Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan hari Jumat (1/12) mengumumkan dana $30 miliar dolar untuk membantu mencari solusi bagi perubahan iklim. Pengumuman ini disampaikannya saat membuka hari kedua pembicaraan iklim internasional (COP28) di Dubai. Sheikh Al Nahyan mengatakan kekurangan dana telah menjadi masalah yang menghambat aksi iklim di seluruh dunia. “Kami telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 40 persen pada tahun 2030. Kami telah menginvestasikan hampir $100 miliar untuk mendanai aksi iklim, dengan fokus pada energi baru dan bersih,” ujar Al Nahyan. Pemimpin UEA ini juga mengatakan kepada para pemimpin dunia yang hadir bahwa negaranya memiliki “rekam jejak dalam aksi iklim.” Di antara para pemimpin yang mengikuti COP28 ini adalah Putra Mahkota Mohammed Bin Salman dari Arab Saudi, negara produsen minyak terbesar dunia, dan Perdana Menteri India Narendra Modi, yang kota-kota terbesarnya secara teratur diselimuti udara yang buruk. Hadir pula Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama lebih dari 130 pemimpin dunia yang akan berpidato di konferensi itu selama dua hari ke depan. [em/uh]
Category: Dunia
Skema Dana Bencana Iklim Disetujui pada Pembukaan COP28
KTT Iklim PBB tahun ini, yang disebut COP28, meraih kemenangan awal hari Kamis (30/11) setelah seluruh delegasi mengadopasi skema pendanaan baru yang akan membantu negara-negara rentan mengatasi dampak bencana yang disebabkan oleh faktor iklim. Kesepakatan itu diadopsi setelah upacara pembukaan COP28 di Dubai, menyusul negosiasi yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan. Meski demikian, sejumlah kelompok berhati-hati, mengingat masih ada isu-isu yang belum dipecahkan, termasuk bagaimana dana itu akan dibiayai ke depannya. Sumbangan Uni Emirat Arab sebesar $100 juta dan sumbangan negara-negara lainnya, jika ditotalkan, seditiknya mencapai $300 juta. Jerman menjanjikan $100 juta, sementara AS sebesar $17,5 juta. Harapannya, jumlah total kontribusi seluruh negara cukup besar. Terobosan awal mengenai dana bencana iklim yang sudah dituntut oleh negara-negara miskin selama bertahun-tahun itu dapat membantu mendorong kompromi-kompromi lainnya. Sebelumnya, Presiden COP28, Sultan al-Jaber – yang juga CEO dari perusahaan minyak negara UEA – membuka KTT itu dengan mendesak negara-negara dan perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil untuk bekerja sama mencapai tujuan iklim global. Al-Jaber ingin menyampaikan pesan dengan nada perdamaian setelah menerima kritik selama berbulan-bulan terkait penunjukkannya sebagai ketua COP28. “Biar sejarah yang mencerminkan fakta bahwa ini adalah presidensi yang membuat pilihan berani untuk terlibat secara proaktif dengan perusahaan-perusahaan minyak dan gas. Kami sudah banyak melakukan diskusi yang sulit, yang tidak mudah, tapi kini perusahaan-perusahaan ini berkomitmen untuk menghasilkan nol emisi metana pada 2030 untuk pertama kalinya.” “Dan sekarang banyak perusahaan minyak negara yang mengadopsi target nol bersih pada 2050 untuk pertama kalinya dan saya bersyukur mereka telah mengambil langkah untuk ikut serta dalam perubahan ini. Dan saya harus mengatakan bahwa ini saja belum cukup, dan saya tahu mereka bisa berbuat lebih.” Selama dua minggu ke depan, pemerintah berbagai negara juga akan memperdebatkan apakah mereka akan bersepakat menghapus secara bertahap penggunaan batu bara, minyak dan gas penghasil CO2 di seluruh dunia, yang merupakan sumber utama emisi. Agenda lainnya adalah apa yang disebut sebagai “inventarisasi global.” Dalam agenda tersebut, negara-negara di dunia akan menilai kemajuan mereka dalam mencapai tujuan iklim global. Tujuan utama yang dimaksud adalah yang tertuang dalam Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celsius. [rd/lt]
John Kerry: AS dan China Harus Menangkan Pertempuran Iklim
China dan Amerika Serikat, yang merupakan dua negara dengan polusi gas rumah kaca terbesar di dunia, akan bekerja sama dalam pembicaraan iklim PBB di Dubai, kata utusan AS untuk iklim, John Kerry pada Rabu (29/11). “Tanpa upaya China dan Amerika Serikat secara agresif bergerak ke depan untuk mengurangi emisi, kita tidak akan memenangkan pertempuran ini,” kata mantan menteri luar negeri itu kepada para reporter, menjelang pembukaan COP28. COP adalah konferensi perubahan iklim PBB yang kali ini merupakan penyelenggaraan ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab. “Kami ada di nomor dua, sebagai penghasil emisi, China adalah yang pertama. Jadi, kami telah memutuskan untuk benar-benar bekerja sama untuk meraih keberhasilan COP,” kata Kerry, yang menyebut pertemuan terakhirnya dengan utusan iklim China Xie Zhenhua awal bulan ini. Dia mengatakan, kedua negara, yang memproduksi 40 persen dari keseluruhan gas rumah kaca, perlu meningkatkan dan membantu penyelesaian tugas dengan lebih cepat, untuk membatasi kenaikan suhu pada 1,5 celsius seperti yang sudah disetujui di pembicaraan iklim Paris pada 2015. China adalah penghasil gas emisi rumah kaca terbesar dunia. Namun ketika produksi emisi di masa lalu turut dihitung, China ada di posisi kedua, di bawah Amerika Serikat. Fatih Birol, Kepala Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan kepada AFP pada September lalu, bahwa dia meminta kepada dua negara superpower itu untuk mengesampingkan ketegangan ekonomi dan geopolitik selama pembicaraan ini. Setelah pembicaraan selama berbulan-bulan, kedua negara telah mengeluarkan pernyataan bersama terkait iklim dimana mereka mengumumkan kerja sama dalam berbagai area termasuk terkait metane, gas rumah kaca paling merusak kedua setalah karbondioksida. Keduanya juga menyebut tujuan bersama dalam COP28. Audit resmi pertama dari Perjanjian Paris, yang harus disetujui melalui konsensus, adalah salah satu keputusan yang paling diantisipasi karena akan diambil di Dubai. “Pengambilan peran global ini perlu untuk mendapatkan kredibilitas dunia, dengan menjadi jujur, kuat, visioner dan komprehensif,” tambah Kerry. Dia mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menekankan sebuah komitmen untuk mempercepat penghentian fase pemakaian bahan bakar fosil yang terus menerus, yang berarti tanpa penangkapan karbon, sebuah medan perselisihan utama dalam pembicaraan ini. “Saya merasa cukup percaya diri, bahwa kita akan membuat kemajuan. Pertanyaannya adalah seberapa besar kemajuan itu,” tambah dia. “Kita tahu ini berhasil setelah kita lihat hasilnya,” kata Kerry lagi. [ns/jm]
Badan Amal: 27 Juta Anak Kelaparan Terdampak Krisis Iklim Tahun 2022
Peristiwa cuaca ekstrem di negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim menyebabkan lebih dari 27 juta anak mengalami kelaparan tahun lalu, kata Save the Children, Selasa (28/11). Angka tersebut mencerminkan peningkatan tajam sebesar 135 persen dibandingkan tahun 2021, kata badan amal yang berbasis di Inggris itu dalam sebuah analisa menjelang pembukaan KTT iklim COP28 di Dubai pada hari Kamis (30/11). Analisa tersebut mengatakan anak-anak merupakan hampir separuh dari 57 juta orang yang terjerumus ke dalam tingkat krisis kerawanan pangan akut atau lebih buruk lagi di 12 negara karena cuaca ekstrem pada tahun 2022, menurut data dari sistem pemantauan kelaparan IPC. Dari 12 negara tersebut, negara-negara di Tanduk Afrika adalah negara yang paling terimbas, dengan Ethiopia dan Somalia memiliki sekitar separuh dari 27 juta anak yang menghadapi kelaparan, kata Save the Children. “Ketika kejadian cuaca terkait iklim menjadi lebih sering dan parah, kita akan melihat konsekuensi yang lebih drastis terhadap kehidupan anak-anak,” kata CEO Save the Children, Inger Ashing dalam sebuah pernyataan. Badan amal tersebut meminta para pemimpin yang bertemu di COP28 di Dubai untuk mengambil tindakan terhadap krisis iklim dengan mengakui anak-anak sebagai “agen perubahan utama” namun secara lebih luas juga mengatasi penyebab kerawanan pangan lainnya seperti konflik dan lemahnya sistem kesehatan. Save the Children menyoroti situasi di Somalia, yang dianggap sebagai salah satu negara paling rentan terhadap perubahan iklim, yang terjebak dalam lingkaran setan kekeringan dan banjir. Badan amal itu mengatakan hujan lebat dan banjir baru-baru ini yang melanda banyak wilayah di negara itu telah menyebabkan sekitar 650.000 orang mengungsi, sekitar separuhnya adalah anak-anak. Di tempat lain, Save the Children mencatat bahwa dua juta anak di Pakistan masih mengalami kekurangan gizi akut setelah banjir melanda sepertiga wilayah negara itu tahun lalu. Di seluruh dunia, Save memperkirakan 774 juta anak atau sepertiga populasi anak global, hidup dengan dampak ganda yaitu kemiskinan dan risiko iklim yang tinggi. Dalam laporan yang dikeluarkan pekan lalu, Save the Children mengatakan bahwa lebih dari 17,6 juta anak akan dilahirkan dalam kondisi kelaparan tahun ini, atau seperlima dibandingkan satu dekade lalu. [my/jm]
Panas, Penyakit, Polusi Udara: Bagaimana Perubahan Iklim Berdampak pada Kesehatan
Meningkatnya seruan agar dunia menyadari berbagai dampak pemanasan global terhadap kesehatan manusia, mendorong dibahasnya isu ini pada hari pertama dalam konferensi perubahan iklim PBB yang dimulai pekan depan. Panas yang ekstrem, polusi udara, dan meningkatnya penyebaran penyakit menular yang mematikan, hanyalah beberapa alasan mengapa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut perubahan iklim sebagai ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia. Menurut WHO, pemanasan global harus dibatasi pada target Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat Celcius “untuk mencegah dampak buruk terhadap kesehatan dan mencegah jutaan kematian terkait perubahan iklim.” Namun, berdasarkan rencana pengurangan karbon nasional yang berlaku saat ini, pemanasan bumi akan mencapai 2,9 derajat Celsius pada abad ini, kata PBB pada pekan lalu. Meskipun tidak ada seorang pun yang dapat terhidar seluruhnya dari dampak perubahan iklim, para ahli memperkirakan, yang paling berisiko adalah anak-anak, perempuan, orang lanjut usia, migran, dan orang-orang di negara-negara kurang berkembang, yang sebenarnya paling sedikit menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Pada 3 Desember mendatang, KTT iklim COP28 di Dubai akan mengadakan “hari kesehatan,” yang pertama yang pernah diadakan pada perundingan iklim tersebut. Panas ekstrem Tahun ini diperkirakan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Seiring dengan pemanasan global yang terus berlanjut, gelombang panas yang lebih sering dan lebih parah diperkirakan akan terjadi. Cuaca panas diyakini menyebabkan lebih dari 70.000 kematian di Eropa dalam musim panas tahun lalu, menurut para pakar. Jumlah orang berusia di atas 65 tahun yang meninggal karena cuaca panas meningkat sebesar 85 persen dari tahun 1991-2000 ke tahun 2013-2022. Polusi udara Hampir 99% dari populasi dunia menghirup udara dengan kadar polusi yang melebihi batas WHO. Polusi udara di luar ruangan yang disebabkan oleh emisi bahan bakar fosil membunuh lebih dari empat juta orang setiap tahunnya, menurut WHO. Polusi juga meningkatkan risiko terkena penyakit pernapasan, stroke, penyakit jantungm kanker paru-paru, diabetes dan sejumlah masalah kesehatan lainnya. Polusi udara disebut memiliki risiko ancaman kesehatan yang setara dengan tembakau. Penyakit menular Perubahan iklim membuat nyamuk, burung, dan mamalia pindah dari habitat yang sebelumnya mereka tempati. Hal ini meningkatkan risiko bahwa mereka dapat menyebarkan penyakit menular seiring dengan perpindahan yang terjadi. Virus yang disebabkan oleh nyamuk yang dapat meluas akibat perubahan iklim mencakup demam berdarah, chikungunya, Zika, virus West Nile, dan malaria. Kemungkinan penularan demam berdarah sendiri meningkat sebesar 36 persen dengan kondisi bumi yang menghangat mendekati 2 derajat Celsius, ungkap laporan Lancet Countdown. Kesehatan mental Khawatir akan semakin menghangatnya planet bumi di masa kini dan masa depan juga telah memicu kecemasan, depresi dan bahkan stres pasca trauma — karena banyak orang yang telah menderita kondisi-kondisi tersebut ujar sejumlah psikolog. Dalam 10 bulan pertama tahun ini, orang-orang mencari istilah “kecemasan iklim” (climate anxiety) secara online 27 kali lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2017, menurut data Google Trends yang dikutip oleh BBC pada minggu lalu. [ps/lt/rs]
SpoGomi, Kejuaraan Dunia Kumpulkan Sampah
Puluhan aktivis lingkungan baru-baru ini berkompetsi dalam kejuaraan dunia mengumpulkan sampah di Jepang. Tim Inggris meraih kemenangan, mengalahkan tim tuan rumah.
Apakah AI akan Mencuri Pekerjaan Anda
Hampir seluruh pekerjaan di Amerika Serikat, dari sopir truk hingga penyedia jasa penitipan anak atau pengembang perangkat lunak, mensyaratkan keterampilan yang dapat dipenuhi, atau setidaknya dilengkapi, oleh kecerdasan buatan generatif (GenAI), menurut sebuah laporan belum lama ini. GenAI adalah kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan konten berkualitas tinggi berdasarkan data input yang digunakan untuk melatihnya. “AI kemungkinan besar akan menyentuh setiap bagian dari setiap pekerjaan yang ada hingga kadar tertentu,” kata Cory Stahle, ekonom Indeed.com yang menerbitkan laporan tersebut. Laporan itu menemukan bahwa 19,7% pekerjaan, seperti dalam bidang operasi teknologi informasi, matematika dan desain informasi, menghadapi risiko paling besar terkena dampak AI, karena setidaknya 80% keterampilan kerja yang dibutuhkan posisi-posisi tersebut dapat dilakukan dengan cukup baik oleh GenAI. Tapi itu bukan berarti pekerjaan-pekerjaan tersebut pada akhirnya akan diambil alih oleh robot. “Penting untuk menyadari bahwa, secara umum, teknologi ini tidak memengaruhi keseluruhan pekerjaan. Sebenarnya sangat jarang ada robot yang akan muncul, duduk di kursi seseorang dan melakukan segala sesuatu yang dilakukan seseorang dalam pekerjaannya,” kata Michael Chui dari McKinsey Global Institute (MGI), yang meneliti dampak teknologi dan inovasi terhadap bisnis, ekonomi dan masyarakat. Peneliti Indeed.com menganalisis lebih dari 55 juta lowongan pekerjaan dan menemukan bahwa GenAI dapat melakukan 50% hingga hampir 80% keterampilan yang dibutuhkan dalam 45,7% lowongan pekerjaan tersebut. Dari 34,6% pekerjaan yang terdaftar, GenAI mampu menangani kurang dari 50% keterampilan. Pekerjaan yang memerlukan keterampilan manual atau sentuhan pribadi, seperti perawat atau dokter hewan, adalah pekerjaan yang paling kecil kemungkinannya terkena dampak AI, kata laporan tersebut. Dulu, kemajuan teknologi hampir seluruhnya berdampak pada pekerjaan manual. Namun demikian, GenAI diperkirakan paling berdampak besar pada apa yang disebut sebagai pekerja pengetahuan, yang umumnya didefinisikan sebagai orang yang mencari nafkah dengan menciptakan pengetahuan atau pemikir. Namun, untuk saat ini, AI tampaknya belum siap mencuri pekerjaan siapa pun. “Hanya ada sedikit pekerjaan yang dapat dilakukan sepenuhnya oleh AI. Bahkan dalam pekerjaan di mana AI dapat melakukan banyak keterampilan, masih ada aspek pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh AI,” kata Stahle. Alih-alih menggeser tenaga keja, para peneliti memperkirakan GenAI akan meningkatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan para pekerja saat ini, sehingga membuatnya lebih efisien. “Ini adalah sesuatu yang, dalam banyak hal, kami yakini akan membuka potensi manusia dan produktivitas banyak pekerja di berbagai sektor perekonomian,” kata Stahle. “Ada beberapa skenario yang bisa terjadi,” tambah Chui. “Salah satunya, kita bisa melakukan lebih banyak hal yang sudah biasa kita kerjakan. Bayangkan jika Anda seorang dosen atau guru dan Anda bisa membiarkan mesin, bukan Anda, yang menilai hasil pekerjaan murid. Daripada memberi nilai, Anda bisa memanfaatkan waktu Anda untuk membimbing murid Anda, menghabiskan waktu lebih banyak dengan mereka, meningkatkan kinerja mereka, membantu mereka belajar.” Tenaga kerja di AS harus mulai menggunakan teknologi baru jika mereka ingin tetap memiliki daya saing, kata Chui. “Pekerja yang paling mampu menggunakan teknologi ini akan menjadi pekerja paling kompetitif di dunia kerja,” katanya. “Memang benar sejak dulu, tapi sekarang ini menjadi semakin relevan, bahwa kita semua harus menjadi pembelajar seumur hidup.” Survei yang dikembangkan oleh Chui menemukan bahwa hampir 80% pekerja telah bereksperimen dengan alat AI. “Salah satu kekuatan besar dari alat AI generatif ini, sejauh ini, mereka dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan siapa saja untuk menggunakan alat-alat ini,” kata Stahle. “Saya sangat percaya bahwa orang-orang harus memanfaatkan alat-alat ini dan menemukan cara untuk menggabungkannya ke dalam pekerjaan yang mereka minati.” Pada akhirnya, mungkinkah salah satu manfaat tak terduga dari AI adalah tenaga kerja yang lebih efisien dan bekerja secara lebih ringan? “Secara umum, orang Amerika banyak bekerja,” kata Chui. “Mungkin kita tidak harus bekerja selama itu. Mungkin kita bisa bekerja empat hari seminggu… sehingga Anda bisa mengembalikan waktu kepada para pekerja.” [rd/jm]
Perjanjian Plastik Sedunia Temui Jalan Buntu Jelang KTT Iklim PBB
Negosiasi terbaru untuk mencapai perjanjian plastik sedunia berakhir pada Minggu (19/11) malam tanpa adanya kesepakatan mengenai bagaimana cara perjanjian tersebut harus dilaksanakan dan rasa frustrasi kelompok-kelompok lingkungan atas berbagai penundaan dan minimnya kemajuan yang dibuat. Para perunding menghabiskan waktu satu minggu di markas besar Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) di Nairobi untuk tawar-menawar tentang rancangan perjanjian untuk mengatasi peningkatan masalah polusi plastik yang kini ditemukan di mana-mana, mulai dari dasar laut, puncak gunung, hingga darah manusia. Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya sejak 175 negara berjanji pada awal tahun lalu akan mempercepat perundingan, dengan harapan dapat menyelesaikan perjanjian tersebut pada tahun 2024. Pertemuan di Nairobi itu seharusnya menciptakan kemajuan, dengan penyempurnaan rancangan perjanjian dan memulai diskusi tentang tindakan nyata apa yang harus dilakukan untuk mengatasi polusi dari plastik, yang terbuat dari bahan bakar fosil. Akan tetapi, rincian perjanjian itu pada akhirnya tidak pernah benar-benar dibahas, karena sebagian kecil negara produsen minyak – khususnya Iran, Arab Saudi dan Rusia – dituduh melakukan taktik mengulur-ulur waktu seperti yang tampak dalam perundingan-perundingan sebelumnya, untuk menghambat kemajuan. “Tidak mengherankan, negara-negara tertentu menghalangi kemajuan di setiap periode, dengan menghalangi dan melakukan manuver prosedural,” kata Carroll Muffett dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional kepada AFP. Kurangnya kepemimpinan Dalam sejumlah pertemuan tertutup, begitu banyak proposal baru yang diajukan sehingga naskah perjanjian itu, bukannya direvisi dan disederhanakan, tetapi malah membengkak dalam seminggu, menurut para pengamat yang mengikuti perundingan itu. Graham Forbes dari Greenpeace mengatakan, pertemuan itu telah “gagal” mencapai tujuannya dan ia mendesak berbagai negara mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap negara-negara yang tidak beritikad baik dalam negosiasi pada masa depan. “Perjanjian yang sukses masih bisa dicapai, namun memerlukan tingkat kepemimpinan dan keberanian dari negara-negara besar dan ambisius yang belum pernah kita lihat sebelumnya,” kata Forbes kepada AFP. Kemarahan sempat ditujukan kepada UNEP, di mana kelompok aliansi masyarakat sipil GAIA menuduh sang tuan rumah mengawasi sebuah pertemuan “yang tidak disiplin dan berliku-liku” dan membiarkan sekelompok kecil pihak “menyandera” jalannya pertemuan. UNEP sendiri mengatakan bahwa kemajuan “yang substansial” telah dicapai oleh hampir 2.000 delegasi yang hadir. Dewan Asosiasi Kimia Internasional, kelompok industri utama bagi perusahaan-perusahaan petrokimia dan plastik global, mengatakan bahwa pertemuan tersebut telah memperbaiki sebuah rancangan perjanjian yang “tidak memuaskan” dan perselisihan antar pemerintah merupakan hal yang sangat penting dalam penyusunan perjanjian. “Kami (kini) memiliki dokumen – rancangan teks – yang lebih inklusif terhadap berbagai gagasan,” kata juru bicara Stewart Harris kepada AFP. Perundingan plastik itu digelar tepat sebelum digelarnya KTT Iklim PBB di Uni Emirat Arab – negara kaya minyak – pada akhir bulan ini, yang akan didominasi oleh perdebatan mengenai masa depan bahan bakar fosil. Permintaan global terhadap plastik telah menyebabkan tingkat produksi berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir pada tingkat saat ini, dan dapat meningkat jadi tiga kali lipat pada 2060 tanpa adanya tindakan, menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Sebanyak 90% plastik tidak didaur ulang, di mana sebagian besarnya dibuang ke alam sekitar atau dibakar secara tidak layak. Kelompok-kelompok lingkungan telah lama berpendapat bahwa tanpa pembatasan produksi plastik baru, perjanjian apa pun dampaknya akan lemah. [rd/lt]
Apple Terlibat Perang Pajak $14 Miliar dengan Uni Eropa
Apple mengalami kemunduran dalam perjuangannya melawan kewajiban pembayaran pajak sebesar US$14 miliar oleh Uni Eropa. Keputusan pengadilan Uni Eropa yang memenangkan Apple, dinilai memiliki kesalahan hukum dan harus ditinjau ulang. Hal ini disampaikan penasihat pengadilan tinggi Eropa pada hari Kamis (9/11). Komisi Eropa pada tahun 2016 menilai Apple – selama lebih dari dua dekade – telah mendapat keuntungan dari Undang-Undang di Irlandia, yang secara artifisial menurunkan beban pajak mereka. Namun tiga tahun lalu, Pengadilan Umum Uni Eropa menerima tuntutan dari perusahaan raksasa teknologi itu. Mereka berpendapat bahwa regulator belum memenuhi standar hukum untuk menunjukkan bahwa Apple menikmati keuntungan yang tidak adil. Berbicara di Pengadilan Uni Eropa (CJEU) di Luxembourg, tim kuasa hukum Jenderal Giovanni Pitruzzella tidak setuju dengan tuntutan Apple. Mereka mengatakan para hakim CJEU harus mengesampingkan keputusan pengadilan umum dan merujuk kasus tersebut kembali ke pengadilan yang lebih rendah. Kasus awal terkait pajak terhadap Apple ini, adalah bagian dari tindakan keras yang dipimpin oleh pemimpin antimonopoli Uni Eropa Margrethe Vestagher. Laporan ini mengkaji kesepakatan antara perusahaan multinasional dan negara-negara Uni Eropa yang dianggap tidak adil oleh regulator. Irlandia mengatakan, pihaknya tidak memberikan bantuan apa pun kepada Apple. CJEU akan mengambil keputusan dalam beberapa bulan mendatang. [ns/em]
Shell Gugat Greenpeace $2,1 Juta usai Menyusup ke Tanker Minyaknya
Shell menggugat Greenpeace sebesar $2,1 juta atau setara dengan Rp33 miliar, sebagai ganti rugi setelah aktivis kelompok lingkungan tersebut memaksa menaiki tanker BBM perusahaan itu saat transit di laut pada tahun ini. Hal tersebut berdasarkan penuturan Greenpeace dan sebuah dokumen yang dilihat oleh Reuters. Perusahaan minyak dan gas asal Inggris tersebut mengajukan tuntutan itu ke Pengadilan Tinggi London pada Januari lalu. Aktivis Greenpeace menaiki kapal tersebut di dekat Kepulauan Canary di lepas pantai Atlantik di Afrika utara pada Januari sebagai bagian dari aksi protes pengeboran minyak. Anggota Greenpeace turut ikut dengan kapal itu hingga ke Norwegia. Shell mengonfirmasi bahwa proses hukum sedang berlangsung, dalam emailnya kepada Reuters. Namun, mereka menolak berkomentar mengenai jumlah klaimnya. “Menaiki kapal yang bergerak di laut adalah tindakan yang “melanggar hukum dan sangat berbahaya,” kata juru bicara Shell. “Hak untuk melakukan protes adalah hal mendasar dan kami sangat menghormatinya. Namun, hal itu harus dilakukan dengan aman dan sesuai hukum,” kata juru bicara tersebut. Kapal tersebut bertujuan ke lapangan minyak dan gas Penguins di Laut Utara, yang belum berproduksi. Empat aktivis Greenpeace menggunakan tali untuk naik ke kapal, dari perahu karet yang mengejar kapal dengan kecepatan tinggi. Protes di laut terhadap infrastruktur minyak, gas atau pertambangan telah lama menjadi bagian dari operasi Greenpeace. Kerugian yang dituntut Shell mencakup biaya terkait penundaan pengiriman dan biaya keamanan tambahan, serta biaya hukum, menurut dokumen yang dilihat oleh Reuters. “Klaim tersebut merupakan salah satu ancaman hukum terbesar terhadap kemampuan jaringan Greenpeace untuk berkampanye dalam lebih dari 50 tahun sejarah organisasi tersebut,” kata Greenpeace dalam sebuah pernyataan. Kelompok tersebut mengatakan Shell menawarkan untuk mengurangi klaim kerusakannya menjadi $1,4 juta atau Rp21,9 miliar jika para aktivis Greenpeace tidak akan melakukan protes lagi terhadap infrastruktur minyak dan gas Shell di laut atau di pelabuhan. Greenpeace mengatakan mereka hanya akan melakukan hal tersebut jika Shell mematuhi perintah pengadilan Belanda pada 2021 yang memerintah korporasi untuk memangkas emisinya sebesar 45 persen pada 2030. Shell mengajukan banding atas putusan itu. Klaim ganti rugi tambahan sekitar $6,5 juta oleh salah satu kontraktor Shell, Fluor belum putus, menurut dokumen yang dilihat oleh Reuters. Fluor tidak segera menanggapi permintaan komentar. Shell dan Greenpeace mengadakan perundingan sejak kasus ini diajukan. Namun, perundingan tersebut berakhir pada awal November, kata Greenpeace. Mereka mengatakan sedang menunggu Shell untuk mengajukan dokumen lebih lanjut ke pengadilan. Greenpeace sebut mereka kemudian akan mempertimbangkan langkah selanjutnya, termasuk cara untuk menghentikan kasus ini agar tidak dilanjutkan. [ah/ft/hs]