Dunia kehilangan kawasan hutan hujan tropis tua seukuran Swiss pada tahun lalu, menyusul terus berlanjutnya aktivitas deforestasi di kawasan Amazon, Brazil, menurut studi pemantauan hutan, Selasa (27/6). Global Forest Watch, yang didukung oleh lembaga nirlaba World Resources Institute (WRI) dan menggunakan data hutan yang dikumpulkan oleh University of Maryland, mengungkapkan bahwa sekitar 41.000 km persegi hutan hujan tropis hilang pada 2022. Tahun 2022 adalah tahun terakhir pemerintahan Presiden Brazil Jair Bolsonaro, yang ternyata justru menyumbang lebih dari 40 persen dari semua angka deforestasi itu. Meskipun dunia sepakat untuk memangkas angka deforestasi menjadi nol pada 2030, tetapi kenyataannya laju kehilangan hutan tropis pada tahun lalu melebihi tingkat 2021. “Angka 2022 sangat mengecewakan,” kata Francis Seymour, seorang pejabat WRI. “Kami berharap sekarang untuk melihat sinyal dalam data (yang kami miliki) bahwa kami sedang membalikkan situasi dalam situasi deforetasi ini.” Global Forest Watch menghitung ‘hutan primer’, yang mencakup hutan dewasa yang belum dibuka atau ditanam kembali dalam sejarah belakangan ini. Hutan sejenis itu melindungi dunia dari perubahan iklim karena menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang massif. Kehilangan hutan tropis pada tahun lalu menyebabkan dunia harus melepaskan sekitar 2,7 gigaton karbon dioksida, setara dengan emisi bahan bakar fosil tahunan India, kata laporan itu. Indonesia dan Malaysia berhasil menjaga angka deforestasi hingga mendekati rekor terendah, melanjutkan rangkaian penurunan deforestasi selama bertahun-tahun yang didorong oleh perkebunan kelapa sawit. Kebijakan Indonesia yang ketat, seperti moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, membantu pencapaian tersebut. Negara-negara dengan area hutan yang luas lainnya kesulitan untuk mengikuti kemajuan yang dicapai Asia. Republik Demokratik Kongo dan Bolivia mengalami kehilangan hutan tropis terbesar setelah Brazil. Pertanian komoditas sebagian besar bertanggung jawab atas deforestasi di Bolivia, kata para pakar, karena pemerintah mendukung ekspansi agribisnis. Bolivia adalah satu dari sedikit negara yang tidak bergabung dengan janji nol deforestasi. Namun kesepakatan itu belum membuat perbedaan yang berarti. Analisis Global Forest Watch menemukan luas deforestasi pada 2022 lebih dari 10.000 km persegi melebihi apa yang diperlukan untuk menghentikannya pada 2030. “Kita berada jauh dari jalur dan mengarah ke arah yang salah,” kata Rod Taylor, Direktur Program Hutan Global WRI. Dunia kehilangan hutan 10 persen lebih sedikit pada 2022 dibandingkan 2021, karena lebih sedikit kebakaran besar yang terjadi di hutan boreal Rusia, meskipun negara tersebut masih kehilangan 43.000 km persegi hutan rapat pada tahun lalu. [ah/rs]
Category: Dunia
Akibat Kebakaran Hutan, Udara Montreal Tercatat Paling Tercemar di Dunia
Kebakaran hutan di Kanada menyebabkan kota Montreal diselimuti kabut asap pada hari Minggu. Hal ini menyebabkan beberapa pembatalan acara dan kota tersebut mendapat status “udara paling tercemar di dunia” berdasarkan indeks kualitas udara. IQAir dari Swiss yang mengukur tingkat kualitas udara mengatakan bahwa Montreal memiliki udara yang paling tercemar di dunia pada hari Senin pukul 6 pagi Greenwich Mean Time. Acara perlombaan triatlon Ironman di Montreal dibatalkan karena kualitas udara yang buruk. Pihak berwenang setempat mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas olah raga luar ruang dan kolam-kolam renang akan ditutup. Kanada sedang berjuang keras mengatasi lonjakan kebakaran hutan yang mengkhawatirkan. Jumlah kebakaran aktif sekarang ini mencapai 465, angka yang mengejutkan, kata Pusat Pemadam Kebakaran Hutan Antarlembaga Kanada. [uh/ab]
Malaysia akan Ambil Tindakan Hukum terhadap Meta Terkait Konten Berbahaya
Malaysia pada Jumat (23/6) mengatakan akan mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan induk Facebook, Meta Platforms, karena tidak menghapus posting-posting yang “tidak diinginkan” — tindakan terkuat yang diambil negara tersebut hingga saat ini terkait konten semacam itu. Pemilihan nasional tahun lalu yang diperebutkan dengan ketat telah menyebabkan peningkatan ketegangan etnis, dan sejak berkuasa pada bulan November, pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim telah berjanji untuk mengekang apa yang disebutnya posting provokatif yang menyentuh ras dan agama. Facebook baru-baru ini “dibanjiri” oleh sejumlah besar konten yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan ras, royalti, agama, pencemaran nama baik, peniruan identitas, perjudian online, dan iklan penipuan, kata Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia dalam sebuah pernyataannya. Komisi itu juga mengatakan Meta telah gagal mengambil tindakan yang memadai meskipun badan itu telah berulang kali memintanya, dan bahwa tindakan hukum diperlukan untuk mempromosikan akuntabilitas keamanan dunia maya dan untuk melindungi konsumen. Meta belum menanggapi permintaan komentar Reuters. Komisi itu juga tidak segera menanggapi permintaan komentar tentang tindakan hukum apa yang mungkin diambil. Ras dan agama adalah masalah pelik di Malaysia, yang mayoritas penduduknya etnis Melayu Muslim, di samping etnis Tionghoa dan etnis minoritas India. Komentar tentang keluarga bangsawan negara itu juga merupakan masalah sensitif dan komentar negatif terhadap mereka dapat diadili berdasarkan undang-undang penghasutan. Tindakan terhadap Facebook dilakukan hanya beberapa minggu menjelang pemilihan daerah di enam negara bagian yang diperkirakan akan menjadi ajang pertarungan antara koalisi multietnis Anwar dan Muslim Melayu yang konservatif. Facebook adalah platform media sosial terbesar di Malaysia dengan perkiraan 60% dari 33 juta penduduknya memiliki akun terdaftar. [ab/lt]
IMF, Bank Dunia Dapat Tekanan untuk Genjot Dana Perubahan Iklim
Para pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia bergabung dengan puluhan pemimpin ekonomi dunia lainnya dalam menghadiri pertemuan puncak selama dua hari di Paris. KTT itu bertujuan untuk mengatasi tantangan pengentasan kemiskinan dan perubahan iklim yang saling terkait. Pertemuan tersebut, yang diselenggarakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, dianggap sebagai kesempatan untuk memfokuskan kembali arsitektur keuangan global dalam mengatasi pembiayaan skala besar yang diperlukan untuk memenuhi target iklim dunia pada akhir dekade ini dengan lebih baik. KTT tersebut juga membawa fokus pada kebijakan perubahan iklim IMF dan Bank Dunia sendiri, di tengah seruan agar bank-bank pembangunan multilateral (MDB) berbuat lebih banyak untuk membantu ekonomi berkembang mengakses dana untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan menangani konsekuensinya. Dana Tak Mencukupi Baik IMF maupun Bank Dunia memperkenalkan kebijakan untuk membantu negara-negara menghadapi transisi iklim dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, IMF meluncurkan Kredit Ketahanan dan Keberlanjutan (RST), dengan dana yang tersedia lebih dari $40 miliar, untuk menawarkan pinjaman pembiayaan proyek yang terkait dengan masalah tersebut dalam tempo jangka panjang. Bangladesh, Barbados, Kosta Rika, dan Rwanda adalah negara pertama yang mendapat manfaat tersebut. Dan di Bank Dunia, mantan presiden David Malpass memuji gerakan di bawah pengawasannya untuk menggandakan pendanaan iklim menjadi $32 miliar dan menerapkan rencana aksi pemanasan global untuk periode 2021 hingga 2025. Penggantinya, Ajay Banga, menggunakan pidato pengukuhannya untuk meminta bank agar “mengejar adaptasi dan mitigasi iklim,” di antara isu-isu lainnya. “Perubahan adalah hal yang dibutuhkan oleh Bank Dunia,” kata Banga. “Itu bukan gejala kegagalan atau penyimpangan atau ketidakrelevanan, itu adalah gejala peluang, kehidupan, dan kepentingan.” Namun kedua lembaga tersebut mengakui bahwa kapasitas pembiayaan mereka saat ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi berkembang, yang diperkirakan IMF akan mencapai lebih dari satu triliun dolar per tahun pada 2025. Reformasi Kelembagaan Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan lainnya mendorong dilakukannya serangkaian reformasi ke dalam tubuh IMF dan Bank Dunia sejak akhir tahun lalu. Reformasi tersebut termasuk proposal untuk mereformasi tata kelola MDB untuk memastikan peran yang lebih besar bagi pasar negara berkembang dan negara berkembang utama, dan memperluas misi mereka untuk mengintegrasikan pembiayaan perubahan iklim. Tujuannya adalah untuk mencapai kemajuan dalam reformasi ini pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia berikutnya, yang berlangsung pada Oktober di Maroko. Tujuan utama Bank Dunia adalah untuk mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang dan pengentasan kemiskinan, sementara IMF berupaya untuk mempromosikan stabilitas makroekonomi dan keuangan global dengan memberikan bantuan keuangan dan teknis serta nasihat kebijakan. Beberapa negara berkembang telah menyuarakan keprihatinan bahwa reformasi ini dapat menyebabkan MDB memprioritaskan perubahan iklim daripada pengentasan kemiskinan. Terobosan paling signifikan sejauh ini terjadi pada pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia, ketika kesepakatan dicapai untuk meningkatkan kapasitas pinjaman Bank Dunia hingga $5 miliar per tahun selama 10 tahun. Namun, hal ini dicapai terutama dengan meningkatkan leverage bank, dan bukan melalui pemberian dana tambahan dari negara-negara anggota Bank Dunia. Lebih Banyak yang Harus Dilakukan Sekalipun proses reformasi berhasil, para pemimpin IMF dan Bank Dunia menekankan bahwa lembaga keuangan internasional tidak dapat dengan sendirinya memenuhi kebutuhan yang sangat besar dari negara-negara yang paling rentan. Banga memusatkan kampanyenya untuk kepresidenan Bank Dunia pada keterlibatan sektor swasta yang lebih besar dalam mendanai transisi iklim. “Tidak ada cukup uang tanpa sektor swasta,” mantan kepala eksekutif Mastercard mengatakan kepada wartawan pada bulan Maret, menambahkan bahwa Bank Dunia harus membuat sistem yang dapat membantu berbagi risiko atau memobilisasi dana swasta untuk mencapai tujuannya. Menjelang KTT, ada harapan bahwa kemajuan dapat dicapai pada janji dua tahun yang terhenti oleh negara-negara kaya untuk mendaur ulang $100 miliar hak penarikan khusus (SDR) IMF dari negara-negara kaya ke ekonomi yang rentan. SDR adalah aset cadangan devisa yang diberikan kepada negara-negara berdasarkan seberapa banyak mereka berkontribusi pada IMF. Rencana macet, yang ditentang oleh beberapa negara Eropa, adalah agar negara-negara kaya meminjamkan aset cadangan devisa ini ke IMF, yang pada gilirannya dapat meminjamkannya ke ekonomi berkembang. Menjelang KTT, Prancis dan Jepang mengumumkan bahwa mereka akan mengerahkan kembali 30 persen SDR mereka untuk tujuan ini. Laporan media menunjukkan bahwa KTT Paris dapat menghasilkan terobosan dalam janji dari negara lain, yang akan membantu mencapai target $100 miliar. [ah/rs]
PBB Adopsi Perjanjian Pertama untuk Lindungi Kehidupan Alam di Laut Lepas
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengadopsi perjanjian pertama untuk melindungi kehidupan laut di laut lepas pada hari Senin (19/6). Sekretaris Jenderal PBB menyebut perjanjian bersejarah itu memberi laut “kesempatan untuk berjuang.” Delegasi dari 193 negara anggota berdiri sambil memberikan tepuk tangan meriah ketika duta besar Singapura bidang kelautan, Rena Lee, yang memimpin negosiasi, mengetuk palunya setelah tak ada satu pun keberatan muncul terhadap persetujuan atas perjanjian itu. Perjanjian itu disusun untuk melindungi keanekaragaman hayati di perairan yang berada di luar batas negara, atau dikenal dengan sebutan laut lepas, yang mencakup hampir separuh permukaan Bumi. Perjanjian itu telah dibahas selama lebih dari 20 tahun karena upaya untuk mencapai persetujuan seringkali menemui jalan buntu. Akan tetapi, pada Maret lalu, para delegasi konferensi antarpemerintah yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada Desember 2017 akhirnya menyepakati sebuah perjanjian. Perjanjian baru itu berada di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang mulai berlaku pada tahun 1994, sebelum keanekaragaman hayati laut menjadi konsep yang mapan. Perjanjian itu akan dibuka untuk penandatanganan pada 20 September mendatang, selama pertemuan tahunan para pemimpin dunia di Majelis Umum, dan akan berlaku setelah diratifikasi oleh 60 negara. Melalui perjanjian itu, akan dibentuk sebuah badan baru yang akan mengelola konservasi kehidupan laut dan membentuk kawasan laut lindung di laut lepas. Kesepakatan itu juga akan menetapkan aturan dasar untuk melakukan penilaian dampak lingkungan untuk kegiatan komersial di lautan. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kepada para delegasi bahwa pengadopsian perjanjian itu dilakukan pada saat yang genting, ketika lautan tengah terancam di banyak aspek. Perubahan iklim mengganggu pola cuaca dan arus laut, menaikkan suhu laut, “dan mengubah ekosistem laut dan spesies yang hidup di sana,” katanya, dan keanekaragaman hayati laut “sedang diserang oleh penangkapan ikan berlebihan, eksploitasi berlebihan dan pengasaman laut.” “Lebih dari sepertiga pasokan ikan dipanen pada tingkat yang tidak berkelanjutan,” kata Guterres. “Dan kita mencemari perairan pesisir kita dengan bahan kimia, plastik dan kotoran manusia.” Guterres mengatakan, perjanjian itu penting untuk mengatasi ancaman-ancaman ini. Ia mendesak semua negara untuk segera menandatangani dan meratifikasi perjanjian itu, dengan menekankan bahwa “penting untuk mengatasi ancaman yang dihadapi lautan.” [rd/jm]
Sekjen PBB Pertimbangkan Pembentukan Badan Pengawas AI
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Senin (12/6) mengatakan, ia akan menunjuk badan penasihat ilmiah dalam beberapa hari ke depan, yang akan melibatkan pakar dari luar di bidang kecerdasan buatan (AI). Ia juga mengatakan dirinya terbuka pada gagasan untuk membentuk badan PBB baru yang akan fokus pada AI. “Saya akan mendukung gagasan bahwa kita dapat memiliki sebuah badan kecerdasan buatan, menurut saya, yang terinspirasi dari Badan Energi Atom Internasional saat ini,” kata Guterres, merujuk pada badan pengawas nuklir PBB. Ia mengatakan, ia tidak memiliki wewenang untuk membentuk lembaga seperti IAEA – itu bergantung pada keputusan ke-193 negara anggota PBB. Tapi ia mengatakan bahwa gagasan itu telah dibahas dan ia melihatnya sebagai perkembangan positif. “Apa keuntungan IAEA? ini adalah lembaga berbasis ilmu pengetahuan yang sangat solid,” kata Guterres kepada wartawan. “Pada saat yang sama, meskipun terbatas, lembaga ini memiliki beberapa fungsi regulasi. Untuk itu, saya percaya ini adalah sebuah contoh yang bisa sangat menarik.” IAEA, yang bermarkas di Wina, adalah pusat kerja sama nuklir internasional. Lembaga itu telah mengembangkan standar keamanan nuklir internasional serta menjadi pengawas sekaligus penasihat penggunaan energi nuklir secara damai. Ada kekhawatiran yang semakin besar tentang kekuatan kecerdasan buatan dan bagaimana teknologi itu dapat disalahgunakan untuk tujuan negatif dan bahkan mematikan. Keresahan itu bahkan juga disampaikan oleh Geoffrey Hinton, yang dijuluki ilmuwan sebagai “Bapak AI.” Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak pekan lalu mengumumkan rencana negaranya untuk menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi dunia tentang keamanan AI pada musim gugur mendatang. Terkait pengaturan AI, Guterres mengatakan, di tengah industri di mana segalanya bergerak dengan sangat cepat, suatu peraturan bisa dengan cepat tidak relevan lagi. Untuk itu, penting untuk menciptakan sesuatu yang lebih fleksibel untuk mengelolanya. “Kita membutuhkan proses – proses intervensi secara terus menerus dari berbagai kepentingan, bekerja sama untuk secara permanen menetapkan sejumlah mekanisme hukum yang lunak, seperti sejumlah norma, kode etik dan lain-lain,” ungkapnya. Guterres mengatakan, badan penasihat ilmiah yang akan segera dibentuknya juga akan melibatkan ilmuwan kepala dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU), yang merupakan badan khusus PBB terkait teknologi informasi dan telekomunikasi. Ia mengatakan, pakar dari luar, termasuk dua orang dari industri AI, akan dilibatkan dalam badan itu. Ia juga mengumumkan rencana pembuatan perjanjian digital, yang disebutnya akan menjadi “kode etik” sukarela, yang ia harap dapat dipatuhi perusahaan teknologi dan pemerintahan di dunia, dengan tujuan untuk menurunkan penyebaran misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian kepada miliaran orang dan membuat internet lebih aman. “Usulan itu dimaksudkan untuk menciptakan pagar pembatas yang dapat membantu berbagai pemerintahan menyatukan pedoman yang mendukung fakta, sambil mengungkap konspirasi dan kebohongan, serta menjaga kebebasan berekspresi dan informasi,” ungkapnya. “Dan untuk membantu perusahaan teknologi menavigasi masalah etika dan hukum yang sulit, serta membangun model bisnis berdasarkan ekosistem informasi yang sehat.” Ia mengatakan, perusahaan teknologi tidak berbuat banyak untuk mencegah platform mereka dijadikan wadah kebencian dan kekerasan. Ia juga mengkritik pemerintah karena mengabaikan hak asasi manusia dan terkadang mengambil tindakan drastis, seperti pemutusan akses internet. Guterres berharap dapat menerbitkan kode etik itu setelah membahasnya bersama negara-negara anggota, sebelum KTT Masa Depan PBB yang dijadwalkan pada September 2024. [rd/jm]
Jepang Alokasikan $107 Miliar untuk Kembangkan Energi Hidrogen untuk Pangkas Emisi Karbon
Pemerintah Jepang pada Selasa (6/6) mengadopsi revisi rencana negara untuk menggunakan lebih banyak hidrogen sebagai bahan bakar sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi karbon. Rencana tersebut menetapkan target yang ambisius untuk meningkatkan pasokan tahunan enam kali lipat tingkat saat ini menjadi 12 juta ton pada tahun 2040. Rencana tersebut juga menjanjikan 15 triliun yen ($107 miliar) dalam pendanaan dari sumber swasta dan publik untuk membangun rantai pasokan terkait hidrogen selama 15 tahun ke depan. Strategi dekarbonisasi Jepang berpusat pada penggunaan apa yang disebut energi batu bara bersih, hidrogen, dan nuklir untuk menjembatani transisinya ke energi terbarukan. Perang Rusia di Ukraina telah memperdalam kekhawatiran atas keamanan energi dan memperumit upaya itu, tetapi negara-negara Barat maju lainnya mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih cepat, seperti matahari, angin, dan panas bumi. Selama ini, Jepang mengandalkan hidrogen yang sebagian besar diproduksi menggunakan bahan bakar fosil. Beberapa ahli mengatakan strategi seperti komersialisasi penggunaan hidrogen dan amonia terutama melayani kepentingan bisnis besar dan industri besar yang banyak berinvestasi dalam teknologi berbasis bahan bakar fosil dan memiliki pengaruh atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Revisi rencana tersebut memprioritaskan sembilan bidang strategis, termasuk pengembangan peralatan elektrolisis air, baterai penyimpanan energi, dan kapal tanker ukuran besar untuk mengangkut hidrogen. “Hidrogen adalah sektor industri yang dapat mewujudkan tiga hal dalam satu kesempatan, yakni dekarbonisasi, pasokan energi yang stabil, dan pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno pada rapat kabinet Selasa. “Kami akan promosikan (hidrogen) secara besar-besaran, baik permintaan maupun pasokan.” Para pemimpin Jepang mengatakan mereka ingin mengubah negara itu menjadi “masyarakat hidrogen”, tetapi industri hidrogen masih dalam tahap awal. Pemerintah masih menyusun undang-undang untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang diperlukan dan rantai pasokan untuk penggunaan komersial hidrogen murni dan amonia, sumber hidrogen lainnya. [ab/uh]
Ahli Meteorologi Argentina akan Pimpin Badan Cuaca PBB
Badan cuaca PBB, Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), memilih ahli meteorologi Argentina Celeste Saulo hari Kamis (1/6) untuk menjadi sekretaris jenderal perempuan pertama di badan tersebut, efektif pada Januari 2024. Dalam sebuah pernyataan, WMO mengatakan Saulo dipilih oleh 193 anggota organisasi itu sebagai bagian dari Kongres Meteorologi Dunia yang diadakan di PBB di Jenewa. Dalam pernyataan WMO, Saulo mengatakan ketidaksetaraan dan perubahan iklim adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi dunia, dan bahwa “WMO harus berkontribusi untuk memperkuat layanan meteorologi dan hidrologi untuk melindungi populasi dan ekonomi mereka, menyediakan layanan yang tepat waktu dan efektif serta sistem peringatan dini.” Ia mengatakan, “Ambisi saya adalah untuk memimpin WMO menuju skenario di mana suara semua anggota didengar secara setara, memprioritaskan mereka yang paling rentan dan di mana tindakan yang dilakukan selaras dengan kebutuhan dan kekhususan masing-masing.” Saulo telah menjadi direktur Badan Meteorologi Nasional Argentina sejak 2014 dan saat ini menjadi wakil presiden pertama WMO. Ia akan menggantikan Sekretaris Jenderal Petteri Taalas dari Finlandia, yang akan menyelesaikan masa jabatan dua tahunnya pada akhir tahun ini. [lt/ka]
Misi Shenzhou-16 China Lepas Landas Menuju Stasiun Luar Angkasa
China mengirim tiga astronautnya ke stasiun luar angkasa Tiangong miliknya pada Selasa (30/5), di mana salah satu di antaranya adalah ilmuwan sipil pertama yang dikirim Beijing ke antariksa, di tengah rencana China untuk mengirim misi berawak ke Bulan pada akhir dekade ini. Ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah menginvestasikan anggaran senilai miliaran dolar untuk program luar angkasanya yang dioperasikan oleh militer, dalam upaya untuk mengejar ketertinggalan dari Amerika Serikat dan Rusia. Awak Shenzhou-16 lepas landas dengan menumpangi roket Long March 2F dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan di barat laut China pada pukul 9:31 pagi waktu setempat, seperti ditunjukkan wartawan AFP dan stasiun TV milik pemerintah China. Komandan Jing Haipeng memimpin misi tersebut dalam perjalanan antariksanya yang keempat. Dua astronaut lainnya yaitu teknisi Zhu Yangzhu dan dosen Universitas Beihang, Gui Haichao, yang menjadi warga sipil China pertama yang terbang ke luar angkasa. Stasiun Luar Angkasa Tiangong adalah mahkota program antariksa China, yang sebelumnya telah mendaratkan robot penjelajah di planet Mars dan Bulan, serta menjadikannya negara ketiga yang menempatkan manusia di orbit Bumi. Pembangunan Tiangong sendiri disebut telah rampung November lalu ketika bagian ketiganya ditambahkan. China membangun stasiun luar angkasa sendiri setelah dikeluarkan dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) – sebagian besarnya karena AS keberatan atas kedekatan hubungan program antariksa China dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Misi Shenzou-16 adalah misi pertama Tiangong semenjak stasiun luar angkasa itu memasuki tahap “penerapan dan pengembangan”, kata Beijing. Begitu tiba di orbit, Shenzhou-16 akan berlabuh di modul inti Tianhe dari Tiangong, sebelum para awak bertemu dengan tiga koleganya yang lain dari penerbangan misi berawak Shenzhou-15, yang sudah berada di Tiangong selama enam bulan dan akan kembali ke Bumi dalam beberapa hari ke depan. Misi tersebut akan “melakukan eksperimen berskala besar di orbit… dalam penelitian fenomena kuantum baru, sistem frekuensi ruang waktu presisi tinggi, verifikasi relativitas umum, dan asal usul kehidupan,” kata juru bicara CMSA Lin Xiqiang kepada wartawan pada Senin (29/5). Stasiun antariksa itu telah dipasok kembali dengan persediaan air minum, pakaian, makanan dan propelan bulan ini menjelang kedatangan awak misi Shenzhou-16. Astronom dan astrofisikawan Pusat Astrofisika Harvard-Smithsonian Jonathan McDowell mengatakan kepada AFP, penerbangan itu merupakan “penerbangan rotasi awak rutin, di mana awak yang satu menyerahkan ke awak yang lain.” Akan tetapi, itu pun signifikan. “Mengumpulkan kedalaman pengalaman dalam operasi penerbangan luar angkasa berawak itu penting dan memang tidak selalu melibatkan pencapaian baru yang spektakular,” ungkapnya. [rd/ah]
Studi: Pasokan Energi dan Air Asia Terancam akibat Krisis Iklim
Dampak yang disebabkan oleh krisis iklim terhadap sistem pengairan Hindu Kush-Himalaya menimbulkan risiko bagi pembangunan ekonomi dan keamanan energi terhadap 16 negara di Asia, demikian ungkap para peneliti pada Rabu (24/5). Mereka menyerukan aksi nyata bersama untuk melindungi sistem air tersebut. Cekungan dari 10 sungai besar yang mengalir dari menara air Hindu Kush-Himalaya adalah rumah bagi 1,9 triliun orang dan menghasilkan $4,3 triliun dalam PDB tahunan. Dampak perubahan iklim seperti pencairan gletser dan cuaca ekstrem sudah menimbulkan “ancaman serius”, kata lembaga kajian China Water Risk. Para peneliti memperingatkan bahwa seluruh sungai akan menghadapi “risiko (volume) air yang meningkat dan bertambah … jika kita tidak dapat mengendalikan emisi,” dan bahwa pembangunan lebih lanjut dari infrastruktur energi yang bergantung pada air justru memperparah masalah. Ke-10 sungai itu termasuk Gangga dan Brahmaputra yang mengalir ke India dan Bangladesh, Sungai Yangtze dan Kuning di China, serta sungai yang melintasi sejumlah negara seperti Mekong dan Salween. Sungai-sungai tersebut menopang hampir tiga perempat pembangkit listrik tenaga air dan 44 persen pembangkit listrik tenaga batu bara di 16 negara, termasuk Afghanistan, Nepal, dan Asia Tenggara. Kapasitas listrik sebesar 865 gigawatt (GW) di sepanjang 10 sungai dianggap rentan terhadap risiko iklim, yang sebagian besar bergantung pada air. Lebih dari 300 GW – cukup untuk menggerakkan Jepang – terletak di daerah yang menghadapi risiko air “tinggi” atau “sangat tinggi”, tambah para peneliti. Cekungan Sungai Yangtze di China, yang menyokong sekitar sepertiga dari populasi negara itu dan sekitar 15 persen dari kapasitas listriknya, mengalami rekor kekeringan panjang tahun lalu. Anjloknya tenaga air dari sungai tersebut yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga Air (PLTA) turut mengganggu rantai pasokan global. Sejak kekeringan, pemerintah menyetujui belasan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru untuk mengatasi gangguan PLTA di masa depan. Namun, pembangkit tersebut juga membutuhkan air dan lonjakan kapasitas di China dan India dapat semakin memperparah kekurangan. Saat risiko iklim meningkat, negara-negara tersebut berada di bawah tekanan untuk menyusun kebijakan yang memastikan “kesesuaian” keamanan energi dan air, catat para peneliti. “Karena pilihan daya dapat memengaruhi air dan kekurangan air dapat merusak aset daya, keamanan air harus menentukan keamanan energi,” kata para peneliti. [ah/rs]