Ketika bencana terkait perubahan iklim melonjak di berbagai belahan dunia, semakin penting upaya-upaya internasional untuk bersiap menghadapi krisis, memperkecil risiko jatuhnya korban dan membantu negara-negara miskin pulih dari kekeringan, banjir dan kebakaran.
Category: Lingkungan Hidup
Ilmuwan Anjurkan Atap Rumah Dicat Putih untuk Atasi Gelombang Panas
Sekelompok ilmuwan Spanyol mengatakan mengecat atap rumah atau bangunan dengan warna putih dapat menurunkan suhu hampir 5 derajat Celcius sewaktu gelombang panas menyerang.
Proyek Ambisius Penanganan Sampah Laut Dimulai di Bali
Berada di bawah India dan China, Indonesia menduduki posisi ketiga penyumbang sampah di laut. Sebuah kolaborasi dimulai di Bali untuk memecahkan persoalan ini.
Sedikitnya 31 Tewas Akibat Banjir, Tanah Longsor di Filipina Selatan
Sedikitnya 31 orang tewas dan sembilan lainnya hilang akibat banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu oleh hujan lebat yang mengguyur sebuah provinsi di Filipina selatan Kamis malam, kata para pejabat Jumat (28/10). Sebagian besar korban tersapu oleh air banjir yang mengamuk atau tanah longsor di tiga kota di provinsi Maguindanao yang terkena dampak parah, kata Naguib Sinarimbo, pejabat tertinggi urusan internal wilayah otonomi Muslim Mindanao yang mencakup provinsi itu. “Jumlah air hujan yang turun semalam tidak seperti biasanya sangat banyak dan mengalir ke lereng-lereng gunung dan membuat sungai-sungai meluap,” kata Sinarimbo mengatakan kepada Associated Press melalui telepon. “Saya berharap jumlah korban tidak akan bertambah lagi tetapi masih ada beberapa komunitas yang belum kami jangkau,” kata Sinarimbo, seraya menambahkan hujan telah mereda sejak Jumat pagi sehingga banjir mulai surut di beberapa kota. Sinarimbo mengatakan berdasarkan laporan dari para walikota, gubernur dan pejabat tanggap bencana, 26 meninggal sebagian besar karena tenggelam di kota-kota pesisir — Datu Odin Sinsuat dan Datu Blah Sinsuat — dan lima lainnya meninggal di kota Upi, semuanya di Maguindanao. Lima orang hilang di Datu Blah Sinsuat, menurut wali akota, Marshall Sinsuat, dan Sinarimbo mengatakan empat lainnya dilaporkan hilang di tempat lain. Hujan lebat yang tidak biasa ini disebabkan oleh Badai Tropis Nalgae, yang diperkirakan akan bertiup ke pantai timur negara itu dari Samudra Pasifik pada Sabtu pagi, menurut prakiraan cuaca. Bentangan lebar badai ke-16 yang melanda negara tersebut memungkinkannya menurunkan hujan di selatan negara itu meskipun badai bertiup lebih jauh ke utara, kata pakar cuaca Sam Duran. Sekitar 5.000 orang telah dievakuasi dari jalur badai, yang diperkirakan tidak akan menguat saat mendekati daratan, kata pakar cuaca pemerintah dan pejabat lainnya. Sekitar 20 topan dan badai melanda kepulauan Filipina setiap tahun. Karena terletak di Cincin Api Pasifik, wilayah tepi Samudra Pasifik di mana banyak letusan gunung berapi dan gempa bumi terjadi, Filipina menjadi salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia. [ab/uh]
Laporan PBB: Sebagian Besar Negara Tak Penuhi Janji Mereka Untuk Redam Pemanasan Global
Dari semua negara yang berkomitmen untuk memperbarui upaya untuk memerangi perubahan iklim pada KTT Iklim PBB tahun lalu (COP26), hanya segelintir yang benar-benar menindaklanjuti janji mereka, menurut laporan yang diterbitkan PBB pada Rabu (26/10). Masing-masing dari ke-193 negara yang terlibat dalam COP26 telah membuat rencana untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, yang memerangkap panas di atmosfer Bumi. Ketika diberikan bukti bahwa rencana yang mereka miliki saat ini tidak cukup untuk mencegah planet Bumi mengalami pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat praindustri – titik yang diyakini para ilmuwan menjadi ambang batas bencana iklim yang menghancurkan – negara-negara peserta pun berjanji akan merevisinya. Laporan yang diterbitkan pada Rabu, yang mengumpulkan semua rencana aksi iklim itu, menemukan bahwa dari seluruh peserta, hanya 24 negara yang telah mengambil tindakan untuk meningkatkan upaya mereka mengurangi emisi. “Di KTT Iklim PBB di Glasgow [Skotlandia] tahun lalu, semua negara setuju untuk meninjau kembali dan memperkuat rencana iklim mereka,” kata Simon Stiell, sekretaris eksekutif Perubahan Iklim PBB, dalam sebuah pernyataan yang diberikan kepada media. “Fakta bahwa hanya terdapat 24 rencana iklim baru atau yang diperbarui yang diajukan sejak COP26 sungguh mengecewakan. Keputusan dan tindakan pemerintah harus mencerminkan tingkat urgensi, besarnya ancaman yang kita hadapi, dan betapa pendeknya waktu yang kita miliki untuk menghindari konsekuensi yang menghancurkan dari perubahan iklim yang tak terkendali,” tambah Stiell. COP27 di Depan Mata Laporan itu dikeluarkan kurang dari dua minggu sebelum KTT Iklim PBB berikutnya, COP27, dijadwalkan untuk digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir. Cherelle Blazer, direktur senior Kampanye Iklim dan Kebijakan Internasional Sierra Club, mengatakan kepada VOA bahwa analisis PBB tidak mengejutkan para aktivis yang melacak komitmen berbagai negara. “Isi laporan itu akurat, dan saya sangat senang bahwa sebelum konferensi itu digelar, mereka memberitahu semua pihak di mana posisi mereka masing-masing dan bahwa kita harus berusaha lebih baik dengan sangat jelas. Kita harus berusaha untuk terus berada di jalur yang tepat dan memahami persis apa yang jadi pertaruhannya,” kata Blazer. Beberapa Kabar Baik Meskipun temuan dari keseluruhan laporan itu mungkin mengecewakan, tetap terdapat beberapa bukti bahwa setidaknya ada kemajuan yang tercipta secara terbatas. Meskipun penilaian rencana-rencana iklim saat ini oleh Perubahan Iklim PBB menunjukkan bahwa emisi akan naik 13,7 persen pada 2030 dan terus naik setelahnya, komitmen-komtitmen baru telah mengubah hasil analisis organisasi itu. Bila semua negara menepati janji mereka, maka emisi hanya akan naik 10,6 persen antara saat ini hingga 2030, dan akan mulai menurun setelahnya, meskipun bukan pada tingkat yang diharapkan oleh para ilmuwan. “Tren penurunan emisi yang diharapkan pada tahun 2030 menunjukkan bahwa negara-negara telah membuat beberapa kemajuan tahun ini,” kata Stiell. “Namun perhitungan sainsnya sudah jelas, demikian juga target iklim kita berdasarkan Perjanjian Paris. Kita masih belum mendekati skala dan kecepatan penurunan emisi yang dibutuhkan agar kita bisa membatasi kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius. Agar target ini bisa tercapai, pemerintah berbagai negara harus memperkuat rencana aksi iklim mereka sekarang dan menerapkannya dalam delapan tahun ke depan.” Laporan itu memperingatkan bahwa tanpa perubahan signifikan, planet Bumi akan jauh melampaui kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius, di mana pada abad selanjutnya, suhu bumi bisa menjadi 2,1 hingga 2,9 derajat Celcius lebih tinggi. [rd/rs]
Sekjen PBB Sebut Ketergantungan Bahan Bakar Fosil Secara Terus Menerus ‘Bodoh’
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Rabu (26/10) mengatakan, merupakan hal yang “bodoh” apabila dunia terus bergantung pada bahan bakar fosil, karena hal itu memicu kondisi darurat iklim yang sekarang sedang terjadi. “Jika dunia, terutama Eropa, selama dua dekade terakhir telah berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan, kita tidak akan menghadapi krisis energi yang kita hadapi saat ini,” kata Guterres dalam wawancara dengan BBC. “Dan harga minyak dan gas pun tidak akan setinggi sekarang,” tambahnya saat menjawab pertanyaan mengenai perang di Ukraina dan konsekuensinya terhadap produksi bahan bakar fosil. “Karena kita tidak cukup berinvestasi pada energi terbarukan, kini kita yang merasakan akibatnya,” kata Guterres. Ia melanjutkan: “Hal paling bodoh adalah bertaruh pada apa yang telah menyebabkan kita mengalami bencana ini.” Menjelang pembukaan KTT Iklim PBB bulan depan di Mesir, pemimpin PBB itu mendesak negara-negara untuk berbuat lebih banyak demi memerangi pemanasan global. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Rabu (26/10), PBB mengatakan bahwa komitmen iklim dunia saat ini masih jauh dari target untuk membatasi kenaikan suhu bumi hingga sebesar 1,5 derajat Celcius. Komitmen itu akan membawa Bumi yang kini sudah diamuk gelombang panas, banjir dan badai yang meningkat ke bencana pemanasan global yang menghancurkan. Komitmen gabungan saat ini dari hampir 200 negara akan membawa suhu bumi naik 2,5 derajat Celcius pada akhir abad ini bila dibandingkan suhu bumi pada tingkat pra-industri, demikian bunyi laporan tersebut. Guterres mengatakan, “1,5 derajat itu masih mungkin dicapai. Tapi kita sudah hampir kehilangan harapan itu.” [rd/jm]
Gempa Kuat Lukai Puluhan, Tutup Bandara di Filipina Utara
Gempa kuat mengguncang sebagian besar Filipina Utara, melukai sedikitnya 36 orang dan memaksa penutupan sebuah bandara internasional dan evakuasi pasien dari rumah sakit-rumah sakit, kata sejumlah pejabat negara itu, Rabu (26/10). Institut Vulkanologi dan Seismologi Filipina mengatakan gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter itu, yang terjadi pada Selasa malam, dipicu oleh pergerakan patahan lokal dan berpusat sekitar 9 kilometer dari barat laut kota Lagayan di provinsi Abra pada kedalaman 11 kilometer. Sistem Peringatan Tsunami AS mengatakan tidak ada peringatan dikeluarkan terkait gempa itu. Gempa itu terasa di wilayah yang luas di Luzon, Filipina Utara, termasuk di beberapa bagian metropolitan Manila, yang terletak lebih dari 400 kilometer dari selatan Abra. Sedikitnya 10 orang mengalami luka ringan sebagian besar di Abra, terutama akibat puing-puing yang jatuh, dan 26 lainnya terluka di Ilocos Norte, provinsi asal Presiden Ferdinand Marcos Jr. Bandara internasional di ibu kota Ilocos Norte, Laoag, ditutup Rabu karena kerusakan akibat gempa dan setidaknya dua penerbangan domestik dibatalkan, kata para pejabat. Di kota Batac, juga di Ilocos Norte, sejumlah pasien dipindahkan dari rumah sakit terbesar di provinsi itu setelah bagian langit-langit di unit perawatan intensif jatuh saat bangunan bergoyang. Layanan konsultasi medis di rumah sakit itu dihentikan. Sekolah di provinsi itu ditutup sementara para insinyur menilai kerusakan bangunan, kata para pejabat. Marcos Jr. mengatakan pihak berwenang sedang memeriksa jalan-jalan dan bangunan-bangunan. “Kebanyakan orang meminta tenda karena mereka takut untuk kembali ke rumah mereka karena jika gempa susulan terjadi, mereka mungkin terluka,” katanya pada sebuah konferensi pers di Manila. Lebih dari 400 gempa susulan telah terdeteksi tetapi hanya sedikit yang dirasakan oleh orang-orang, kata para pejabat. Di kota La Paz di Abra, sebuah gereja Kristen yang telah berusia seabad rusak, dengan bagian dari menara tempat lonceng bergantung runtuh dan beberapa dinding retak, kata para pejabat. Sedikitnya dua kota di Provinsi Cagayan tidak mendapat aliran listrik karena kabel-kabel listrik yang rusak. Sejumlah jembatan dan jalan di provinsi-provinsi terpencil itu rusak. Pada bulan Juli, gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter memicu tanah longsor dan merusak bangunan-bangunan di Abra dan sejumlah provinsi lain di Filipina Utara, menewaskan sedikitnya lima orang dan melukai puluhan lainnya. Pada tahun 1990, gempa berkekuatan 7,7 Skala Richter menewaskan hampir 2.000 orang di Filipina Utara dan menimbulkan kerusakan parah, termasuk di Manila. Filipina terletak di “Cincin Api Pasifik,” sebuah wilayah di sepanjang sebagian besar tepi Samudra Pasifik di mana banyak letusan gunung berapi dan gempa bumi terjadi. Karena lokasinya ini, negara Asia Tenggara tersebut merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia. [ab/uh]
Petani Dieng Gigih Menolak Proyek PLTP Geo Dipa Energi
Petani Dieng terus melawan proyek BUMN PT Geo Dipa Energi, yang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan tersebut. Potensi panas bumi, resiko gas beracun, sumber hidup puluhan ribu petani, dan kepentingan sektor pertanian berkelindan di satu lokasi. Pagi hari di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, saat musim hujan selalu berwarna abu-abu karena kabut dan dingin yang menusuk tulang. Di ladang, para petani dengan baju tebal, sepatu boot plastik dan penutup kepala, melawan dingin dengan tetap bekerja di antara tanaman mereka. Bau pupuk kandang menyengat di antara ladang sayuran dan tanaman kentang. Belakangan ini, bukan hanya hawa dingin yang harus mereka lawan di ladang. Di tengah hamparan dataran tinggi itu, petani Dieng juga harus melawan kehadiran proyek baru milik PT Geo Dipa Energi. Masyarakat menolak pembangkit baru itu, karena khawatir merusak mata air sumber kehidupan mereka. “Sekitar jaraknya 300 meter ada mata air yang digunakan untuk keperluan beribu-ribu hektar lahan pertanian di bawahnya, dan juga kebutuhan dari tiga desa, yaitu desa Bakal Desa Condongcampur kemudian desa Gembol,” tutur Agung Setiawan, warga desa Bakal kepada VOA. Penolakan Pembangkit Baru PT Geo Dipa Energi adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sejak tahun 2002 telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Dieng sebesar 60 MW. Dieng diyakini memiliki potensi tenaga listrik hingga 400 MW, sehingga dalam beberapa tahun terakhir PT Geo Dipa Energi terus membangun pembangkit baru. Sayangnya, lokasinya begitu dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian warga setempat. Agung bahkan menyebut, pagar lokasi pengeboran berdampingan langsung dengan rumah warga di Karangtengah. “Kita belajar daripada hal-hal yang terjadi di Geo Dipa unit satu, seperti gas meledak, kemudian gas beracun yang bocor, kemudian ledakan pipa, itu kan hal-hal yang ditakutkan masyarakat,” ujar Agung. Dalam ingatan masyarakat, sejumlah insiden memang pernah terjadi, setidaknya pada 2006, 2017, dan 2019. Masyarakat kian takut karena mereka akan hidup sepanjang waktu berdampingan dengan proyek beresiko tinggi. Ketakutan yang sama juga diceritakan ibu Siti, warga Karangtengah. “Karena yang di Geo Dipa unit 1 itu sudah merusak alam, terkait air asin, atap seng berkarat, dan Dieng itu rawan bencana karena tanahnya, alamnya itu tidak bisa dibor,” kata Siti kepada VOA. Siti bercerita tentang dampak yang selama ini mereka rasakan, setelah PLTP Dieng 1 beroperasi sejak 2002. Warga dulu menerima kehadiran PLTP 1, karena belum memahami dampak yang harus mereka tanggung, kata Siti. Dalam pengembangan proyek saat ini, insiden juga pernah terjadi. “Dulu pas ujicoba sumur, tanaman yang dipinggir-pinggirnya pada mati. Ganti ruginya pun lama, lambat banget ngurusnya,” kata Siti. “Sudah cukup, tidak udah ada geothermal. Kami sebagai warga yang paling dekat dengan alamnya yang mempunyai panas bumi, kami tidak ingin dibor lagi. Sudah cukup, korban-korban yang meninggal. Kami mendukung kemajuan bangsa, tetapi tidak harus mengorbankan warga,” ujarnya. Siti masih ingat, insiden yang terjadi terjadi pada 13 Maret 2022 lalu. Terjadi kebocoran gas dalam proses pengeboran yang dilakukan PT Geo Dipa Energi, tidak jauh dari rumahnya. Satu pekerja tewas dan delapan dirawat di rumah sakit karena menghirup gas beracun dari sumur tersebut. Insiden itu hanya satu dari sekian kejadian yang terus menghantui ingatannya. Rekomendasi Walhi Jawa Tengah Karena lokasinya, proyek panas bumi di Dieng ini dinilai Walhi Jawa Tengah memiliki banyak resiko. Mulai dari dampak lingkungan, potensi pencemaran air, pencemaran udara, hingga pencemaran suara. Walhi juga mengingatkan, lokasi yang berada di tengah ladang petani membuka potensi gagal panen, tanaman yang tumbuh tidak sehat, hingga persoalan sumber daya air untuk pertanian. Potensi gempa dan gas beracun juga harus diperhatikan, apalagi Walhi Jawa Tengah mencatat sudah empat kali ledakan terjadi di kawasan proyek. Iqbal Alma dari Walhi Jawa Tengah menilai, proyek PLTP sangat beresiko, karena berada di tengah pemukiman. “Dieng itu berbeda dengan Gunung Patuha, Gunung Salak dan sebagainya. Di Dieng sampai ke puncak itu menjadi kawasan aktivitas permukiman warga. Jadi, menurut kami, akan sangat berisiko tinggi kalau misalkan proyek ini tetap dijalankan,” kata Iqbal kepada VOA. Jika dipaksakan, maka sama saja artinya warga hidup berdampingan dengan proyek geothermal. Karena itulah, Walhi merekomendasikan pengkajian ulang dalam segala aspek terkait proyek tersebut. “Semua wellpad yang ada di Dieng, itu berkaitan dengan warga. Kalau tidak pemukiman, ya jalan tempat warga beraktivitas atau lahan pertanian. Maka akan sangat berisiko untuk proyek geothermal di Dieng ini,” imbuh Iqbal. Pemerintah, melalui PT Geo Dipa Energi harus sangat berhati-hati dalam menjalankan kajian. Apalagi, menurut rencana dari satu pembangkit, akan dikembangkan hingga delapan lokasi baru di kawasan Dieng. Monitoring dan evaluasi harus terus dilakukan, termasuk memberitahu warga, apa potensi buruk jika proyek ini diteruskan. Menurutnya, PT Geo Dipa Energi tidak bisa hanya menjelaskan apa manfaat pengembangan PLTP, tanpa memberi pemahaman terkait risiko buruk yang mungkin muncul. Informasi yang timpang ke masyarakat, diyakini Iqbal, adalah akar persoalan yang terus menghadirkan penolakan warga sampai saat ini. Pertemuan Berbuntut Insiden Penolakan para petani Dieng berulangkali melahirkan sejumlah insiden. Peristiwa terakhir, terjadi pada 24 Oktober 2022, ketika penjabat Bupati Banjarnegara mengundang ratusan warga dan PT Geo Dipa Energi di Balai Desa Karangtengah. Kericuhan terjadi bahkan ketika pertemuan baru dimulai. Menurut data, ada lima warga penolak PLTP yang mendapatkan tindak kekerasan berupa pemukulan, tendangan dan dilempari kursi oleh pekerja PT Geo Dipa Energi. Insiden itu diawali oleh upaya pengusiran yang dilakukan pekerja PT Geo Dipa Energi terhadap warga desa Bakal. Warga Bakal tidak diizinkan hadir, sementara mereka beralasan harus ikut karena turut terdampak proyek. Salah satu warga yang jadi korban adalah Dafiq, pemuda desa Bakal yang mengaku dikeroyok sejumlah pekerja PT Geo Dipa dan sejumlah pihak yang tidak dia kenal. Pertemuan itu pun akhirnya dibatalkan. Sedangkan warga melaporkan penganiayaan yang mereka terima, ke kepolisian setempat. Klaim Tidak Represif Dalam konfirmasi yang disampaikan kepada VOA, Endang Iswandini selaku Corporate Secretary PT Geo Dipa Energi (Persero) menegaskan, bahwa pihaknya tidak terlibat dalam insiden tersebut. “PT Geo Dipa Energi (Persero) menegaskan bahwa sebagai salah satu undangan dalam musyawarah ini, dalam ketegangan yang sempat terjadi, pegawai Geo Dipa tidak terlibat apalagi melakukan tindakan represif,” paparnya. “Kami mengapresiasi Pemkab Banjarnegara selaku penyelenggara dengan mengikuti seluruh proses kegiatan dengan baik. Kami berharap kejadian yang sama tidak terulang kembali,” imbuhnya. Endang juga menambahkan, dari musyawarah yang dilakukan, penjabat Bupati Banjarnegara mempersilakan PT Geo Dipa Energi untuk mengambil material yang masih tersimpan di Pad-38 atau eks mes PLN yang berlokasi di Desa Karangtengah. “Seluruh peserta juga sepakat untuk menjaga wilayah Dieng, Banjarnegara untuk tetap kondusif,” tambahnya. Endang mengatakan, sebelum pertemuan berlangsung, sebagian masyarakat memasang spanduk di balai desa, baik yang pro maupun kontra pengembangan PLTP Dieng Unit 2. “Proses musyawarah ini pun dilakukan secara berimbang untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat memberikan aspirasinya kepada Pemerintah Kabupaten Banjarnegara,” kata Endang. Dalam laman resminya, PT Geo Dipa Energi menjelaskan bahwa kawasan Dieng memiliki potensi energi panas bumi hingga 400 MW. Saat ini mereka mengoperasikan proyek Dieng Unit 1 dengan kapasitas 60 MW yang terhubung ke jaringan Jawa-Madura-Bali melalui sistem interkoneksi. Untuk memenuhi target usaha, dilakukan peningkatan kapasitas di proyek Dieng 2 dan 3, masing-masing berkapasitas 55 MW. Selain itu, PT Geo Dipa Energi menyebut adanya area prospek Candradimuka di sebelah barat area Dieng. Adanya manifestasi panas bumi seperti fumarole, mata air panas, dan kaipohan menandakan area ini berpotensi dikembangkan menjadi PLTP yang menghasilkan listrik sebesar 80 MW, menurut kajian. [ns/ab]
Los Angeles Pasang Penjerat Sampah untuk Cegah Pencemaran Laut
Los Angeles, California. baru-baru ini memasang “Trash interceptor 007” di mulut salah satu saluran airnya yang paling tercemar. Apa dan bagaimana fungsi penangkap sampah itu?
Uni Eropa Tetapkan ‘Target Ambisius’ Jelang KTT Iklim COP27
Uni Eropa, pada Senin (24/10), menetapkan posisinya untuk KTT Iklim COP27 dalam sebuah naskah yang menyerukan “target yang ambisius,” tanpa menuliskan berapa persisnya jumlah bantuan dana yang akan diberikan bagi negara-negara berkembang untuk memerangi perubahan iklim. Blok beranggotakan 27 negara itu mengakui bahwa “ambisi global harus meningkat secara substansial” untuk memastikan agar target kenaikan suhu bumi sesuai Perjanjian Paris tetap dapat tercapai. Naskah itu mendesak negara-negara untuk “maju dengan target-target yang ambisius” menjelang konferensi PBB di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang berlangsung bulan depan. Uni Eropa sudah siap memperbarui kontribusi nasionalnya “sesegera mungkin” setelah negara-negara blok itu memutakhirkan rencana penanganan perubahan iklimnya. Rencananya, Uni Eropa menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca para anggotanya sebesar 55 persen pada tahun 2030, dibanding tingkat emisi tahun 1990. Naskah yang diratifikasi pertemuan menteri lingkungan negara-negara Uni Eropa di Luxembourg itu juga “menyerukan semua pihak agar mengakhiri penggunaan batu bara yang tak juga berhenti melalui penghentian bertahap.” Namun naskah itu amat berhati-hati saat menyinggung masalah sensitif terkait bantuan finansial bagi negara-negara berkembang. Pembiayaan “ganti rugi dan kerusakan” yang disebabkan oleh dampak pemanasan global akan menjadi isu panas di COP27, Konferensi Pihak-Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang ke-27. Negara-negara kaya belum juga memenuhi janji mereka untuk memberikan bantuan finansial senilai setidaknya $100 miliar per tahun – target yang awalnya ditetapkan untuk tahun 2020 – untuk membantu negara-negara miskin mengurangi emisi dan beradaptasi. Negara-negara anggota Uni Eropa mengharapkan “target itu tercapai pada tahun 2023,” demikian tertulis dalam naskah, tanpa memberikan angka pasti pada target yang baru. Kompensasi kerugian dan kerusakan merupakan “pertanyaan yang sulit,” kata Menteri Lingkungan Ceko Anna Hubackova. Ia menambahkan, “Kami siap mendiskusikan” syarat-syarat yang memungkinkan. “Hari ini di Dewan, kami sepakat untuk berpikiran terbuka dalam negosiasi kerugian dan kerusakan,” kata Menteri Energi Belanda Rob Jetten. “Kita harus menyadari dampaknya pada banyak negara berkembang,” tambahnya. “Kita lihat di Sharm el-Sheikh di mana ini akan berlabuh,” ujarnya. [rd/rs]