Berbicara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada Jumat (1/12), Presiden Joko Widodo kembali blak-blakan mengenai dana besar yang Indonesia butuhkan untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2060 mendatang. “Indonesia butuh investasi lebih dari US$1 triliun, untuk (mencapai) net zero emission 2060,” kata Jokowi. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Jokowi berulang kali menyinggung soalnya pentingnya keterlibatan negara maju untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia untuk mengatasi krisis iklim. Kesempatan berbicara pada KTT Iklim tersebut kembali dimanfaatkan Jokowi untuk mengundang berbagai kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, dukungan filantropis, serta dukungan dari negara-negara sahabat agar berinvestasi di tanah air dalam mengatasi krisis iklim atau mendorong program transisi energi bersih. Di samping itu, menurutnya perbankan dunia sudah selayaknya meningkatkan kapasitas pendanaan transisi energi dengan bunga rendah, mengingat situasi krisis iklim yang semakin memburuk dari waktu ke waktu. “Target Paris Agreement dan net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” tegasnya. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga memamerkan upaya Indonesia yang menurutnya sudah bekerja keras untuk mencapai target emisi nol karbon pada 2060 atau lebih awal. Sejumlah upaya tersebut diharapkan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penurunan kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan. Ia menjelaskan, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Indonesia terus menurunkan emisi karbon sebesar 42 persen antara 2020-2022 di atas perencanaan business as usual yang ditetapkan pada 2015. Jokowi mengklaim bahwa Indonesia telah bekerja keras memperbaiki isu Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. “Dalam hal pengelolaan FOLU, Indonesia terus menjaga dan memperluas hutan mangrove, serta merehabilitasi hutan dan lahan. Deforestasi juga berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, pembangunan persemaian juga kita lakukan dalam skala besar dengan kapasitas total sebesar 75 juta titik per tahun juga sudah efektif berproduksi,” jelasnya. Selain itu, dalam hal transisi energi yang lebih ramah lingkungan, Indonesia juga terus mempercepat pengembangan energi baru terbarukan terutama energi surya, air, angin, panas bumi, dan arus laut. Pengembangan biodiesel, bioetanol, serta bioavtur juga semakin diperluas disamping memperkuat upaya menurunkan penggunaan batu bara, tambahnya. Pernyataan Jokowi kontradiktif, kebijakan problematik Menyikapi pidato Jokowi di COP 28, Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan semua yang disampaikan oleh Jokowi di ajang internasional tersebut sangat kontradiktif dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam konteks mengatasi krisis iklim. Sebagai salah satu dari sepuluh negara penghasil emisi karbon kumulatif terbesar, Indonesia, menurut Leonard, harus bertanggung jawab dalam mengatasi krisis iklim tersebut. Dengan berbagai kebijakan pemerintah yang ada saat ini, seperti salah satunya pembangunan PLTU batubara sebesar 13,8 gigawatt yang sudah diatur dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik tahun 2021-2030, hal itu tidak akan mampu berkontribusi mencegah kenaikan suhu bumi di ambang batas 1,5 derajat celcius, seperti yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris. “Yang ada di dalam paket-pake pemerintah, masih jauh dengan 1,5 derajat kompatibel. Tetapi ini juga persoalan seluruh dunia, jadi bukan hanya Indonesia. Tapi karena banyak sekali skenario transisi energi menjadi rusak setelah perang Rusia-Ukraina, di Eropa dan di mana-mana, jadi kita pasti terdampak,” ujarnya. “Cuma kita bukan negara pasifik yang kecil-kecil, yang bisa bilang bahwa mereka sepenuhnya korban, atau hampir tidak berkontribusi kepada global warming. Kita nggak, kita adalah salah satu dari 10 emiter terbesar, jadi kita harus punya responsibility,” tambah Leonard. Menurutnya, tidak hanya Indonesia, namun juga seluruh dunia harus serius dalam upaya mengatasi krisis iklim tersebut karena berdasarkan penelitian terbaru melaporkan bahwa kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius akan mulai disentuh dalam kurun waktu satu dekade ke depan, dan bukan tidak mungkin di dekade selanjutnya suhu bumi akan melewati 1,5 derajat celcius. “Kalau soal financing betul sepakat, dibutuhkan besar sekali untuk transisi energi, dan kita kritik juga negara-negara G7 yang komitmennya setengah hati. Misalnya di JETP kebanyakan commercial loans. Kalau commercial loans buat apa ada JETP? Karena bisa dicari market global. Jadi memang ada kontradiksi atau bahkan false solution yang ada di lanskap aksi-aksi iklim Indonesia. Maka dari itu, sebenarnya tidak ada lagi tempat untuk solusi-solusi palsu, solusi setengah hati, atau kebijakan yang terbukti salah,” tegasnya. Sementara itu, Pengkampanye Hutan dan Kebun dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Uli Arta Siagian, mengatakan pidato Jokowi tidak menggambarkan tekad yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim. Uli mencontohkan dalam konteks transisi energi yang disampaikan oleh Jokowi, ia menilai hal tersebut bukanlah transisi yang benar-benar menuju ke energi bersih. Yang ada, kata Uli, hanyalah peralihan dari satu pembangkit lain ke pembangkit lainnya tanpa mengubah mode konsumsi energi di kalangan masyarakat. Selain itu, seringkali pembangunan sebuah pembangkit listrik juga menimbulkan masalah sosial di lapangan. “Biodiesel yang juga ketika dikejar itu akan membuat pembukaan lahan sawit semakin besar dengan konsekuensi paling besar ruang hidup masyarakat dirampas dan hutan akan diubah menjadi lahan sawit. Pilihan-pilihan energi yang diklaim sebagai energi bersih itu bermasalah dan tidak menjawab permasalahan iklim sama sekali. Itu justru memunculkan praktik perusakan baru,” jelas Uli. Lebih jauh Uli mengatakan bahwa WALHI melihat upaya pencarian solusi untuk mengatasi krisis iklim yang berlangsung di forum-forum internasional sebenarnya tidak akan pernah menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Menurutnya seluruh pemerintah yang ada di dunia ini harus kembali pada cara tradisional. Di Indonesia sendiri, kata Uli, masyarakat adat selama ini telah turut menjaga keberlangsungan hutan yang ada yang sudah terbukti mampu untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim. “Sehingga WALHI mendorong mungkin kita harus coba beralih, kita tidak boleh secara parsial hanya ngomongin mitigasi yang kemudian terbukti dalam praktiknya gagal untuk menahan 1,5 derajat. Sepertinya kita tetap harus membicarakan, mengambil tindakan untuk konteks adaptasi karena situasi hari ini mengharuskan kita untuk beradaptasi.” “Para pengurus negara harus beradaptasi, melahirkan satu kebijakan yang memproteksi hutan-hutan yang tersisa lalu memproteksi wilayah genting, dan rakyat dari situasi iklim yang semakin memburuk. Pengusaha atau kelompok kapital juga harus beradaptasi untuk secara drastis mengurangi pelepasan emisi mereka atau kemudian berhenti untuk melakukan praktik bisnis yang berbasis fosil,” pungkasnya. [gi/rs]
Category: Politik
Sekjen PBB Janjikan Dukungan ‘Kerja Sama Efektif’ untuk Afrika
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dan ketua Komisi Uni Afrika, Moussa Faki, mengadakan pertemuan ketujuh dari dialog tingkat tinggi pada Selasa (28/11) menjelang COP28. Moussa mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi masa sulit dalam hal perdamaian dan keamanan, menekankan betapa pentingnya pendanaan yang memadai untuk upaya pemeliharaan perdamaian dan kemajuan prasarana energi. “Secara ekonomi, ada juga tantangan yang signifikan. Ada tiga krisis, seperti Anda tahu, yaitu COVID, perubahan iklim – yang paling parah dialami oleh Afrika – dan perang di Ukraina. Dan dampaknya terhadap pasokan pangan, terutama gandum dan pupuk,” kata Moussa. “Kita tiba semalam COP28 berlangsung, Sekretaris Jenderal dan saya akan menghadiri konferensi tersebut. Konferensi besar ini harus menjadi kesempatan bagi kita untuk mengadvokasi soal Afrika, yang terdampak parah oleh perubahan iklim, walaupun berkontribusi kecil terhadap situasi itu,” tambahnya. Sementara itu, Guterres mengatakan Afrika tetap menjadi kemitraan strategis dan “penting” bagi PBB dan ia berjanji untuk memperjuangkan keadilan. “Yang paling dibutuhkan Afrika adalah keadilan dalam hubungan internasional, karena Afrika telah menjadi korban ketidakadilan struktural dalam hubungan internasional kita,” katanya. Pembicaraan iklim COP28 berlangsung di Dubai mulai Kamis (30/11). Pertemuan para pemimpin internasional yang berlangsung selama dua minggu itu bertujuan menilai posisi dunia dalam membatasi emisi guna memperlambat pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri. Para pejabat Uni Emirat Arab mengatakan pada Selasa bahwa mereka memperkirakan sebanyak 70.000 pengunjung, termasuk para kepala negara, akan hadir dalam sejumlah diskusi dalam konferensi tersebut. [ps/lt/rs]
Berupaya Imbangi China, Pentagon Tingkatkan Program AI
Selama bertahun-tahun, dinas militer Amerika terus meningkatkan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence). Namun, baru dalam satu dekade terakhir ini, mereka merangkul kemajuan revolusioner dalam kecerdasan buatan yang secara fundamental akan mengubah sifat suatu perang.
Korut Klaim Berhasil Tempatkan Satelit Mata-mata di Orbit
Korea Utara mengatakan pihaknya berhasil menempatkan satelit mata-matanya yang pertama di orbit Selasa sore dan berjanji akan meluncurkan beberapa lagi dalam “kurun waktu pendek.” Satelit-satelit itu bisa memberi Korea Utara kemampuan memantau militer AS dan Korea Selatan.
X Milik Musk Dikecam, Biden Bergabung di Threads
Presiden AS Joe Biden, pada Senin (20/11), bergabung dengan Threads – media sosial milik Meta, pesaing X milik Elon Musk – beberapa hari setelah Gedung Putih mengecam Musk karena mendorong pesan antisemitisme. “Teman-teman, ini Presiden Biden,” ungkapnya dalam postingan pertamanya pada hari ulang tahunnya yang ke-81. “Anda mendengar kabar saya hari ini dari platform baru, tetapi pesan saya kepada Anda tidak berubah.” “Saya tidak melihat masa depan Amerika yang gelap, suram dan terpecah belah,” tambah Biden. “Saya melihat Amerika yang siap lepas landas.” Meta milik Mark Zuckerberg, yang merupakan perusahaan induk Facebook dan Instagram, meluncurkan Threads pada Juli lalu dalam upaya untuk menggulingkan X, platform media sosial yang sebelumnya dikenal dengan nama Twitter, sebagai platform utama bagi selebriti, perusahaan dan pemerintah untuk membuat pernyataan terbuka. Gedung Putih mengonfirmasi pihaknya telah meluncurkan akun Threads bagi sang presiden, Ibu Negara Jill Biden, Wakil Presiden Kamala Harris, suaminya Douglas Emhoff dan Gedung Putih sendiri, dalam bahasa Inggris dan Spanyol. “Threads menjadi cara lain kami bisa berkomunikasi dengan rakyat Amerika mengenai langkah-langkah bersejarah pemerintahan ini untuk menciptakan 14 juta lapangan pekerjaan, menurunkan harga obat resep, dan melindungi kebebasan dan banyak lagi,” kata seorang pejabat Gedung Putih. Pejabat itu menambahkan bahwa peluncuran akun-akun Threads itu sudah dipersiapkan selama beberapa minggu. Namun, debut Biden di platform itu terjadi hanya tiga hari setelah juru bicara Gedung Putih mengecam Musk, orang terkaya di dunia, karena “promosi menjijikan” teori konspirasi antisemitisme. Para pengiklan juga meninggalkan X setelah pengusaha kontroversial pemilik Tesla dan SpaceX itu pekan lalu membalas sebuah postingan antisemitisme di platform X dengan kata-kata: “Anda telah mengatakan kebenaran yang sebenarnya.” Gedung Putih mengulangi kecamannya terhadap Musk pada Senin, namun mengatakan belum ada rencana mengubah proposal AS untuk menggunakan salah satu roket Starship milik Musk untuk misi pendaratan di Bulan di masa depan. “Itu bukan berarti bahwa kami menerima atau menyetujui atau memaafkan, dengan cara apa pun, retorika antisemit yang ia dorong,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby dalam konferensi pers. Sementara itu, direktur komunikasi Gedung Putih Ben LaBolt mempromosikan postingan Threads pertama Presiden Biden… di platform X. [rd/rs]
Amerika Siapkan Aturan Penggunaan AI dalam Iklan Politik
Seiring proses pemilihan presiden AS pada 2024 semakin dekat, beberapa kandidat sudah menggunakan Artificial Intelegence (AI) atau kecerdasan buatan untuk membuat video kampanye. Beberapa diantaranya mengaburkan batas, antara apa yang nyata dan apa yang tidak.
Perjanjian Plastik Sedunia Temui Jalan Buntu Jelang KTT Iklim PBB
Negosiasi terbaru untuk mencapai perjanjian plastik sedunia berakhir pada Minggu (19/11) malam tanpa adanya kesepakatan mengenai bagaimana cara perjanjian tersebut harus dilaksanakan dan rasa frustrasi kelompok-kelompok lingkungan atas berbagai penundaan dan minimnya kemajuan yang dibuat. Para perunding menghabiskan waktu satu minggu di markas besar Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) di Nairobi untuk tawar-menawar tentang rancangan perjanjian untuk mengatasi peningkatan masalah polusi plastik yang kini ditemukan di mana-mana, mulai dari dasar laut, puncak gunung, hingga darah manusia. Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya sejak 175 negara berjanji pada awal tahun lalu akan mempercepat perundingan, dengan harapan dapat menyelesaikan perjanjian tersebut pada tahun 2024. Pertemuan di Nairobi itu seharusnya menciptakan kemajuan, dengan penyempurnaan rancangan perjanjian dan memulai diskusi tentang tindakan nyata apa yang harus dilakukan untuk mengatasi polusi dari plastik, yang terbuat dari bahan bakar fosil. Akan tetapi, rincian perjanjian itu pada akhirnya tidak pernah benar-benar dibahas, karena sebagian kecil negara produsen minyak – khususnya Iran, Arab Saudi dan Rusia – dituduh melakukan taktik mengulur-ulur waktu seperti yang tampak dalam perundingan-perundingan sebelumnya, untuk menghambat kemajuan. “Tidak mengherankan, negara-negara tertentu menghalangi kemajuan di setiap periode, dengan menghalangi dan melakukan manuver prosedural,” kata Carroll Muffett dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional kepada AFP. Kurangnya kepemimpinan Dalam sejumlah pertemuan tertutup, begitu banyak proposal baru yang diajukan sehingga naskah perjanjian itu, bukannya direvisi dan disederhanakan, tetapi malah membengkak dalam seminggu, menurut para pengamat yang mengikuti perundingan itu. Graham Forbes dari Greenpeace mengatakan, pertemuan itu telah “gagal” mencapai tujuannya dan ia mendesak berbagai negara mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap negara-negara yang tidak beritikad baik dalam negosiasi pada masa depan. “Perjanjian yang sukses masih bisa dicapai, namun memerlukan tingkat kepemimpinan dan keberanian dari negara-negara besar dan ambisius yang belum pernah kita lihat sebelumnya,” kata Forbes kepada AFP. Kemarahan sempat ditujukan kepada UNEP, di mana kelompok aliansi masyarakat sipil GAIA menuduh sang tuan rumah mengawasi sebuah pertemuan “yang tidak disiplin dan berliku-liku” dan membiarkan sekelompok kecil pihak “menyandera” jalannya pertemuan. UNEP sendiri mengatakan bahwa kemajuan “yang substansial” telah dicapai oleh hampir 2.000 delegasi yang hadir. Dewan Asosiasi Kimia Internasional, kelompok industri utama bagi perusahaan-perusahaan petrokimia dan plastik global, mengatakan bahwa pertemuan tersebut telah memperbaiki sebuah rancangan perjanjian yang “tidak memuaskan” dan perselisihan antar pemerintah merupakan hal yang sangat penting dalam penyusunan perjanjian. “Kami (kini) memiliki dokumen – rancangan teks – yang lebih inklusif terhadap berbagai gagasan,” kata juru bicara Stewart Harris kepada AFP. Perundingan plastik itu digelar tepat sebelum digelarnya KTT Iklim PBB di Uni Emirat Arab – negara kaya minyak – pada akhir bulan ini, yang akan didominasi oleh perdebatan mengenai masa depan bahan bakar fosil. Permintaan global terhadap plastik telah menyebabkan tingkat produksi berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir pada tingkat saat ini, dan dapat meningkat jadi tiga kali lipat pada 2060 tanpa adanya tindakan, menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Sebanyak 90% plastik tidak didaur ulang, di mana sebagian besarnya dibuang ke alam sekitar atau dibakar secara tidak layak. Kelompok-kelompok lingkungan telah lama berpendapat bahwa tanpa pembatasan produksi plastik baru, perjanjian apa pun dampaknya akan lemah. [rd/lt]
Wapres AS Serukan Tindakan terhadap Ancaman Kecerdasan Buatan
Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, pada Rabu (1/11), menyerukan tindakan segera untuk melindungi masyarakat dari ancaman yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan atau AI. Ia juga mengumumkan rangkaian inisiatif baru untuk mengatasi masalah keselamatan terkait teknologi tersebut. Dalam pidatonya di London, Harris mengatakan dunia menghadapi bahaya dari AI, seperti serangan siber atau senjata biologis. China adalah peserta utama dalam konferensi tingkat tinggi yang membahas keamanan AI di Bletchley, Inggris, mengingat peran negara tersebut dalam mengembangkan AI. Namun beberapa anggota parlemen Inggris mempertanyakan apakah China harus hadir dalam konferensi tersebut mengingat rendahnya tingkat kepercayaan antara China, Amerika Serikat, dan banyak negara Eropa mengenai keterlibatan China dalam bidang teknologi. Amerika Serikat menjelaskan pada malam sebelum KTT tersebut berlangsung, bahwa seruan untuk melibatkan China justru datang dari Inggris. Keputusan Harris untuk berpidato di London pada Rabu mengenai tanggapan pemerintahnya terhadap AI, dan mengadakan beberapa pertemuan dengan peserta di luar dari pertemuan itu, sehingga mereka harus pergi lebih cepat, juga membuat beberapa orang heran. Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengatakan dia menginginkan sebanyak mungkin suara dalam pertemuan tersebut, yang menurutnya merupakan pertemuan pertama yang membahas isu tersebut. Harris, yang bertemu Sunak pada Rabu, termasuk untuk makan malam, diperkirakan akan menghadiri pertemuan itu pada hari kedua yang berlangsung pada Kamis (2/11). [ka/rs]
China, California akan Perkuat Kerja Sama Iklim
Menteri Lingkungan Hidup China Huang Runqiu, Kamis (26/10) mengatakan negaranya ingin memperkuat kerja sama dengan Amerika Serikat untuk memerangi perubahan iklim, saat ia bertemu dengan Gubernur California Gavin Newsom di Beijing. “China terus memperdalam upaya adaptasi iklim dan bersikeras memberikan perhatian yang sama terhadap mitigasi dan adaptasi. Seperti yang baru saja disebutkan oleh Gubernur Newsom, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim tidak hanya menyebabkan pemanasan global, namun juga meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem. Di China, kita telah menyaksikan rekor suhu tertinggi di banyak wilayah. Kita juga melihat dampak perubahan iklim lainnya seperti banjir dan mencairnya kriosfer, sehingga kita perlu membuat rencana yang sistematis,” jelasnya. Newsom sedang melakukan tur selama seminggu ke China untuk mendorong kerja sama iklim. Kunjungannya sebagai gubernur, yang dulu dianggap rutin, kini menarik perhatian setelah bertahun-tahun ketegangan antara AS dan China meningkat. Perubahan iklim adalah salah satu dari sedikit isu yang disetujui oleh AS dan China untuk bekerja sama. Hubungan antara kedua negara telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena praktik perdagangan, hambatan tarif, pelanggaran HAM, dan nasib Taiwan, sebuah pulau dengan pemerintahan sendiri yang diklaim China sebagai wilayahnya sendiri. Huang mengatakan pada hari Kamis bahwa kementeriannya akan terus melaksanakan perjanjian berdasarkan nota kesepahaman yang ditandatangani tahun lalu antara China dan California dalam investasi pasar karbon, adaptasi iklim, penerapan undang-undang lingkungan hidup dan pertukaran sumber daya manusia untuk memperkuat kerja sama dan memainkan peran yang positif dalam kerja sama lingkungan hidup dan iklim China-AS. California telah menjadi pemimpin dalam mengatur polusi udara dan masalah terkait iklim lainnya, kata Newsom dalam pidato pembukaannya pada hari Kamis. Ia menganggap kerjasama dengan China sangatlah penting. Kedua belah pihak juga berbicara tentang peningkatan cuaca ekstrem di negara mereka. California dan China mengeluarkan deklarasi pada hari Rabu yang berisi janji kerjasama dalam memerangi perubahan iklim, termasuk energi angin lepas pantai. [ab/uh]
Meta Berencana Kenakan Biaya untuk Facebook dan Instagram Bebas Iklan di Eropa
Meta mengusulkan untuk menawarkan Instagram dan Facebook versi berlangganan kepada para pengguna di Eropa jika mereka memilih agar tidak dilacak untuk kepentingan iklan, kata seorang sumber pada Selasa (3/10). Gagasan itu, yang pertama kali diberitakan The Wall Street Journal, muncul ketika raksasa media sosial itu berusaha mematuhi daftar panjang regulasi Uni Eropa yang dirancang untuk membatasi kekuatan raksasa teknologi AS tersebut. Perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg itu memperoleh keuntungan senilai miliaran dolar dengan menawarkan data pengguna yang sangat unik kepada para pengiklan. Namun, regulasi baru Uni Eropa dan putusan pengadilan blok tersebut telah mempersulit hal itu. Usulan itu telah disampaikan kepada regulator Uni Eropa dan menjadi contoh terbaru di mana raksasa teknologi berusaha mengubah cara kerja mereka selama ini demi mematuhi aturan Uni Eropa mendatang. Sumber yang dekat dengan masalah tersebut mengatakan, pelanggan di Eropa dapat membayar biaya berlangganan sebesar $10,50 per bulan untuk Facebook atau Instagram versi desktop, atau $13,50 per bulan untuk Instagram di ponsel mereka. Platform media sosial semakin sering mengajukan gagasan untuk membebankan biaya kepada pengguna untuk mengakses situs mereka, baik untuk mematuhi aturan perlindungan data pribadi atau menjamin secara lebih baik identitas para pengguna. Namun praktik itu akan menciptakan perubahan besar dalam industri media sosial yang selama satu dekade terakhir berkembang pesat berkat model periklanan yang memungkinkan platform mereka bisa diakses secara gratis oleh pengguna, dengan imbalan dapat melakukan pelacakan pengguna dan menampilkan iklan yang sangat dipersonalisasi. Proposal itu dapat membantu memenuhi sejumlah peraturan, termasuk Undang-undang Pasar Digital, yang memberlakukan sederet ketentuan bagi perusahaan raksasa teknologi di Eropa, termasuk larangan melacak pengguna ketika mereka berselancar di situs web lain, apabila pengguna belum memberikan persetujuan. Proposal itu juga mematuhi rekomendasi pengadilan tertinggi Uni Eropa, yang pada Juli lalu memutuskan bahwa pengguna platform Meta yang menolak dilacak dapat ditawari platform alternatif yang bebas iklan dengan “biaya yang sesuai.” Putusan itu menegaskan kembali putusan-putusan terdahulu terhadap Meta dan perusahaan raksasa teknologi lain, di mana pengadilan memutuskan bahwa perusahaan AS itu harus meminta izin untuk mengumpulkan data pribadi dalam jumlah besar, sehingga menggugurkan berbagai solusi yang ditawarkan Meta sebelumnya. Meta menolak memberi tanggapan langsung atas berita yang dirilis The Wall Street Journal, namun mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya masih “percaya pada nilai layanan bebas biaya yang didukung oleh iklan yang dipersonalisasi.” “Meski demikian, kami terus menjajaki opsi untuk memastikan kami mematuhi persyaratan peraturan yang terus berkembang.” Meta melaporkan pendapatan kuartal kedua sebesar $32 miliar, di mana $31,5 miliar di antaranya berasal dari iklan. Sebesar $7,2 miliar di antaranya berasal dari Eropa. [rd/jm]