Polusi udara partikel halus menurun di wilayah Eropa serta Cina pada tahun lalu karena emisi yang terkait dengan aktivitas manusia menurun, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Kamis…
Category: Lingkungan Hidup
Ilmuwan Perkirakan Kasus Alergi di Amerika Meningkat di Masa Depan
Seminggu sekali, dari bulan Maret hingga akhir Oktober, seorang profesor yang juga peneliti datang ke teras setinggi 4,5 meter di Lincoln Center, Universitas Fordham di kota New York, untuk melihat jenis serbuk sari yang terkumpul di udara. Apa tujuannya
Untuk pertama kali, PLTU Batu Bara Pasok Kurang dari 50% Listrik Australia
Di tengah musim panas yang memecahkan rekor suhu global, Wakil Presiden Kamala Harris dan mantan Presiden Donald Trump menawarkan pandangan yang kontras tentang menghadapi perubahan iklim dan menjaga pasokan energi. Sayangnya, keduanya…
12 Pakar AS dan Indonesia Bedah Masalah Iklim di Indonesia
Para pakar dan peneliti dari AS dan Indonesia membedah masalah hutan, bencana, dan transisi energi di Indonesia, dalam konferensi yang digelar baru-baru ini di University of Maryland. Mereka menegaskan pentingnya peran Indonesia dalam pengurangan emisi dan adaptasi iklim di kancah global.
Ilmuwan Kembangkan Robot untuk Teliti Pencairan di Bawah Lapisan Es Antarktika
Los Angeles — Para insinyur dengan spesialiasi dalam pembangunan pesawat ruang angkasa milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration/NASA) untuk menjelajahi dunia yang jauh, saat ini sedang merancang armada robot bawah air untuk mengukur seberapa cepat perubahan iklim mencairkan lapisan es yang luas di sekitar Antarktika. Penelitian itu juga untuk melihat apakah hal ini berimplikasi pada naiknya permukaan air laut. Sebuah prototipe kendaraan selam, yang sedang dikembangkan oleh Laboratorium Propulsi Jet (Jet Propulsion Laboratory/JPL) NASA di dekat Los Angeles, diuji di kamp laboratorium Angkatan Laut AS di Kutub Utara. Alat itu nantinya akan ditempatkan di bawah Laut Beaufort yang membeku di utara Alaska pada Maret tahun depan. “Robot-robot ini merupakan platform untuk membawa instrumen sains ke lokasi-lokasi yang paling sulit dijangkau di Bumi” kata Paul Glick, seorang insinyur Robotika JPL dan peneliti utama untuk proyek IceNode, dalam ringkasan yang diunggah ke situs web NASA, pada Kamis (29/8). Penyelidikan tersebut ditujukan untuk menyediakan data yang lebih akurat guna mengukur laju pemanasan air laut di sekitar Antarktika yang mencairkan es pantai benua itu, sehingga memungkinkan para ilmuwan untuk meningkatkan model komputer guna memprediksi kenaikan permukaan laut di masa mendatang. Nasib lapisan es terbesar di dunia menjadi fokus utama hampir 1.500 akademisi dan peneliti yang berkumpul minggu ini di Chili selatan untuk konferensi Komite Ilmiah Penelitian Antarktika ke-11. Analisis JPL yang diterbitkan pada 2022 menemukan bahwa penipisan dan runtuhnya lapisan es Antarktika telah mengurangi massanya sekitar 12 triliun ton sejak 1997, dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya. Jika mencair seluruhnya menurut NASA, hilangnya lapisan es benua itu akan meningkatkan permukaan air laut global sekitar 200 kaki (60 meter). Lapisan es Antarktika merupakan bongkahan air tawar beku yang mengapung dan membentang bermil-mil dari daratan ke laut. Terbentuknya lapisan es membutuhkan waktu ribuan tahun. Lapisan es itu berfungsi seperti penopang raksasa yang menahan gletser agar tidak mudah meluncur ke lautan di sekitarnya. Citra satelit telah menunjukkan bahwa bagian luar dari lapisan es tersebut telah “pecah” menjadi gunung es pada tingkat yang lebih tinggi daripada kemampuan alam untuk mengisi kembali pertumbuhan lapisan es. Pada saat yang sama, meningkatnya suhu lautan mengikis juga lapisan es dari bawah. Sebuah fenomena yang para ilmuwan harapkan dapat diteliti dengan tingkat kepresisian yang lebih tinggi menggunakan wahana IceNode yang dapat tenggelam. Kendaraan berbentuk silinder ini panjangnya sekitar 8 kaki (2,4 meter) dan diameternya 10 inci (25 cm), yang nantinya akan dilepaskan dari lubang bor di es atau dari kapal di laut. Meskipun tidak dilengkapi dengan penggerak apa pun, robot penjelajah akan hanyut mengikuti arus, menggunakan panduan perangkat lunak khusus, untuk mencapai “zona pendaratan”. Yaitu sebuah tempat lapisan air tawar beku bertemu dengan air laut asin dan daratan. Rongga-rongga ini tidak dapat ditembus bahkan oleh sinyal satelit. “Tujuannya adalah untuk mendapatkan data langsung pada titik pertemuan es dan lautan yang mencair,” kata Ian Fenty, ilmuwan iklim JPL. Setelah tiba di sasarannya, kapal selam tersebut akan menjatuhkan pemberatnya dan mengapung ke atas untuk menempelkan diri ke bagian bawah lapisan es dengan melepaskan “roda pendaratan” bercabang tiga yang keluar dari salah satu ujung kendaraan. IceNode kemudian akan terus merekam data dari bawah es hingga jangka waktu satu tahun, termasuk fluktuasi musiman, sebelum melepaskan diri untuk kembali ke laut lepas dan mengirimkan pembacaan melalui satelit. Sebelumnya, penipisan lapisan es didokumentasikan oleh altimeter satelit yang mengukur perubahan ketinggian es dari atas. Selama uji lapangan pada Maret lalu, prototipe IceNode menyelam 330 kaki (100 meter) ke dalam laut untuk mengumpulkan data salinitas, suhu, dan aliran. Uji sebelumnya dilakukan di Teluk Monterey, California, dan di bawah permukaan musim dingin Danau Superior yang beku, di lepas pantai semenanjung atas Michigan. Pada akhirnya, para ilmuwan yakin 10 peralatan ini akan ideal untuk mengumpulkan data dari rongga lapisan es tunggal, tetapi “kami masih harus melakukan pengembangan dan pengujian lebih lanjut” sebelum merancang jadwal untuk penyebaran skala penuh, kata Glick. [rz/ft]
Perusahaan Mesir Ubah Sampah Plastik Jadi Bahan Bangunan
Sebuah perusahaan rintisan di Mesir, mengembangkan teknologi pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan bangunan. Teknologi ini memungkinkan penggunaan sampah plastik paling tidak berharga, yang selama ini diabaikan.
‘Alam Sedang Menghukum Kita’: Kekeringan Ancam Petani dan Peternak Lebah Meksiko
Menurut sebagian kalangan, pendidikan mengenai perubahan iklim harus diintegrasikan ke mata pelajaran utama sekolah untuk membantu para siswa mengatasi kecemasan yang mungkin mereka rasakan terkait topik itu. Akan tetapi para peneliti mengatakan…
Masyarakat Diajak Belanja Produk Isi Ulang untuk Kurangi Produksi Sampah Plastik
Perilaku belanja yang mengandalkan plastik kemasan sekali pakai, diduga merupakan salah satu penyebab sulitnya mengatasi masalah sampah plastik di Indonesia. Gerakan belanja produk isi ulang diharapkan dapat menjadi upaya konkret mengurangi sampah plastik.
Studi: Kebijakan ‘Pencemar Membayar’ Bisa Turunkan Emisi Karbon
Washington — Untuk mengetahui apa yang benar-benar berhasil saat banyak negara mencoba melawan perubahan iklim, para peneliti mengamati 1.500 cara yang telah dicoba oleh negara-negara untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Jawaban mereka: Tidak banyak yang berhasil. Dan keberhasilan sering kali berarti seseorang harus membayar harganya, baik di SPBU maupun di tempat lain. Menurut sebuah studi baru dalam jurnal Science edisi Kamis (22/8), para peneliti menemukan hanya 63 kasus sejak 1998 yang menunjukkan kebijakan yang menghasilkan pengurangan polusi karbon yang signifikan, Upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan mesin-mesin berbahan bakar gas, misalnya, belum berhasil dengan sendirinya. Namun, akan lebih berhasil jika dikombinasikan dengan semacam pajak energi atau sistem biaya tambahan, demikian kesimpulan yang didapat penulis studi dalam analisis mendalam tentang emisi global, kebijakan iklim, dan hukum. “Kunci utama jika Anda ingin mengurangi emisi adalah Anda harus memiliki harga dalam pembuatan kebijakan.” kata salah satu penulis studi, Nicolas Koch, seorang ekonom iklim di Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam di Jerman. “Jika subsidi dan regulasi diterapkan sendiri-sendiri atau dipadukan, Anda tidak akan melihat pengurangan emisi yang signifikan. Namun, jika instrumen harga diterapkan seperti pajak energi karbon, maka pengurangan emisi yang substansial akan tercapai.” Studi itu juga menemukan bahwa apa yang berhasil di negara-negara maju tidak selalu berhasil di negara-negara berkembang. Namun, hal itu menunjukkan kekuatan finansial dalam memerangi perubahan iklim, seperti yang selalu diperkirakan oleh para ekonom, kata beberapa pakar kebijakan luar, ilmuwan iklim, dan ekonom yang memuji studi tersebut. “Kita tidak akan memecahkan masalah iklim di negara-negara maju sampai pencemar membayar,” kata Rob Jackson, ilmuwan iklim Universitas Stanford dan penulis buku Clear Blue Sky. “Kebijakan lain membantu, tetapi hanya sedikit.” “Penetapan harga karbon membebankan tanggung jawab pada pemilik dan produk yang menyebabkan krisis iklim,” kata Jackson melalui email. Koch mengatakan, contoh terbaik dari strategi yang berhasil adalah di sektor kelistrikan di Inggris. Negara itu menerapkan gabungan dari 11 kebijakan berbeda mulai 2012, termasuk penghentian penggunaan batu bara dan skema penetapan harga yang melibatkan perdagangan emisi. Menurut Koch, gabungan kebijakan itu berhasil mengurangi hampir separuh emisi di Inggris. “Dampak yang sangat besar,” katanya. Dari 63 kisah sukses penanganan iklim, pengurangan terbesar terlihat di sektor bangunan Afrika Selatan, di mana kombinasi regulasi, subsidi, dan pelabelan peralatan mengurangi emisi hampir 54%. Satu-satunya kisah sukses di Amerika Serikat adalah di bidang transportasi. Emisi turun 8 persen dari 2005 hingga 2011 berkat perpaduan standar bahan bakar — yang berarti regulasi — dan subsidi. Namun, bahkan perangkat kebijakan yang tampaknya berhasil masih belum mampu mengurangi emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Secara keseluruhan, 63 contoh kebijakan iklim yang berhasil memangkas 600 juta hingga 1,8 miliar metrik ton gas yang memerangkap panas, demikian temuan studi tersebut. Tahun lalu, dunia mengeluarkan 36,8 miliar metrik ton karbon dioksida saat membakar bahan bakar fosil dan proses pembuatan semen. Jika setiap negara besar bisa mempelajari pelajaran dari analisis itu dan memberlakukan kebijakan yang paling berhasil, hal itu hanya akan mempersempit “kesenjangan emisi” sebesar 26 persen dari 23 miliar metrik ton “kesenjangan emisi” dari seluruh gas rumah kaca yang dikalkulasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kesenjangan tersebut adalah perbedaan antara seberapa banyak karbon yang akan dilepaskan dunia ke udara pada t2030 dan jumlah yang akan menjaga pemanasan pada atau di bawah tingkat yang disepakati secara internasional. “Hal ini pada dasarnya menunjukkan bahwa kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik,” kata Koch, yang juga merupakan kepala laboratorium evaluasi kebijakan di Mercator Research Institute di Berlin. Niklas Hohne dari Institut Iklim Baru Jerman, yang tidak terlibat langsung dalam penelitian tersebut mengatakan: “Dunia benar-benar perlu melakukan perubahan besar, beralih ke mode darurat dan menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.” Koch dan timnya mengamati emisi dan upaya untuk menguranginya di 41 negara antara 1998 dan 2022, yang mencakup 1.500 tindakan kebijakan. Jadi, pengamatan Koch tidak termasuk paket belanja penanggulangan iklim senilai hampir $400 miliar atau setara Rp 6 kuadriliun yang disahkan dua tahun lalu sebagai landasan kebijakan lingkungan Presiden Joe Biden. Mereka mengelompokkan kebijakan dalam empat kategori besar, yaitu penetapan harga, regulasi, subsidi, dan informasi serta menganalisis empat sektor ekonomi yang berbeda: listrik, transportasi, bangunan, dan industri. Tim tersebut menciptakan pendekatan yang transparan secara statistik yang dapat digunakan orang lain untuk memperbarui atau mereproduksi pendekatan tersebut, termasuk situs web interaktif tempat pengguna dapat memilih negara dan sektor ekonomi untuk melihat apa yang berhasil. Dan pendekatan tersebut pada akhirnya dapat diterapkan pada paket iklim Biden 2022, katanya. Paket tersebut sangat bergantung pada subsidi. John Sterman, seorang profesor manajemen di MIT Sloan Sustainability Institute yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa politisi merasa lebih mudah untuk meloloskan kebijakan yang mensubsidi dan mempromosikan teknologi rendah karbon. Ia mengatakan hal itu tidak cukup. “Penting juga untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil dengan menetapkan harga yang mendekati biaya penuhnya, termasuk biaya kerusakan iklim yang ditimbulkannya,” katanya. [rz/ft]
Pemerintah Berencana Pensiunkan Sebagian Pembangkit PLTU Suralaya
Jakarta — Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Rabu (21/8), bahwa pemerintah mungkin akan menutup operasi sebagian unit pembangkit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Suralaya untuk mengurangi polusi udara di Jakarta. Luhut mengatakan pemerintah berencana menutup kapasitas pembangkitan sebesar 2 gigawatts (GW) dari total 4GW yang dioperasikan oleh PLTU Suralaya, yang berlokasi di Cilegon, Banten. “(Menutup Suralaya) penting untuk polusi udara di Jakarta,” kata Luhut di sela-sela konferensi energi surya di Jakarta. “Kami sedang membahas dan kami akan mengumumkan segera.” Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengoperasikan PLTU Suralaya tidak segera memberi komentar. PLN mengoperasikan delapan unit pembangkitan di kompleks PLTU Suralaya. Unit pembangkitan listrik tertua di PLTU tersebut sudah beroperasi sejak 1980. PLTU Suralaya adalah salah satu pembangkit yang memasok listrik untuk Jakarta. Namun, Suralaya juga dituding sebagai penyebab tingginya tingkat polusi udara di Jakarta, yang dihuni sekitar 10 juta jiwa. Warga Jakarta mengeluhkan kualitas udara yang buruk dari kemacetan lalu lintas kronis, asap industri dan PLTU yang menggunakan batu bara. Pada 2021, sejumlah warga Jakarta melayangkan gugatan perdata, menuntut pemerintah mengambil langkah untuk mengontrol polusi udara. Deputi Menko Maritim, Rachmat Kaimuddin, mengatakan di sela-sela konferensi yang sama bahwa pembahasan mengenai perhitungan biaya dan perincian lainnya untuk menutup unit-unit pembangkit di PLTU Suralaya, masih berlangsung. Ketika pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menutup operasi sejumlah unit pembangkitan di PLTU Suralaya, di sisi lain, PLN masih menambah kapasitas pembangkitan. Melalui usaha patungan yang didirikan bersama dengan PT Barito Pacific, PT Indo Raya Tenaga, PLN sedang membangun PLTU di Suralaya dengan kapasitas batu bara yang lebih modern untuk memasok listrik untuk Jawa dan Bali. Unit pembangkitan listrik yang baru itu akan beroperasi akhir Agustus, Reuters melaporkan, mengutip kantor berita Antara. [ft/rs]