon genggamnya, agar menunjukkan ketangguhan perusahaan di tengah pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah AS,” menurut media China Daily yang berafiliasi dengan pemerintah. Yu Chengdong, CEO grup bisnis perangkat Huawei, mengatakan pada acara itu, “Kami mengalami musim dingin selama empat tahun di bawah sanksi. Kini musim semi tiba dan kami bersemangat tentang masa depan.” Pada tahun 2020, Huawei dengan cepat melampaui Apple dan Samsung untuk menjadi penjual ponsel pintar terbesar di dunia, ketika pangsa pasarnya mencapai 18 persen, menurut pelacak pasar Canalys. Kemudian pemerintahan Trump memberlakukan pengawasan ekspor AS. Tahun lalu Huawei memiliki 2 persen pangsa pasar ponsel pintar dunia, dengan sebagian besar penjualannya berada di China. Kini pemerintahan Presiden Joe Biden sedang mempertimbangkan untuk melarang seluruh ekspor teknologi kepada Huawei. Dan lini bisnis smartphone milik Huawei, perusahaan yang berbasis di Shenzen, tampaknya masih bergantung pada teknologi asal AS untuk beberapa komponen utama dalam produknya. [ps/jm]
Data Pribadi dan Kepentingan China Jadi Fokus Utama Sidang Dengar Pendapat Kongres AS dengan CEO TikTok
Anggota kongres dari Partai Republik dan Demokrat di Komite Energi dan Perdagangan DPR AS menyampaikan banyak kekhawatiran di hadapan CEO TikTok Shou Zi Chew tentang potensi aplikasi tersebut sebagai ancaman keamanan nasional AS, dengan membagikan datanya kepada pemerintah China. TikTok mengklaim telah menghabiskan dana senilai lebih dari $1,5 miliar (sekitar Rp22,6 triliun) untuk upaya menjamin keamanan data yang ketat di bawah “Proyek Texas,” yang saat ini mempekerjakan hampir 1.500 pegawai tetap dan bekerjasama dengan Oracle Corp untuk menyimpan data pengguna TikTok di AS. Ia juga mengatakan, TikTok menyaring ketat konten yang dapat membahayakan anak-anak. Fokus utama sesi tanya jawab CEO TikTok di hadapan Kongres AS itu antara lain terkait jumlah data pribadi yang dikumpulkan TikTok dan siapa saja, khususnya di China, yang bisa mengaksesnya. Chew, yang memulai kesaksiannya dengan menceritakan latar belakangnya di Singapura, mengatakan, “Kami tidak mempromosikan atau menghapus konten atas permintaan pemerintah China.” Pekan lalu, TikTok mengatakan bahwa pemerintah Presiden AS Joe Biden menuntut perusahaan induknya di China untuk melepaskan saham mereka, jika tidak, TikTok kemungkinan akan dilarang. Ketika ditanya tentang hal itu, Chew mengatakan bahwa masalahnya “bukanlah tentang kepemilikan.” [rd/rs]
CEO TikTok Jelaskan Masalah Keamanan di Depan Komisi Kongres AS
CEO TikTok tampil hari Kamis (23/3) di depan komisi Kongres AS untuk menjelaskan, mengapa aplikasi berbagi video Tik Tok yang sangat populer itu seharusnya tidak dilarang. Kesaksian Shou Zi Chew itu muncul pada saat yang genting bagi perusahaan yang mempunyai 150 juta pengguna di Amerika. Namun TikTok berada di bawah tekanan yang meningkat dari para pejabat AS yang mencemaskan keamanan data dan keselamatan para penggunanya. TikTok dan perusahaan induknya ByteDance, telah terdampak dalam pertikaian geopolitik yang meluas antara Beijing dan Washington soal perdagangan dan teknologi. Chew, warga negara Singapura berusia 40 tahun, jarang muncul di depan umum untuk menepis rentetan tuduhan negatif terhadap TikTok. Dalam pernyataan pembukaannya, Ketua Komite Cathy McMorris Rodgers, seorang Republikan, meragukan apakah media sosial itu bisa dipercaya karena hubungannya yang dekat dengan Beijing. “Ada banyak kesalahpahaman tentang perusahaan kami dan saya sangat bangga datang ke sini, mewakili mereka dan semua pengguna TikTok di negara ini,” kata Chew kepada wartawan sebelum memasuki ruang sidang DPR AS. Chew, akan memberi tahu Komite Energi dan Perdagangan DPR AS, bahwa TikTok mengutamakan keselamatan pengguna mudanya dan menyangkal tuduhan bahwa aplikasi itu berisiko terhadap keamanan nasional, menurut pernyataan yang dirilis sebelum sidang. Pada hari Rabu, perusahaan itu mengirim puluhan pengguna (pengisi konten) populer TikTok ke Capitol Hill untuk melobi anggota kongres agar melestarikan media sosial itu. [ps/lt]
Norwegia Berjanji Terus Dukung Dana Amazon Brazil
Menteri lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide, pada Rabu (22/3) menekankan kembali komitmen negaranya terhadap dana perlindungan Amazon dalam kunjungannya ke Brazil. Barth Eide mengatakan bahwa Norwegia, yang menyumbang lebih dari 90 persen Dana Amazon, juga akan membantu Brazil mencarikan pendonor baru. Dana itu bernilai lebih dari tiga miliar reis (sekitar Rp8 triliun) menurut pemerintah Brazil. Dana itu ditangguhkan selama kepresidenan Jair Bolsonaro di Brazil akibat berbagai kebijakan lingkungannya. Bolsonaro mengeluarkan dekrit yang mengizinkan eksploitasi tambang di wilayah masyarakat adat dan zona-zona lindung, yang dicabut oleh penerusnya, Luiz Inacio Lula da Silva, setelah mulai menjabat presiden pada Januari lalu. Brazil dan Norwegia sepakat untuk mengaktifkan kembali dana itu persis setelah Lula mengalahkan Bolsonaro dalam pilpres Oktober lalu, bahkan sebelum ia resmi kembali menjabat sebagai presiden untuk periode ketiga. Ia telah memprioritaskan masalah perlindungan lingkungan. “Kita memiliki sejarah kerja sama selama 15 tahun dalam menangani Dana Amazon,” kata Barth Eide dalam konferensi pers di Brasilia, setelah bertemu dengan menteri lingkungan Brazil, Marina Silva. Pada Januari lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengumumkan dirinya siap mentransfer 200 juta euro (sekitar Rp3,3 triliun) ke dana tersebut. Jerman merupakan penyumbang terbesar kedua dana tersebut setelah Norwegia. Amerika Serikat, Prancis dan Spanyol telah menyatakan ketertarikan mereka untuk ikut menyumbang, kata Silva. “Kami terus melanjutkan dukungan kami dan juga mencoba memobilisasi pendonor-pendonor lain untuk berpartisipasi, karena kami pikir dana ini sudah menjadi suatu model yang sangat sukses bagi Brazil, bagi kami dan negara-negara lain yang ingin belajar dari pengalaman ini,” ungkap Barth Eide. Di bawah kepemimpinan Bolsonaro sebelumnya, tingkat penggundulan hutan Amazon naik 75 persen. [rd/rs]
BBC Desak Staf untuk Tinggalkan TikTok Karena Kekhawatiran Masalah Data
BBC, pada Senin (20/3), mengatakan pihaknya telah meminta staf untuk menghapus aplikasi video milik China, TikTok, kecuali diperlukan untuk kepentingan bisnis. Keputusan itu diambil di tengah meningkatnya sikap keras institusi-institusi Barat terhadap kekhawatiran masalah pengumpulan data. Raksasa penyiaran Inggris itu melaporkan bahwa pihaknya mengirimi para staf sebuah pesan pada hari Minggu (19/3), yang berisi: “Kami tidak merekomendasikan pemasangan TikTok pada perangkat perusahaan BBC kecuali ada alasan bisnis yang dibenarkan. “Jika Anda tidak memerlukan TikTok untuk alasan bisnis, TikTok harus dihapus,” tambahnya. Pihak berwenang di negara-negara Barat telah mengambil sikap yang semakin tegas terhadap aplikasi milik perusahaan ByteDance itu, karena takut data pengguna dapat digunakan atau disalahgunakan oleh otoritas China. Inggris pada hari Kamis (16/3) mengumumkan larangan keamanan terhadap TikTok pada perangkat milik pemerintah, sejalan dengan langkah yang diambil Uni Eropa dan Amerika Serikat. BBC mengatakan kepada AFP pada hari Senin (20/3) bahwa pihaknya “menganggap serius keselamatan dan keamanan sistem, data dan pegawai kami.” BBC menambahkan bahwa meskipun penggunaan TikTok pada perangkat perusahaan masih diizinkan untuk tujuan editorial dan pemasaran, “kami akan terus memantau dan menilai situasinya.” Lembaga penyiaran itu telah meluncurkan sejumlah akun di TikTok untuk meraih audiens baru, di mana akun resminya sendiri telah diikuti 4,4 juta pengikut. ByteDance telah sejak lama bersikeras bahwa perusahaannya tidak menyimpan data di China atau membagikannya kepada Beijing. [rd/rs]
TikTok Perbarui Aturan Platform Demi Raih Dukungan AS
TikTok mengambil tindakan pada Selasa (21/3) untuk menanggapi tekanan Barat yang meningkat terkait kekhawatiran masalah keamanan siber dan disinformasi. TikTok menerbitkan pembaruan aturan dan standar konten, ketika sang CEO memperingatkan kemungkinan larangan AS terhadap aplikasi berbagi video asal China tersebut. CEO Shou Zi Chew dijadwalkan hadir di hadapan Kongres AS dalam sidang pada Kamis (23/3). Kongres akan mencecarnya soal praktik keamanan data pribadi perusahaan itu dan hubungannya dengan pemerintah China. Chew mengatakan dalam sebuah video TikTok bahwa sidang dengar pendapat itu “dilakukan pada saat yang sangat penting” bagi perusahaan tersebut, setelah Kongres mengumumkan sejumlah langkah yang akan memperluas kewenangan pemerintahan Biden untuk memberlakukan larangan terhadap aplikasi yang digunakan oleh lebih dari 150 juta pengguna di AS, kata sang CEO. “Beberapa politisi sudah mulai membicarakan pelarangan TikTok. Hal ini dapat merebut TikTok dari seluruh 150 juta pengguna seperti Anda,” kata Chew, yang berpakaian santai dengan celana jin dan hoodie biru, dengan latar belakang kubah gedung Kongres AS di Washington. “Saya akan bersaksi di depan Kongres minggu ini untuk membagikan semua yang kami lakukan untuk melindungi warga Amerika Serikat yang menggunakan aplikasi ini,” ungkapnya. Aplikasi TikTok mendapat kecaman di AS, Eropa dan Asia-Pasifik, di mana semakin banyak pemerintah yang telah melarang penggunaan TikTok dari perangkat yang digunakan untuk kepentingan dinas karena khawatir akan risiko keamanan siber dan data pribadi atau khawatir digunakan untuk mendorong narasi pro-Beijing dan menyebarkan disinformasi. Sejauh ini, tidak ada bukti bahwa hal itu telah terjadi atau bahwa TikTok telah menyerahkan data pengguna kepada pemerintah China, seperti yang ditakutkan sejumlah kritikus. Norwegia dan Belanda pada Selasa (21/3) memperingatkan bahwa aplikasi seperti TikTok tidak boleh dipasang di telepon-telepon genggam yang dipegang oleh para pegawai negeri, dengan mengutip badan keamanan atau intelijen. Terdapat “risiko besar” dari pemasangan TikTok atau Telegram pada perangkat yang memiliki akses terhadap “infrastruktur atau layanan digital dalam negeri,” kata Kementerian Kehakiman Norwegia tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. TikTok juga mengeluarkan pembaruan aturan dan standar bagi konten dan pengguna dalam seperangkat pedoman komunitas yang ditata ulang, yang mencakup delapan prinsip untuk memandu keputusan moderasi konten. “Prinsip-prinsip ini didasarkan pada komitmen kami untuk menegakkan hak asasi manusia dan selaras dengan kerangka hukum internasional,” kata Julie de Bailliencourt, kepala kebijakan produk global TikTok. Ia mengatakan, TikTok berusaha untuk bersikap adil, melindungi martabat manusia dan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan mencegah bahaya. Pedoman yang akan mulai berlaku pada 21 April mendatang itu dikemas ulang dari aturan TikTok yang sudah ada dengan rincian dan penjelasan tambahan. Salah satu perubahan signifikan yang dibuat adalah rincian tambahan soal pembatasannya pada fitur deepfake, atau yang dikenal dengan istilah media sintetis, yang diciptakan oleh teknologi kecerdasan buatan (AI). TikTok secara lebih gamblang mengatakan dalam kebijakannya bahwa semua deepfake atau konten yang dimanipulasi, yang menunjukkan adegan realistis, harus dilabeli untuk menunjukkan bahwa itu semua palsu atau diubah dalam sejumlah cara. TikTok sebelumnya telah melarang deepfake yang menyesatkan pemirsa tentang peristiwa dunia nyata dan menyebabkan kerugian. Pedomannya yang diperbarui mengatakan bahwa deepfake sosok-sosok pribadi dan orang muda juga tidak diperbolehkan. Deepfake tokoh publik diperbolehkan untuk konteks tertentu, misalnya untuk konten artistik atau pendidikan, namun bukan untuk kepentingan dukungan politik atau komersial. [rd/jm]