Mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern akan bekerja bersama para pemimpin dari kelompok lingkungan Conservation International (CI) untuk mengadvokasi aksi iklim dan perlakuan yang lebih baik terhadap lingkungan, kata kelompok itu pada hari Senin (6/11) CI mengatakan Ardern telah menjadi Arnhold Distinguished Fellow yang keenam dan akan menjalani masa jabatan dua tahun untuk melakukan advokasi secara internasional, terutama mengenai isu-isu yang memengaruhi Pasifik dan Antartika. Kelompok itu mengatakan bahwa peran tersebut dianggap paruh waktu dan disertai dengan gaji. Ini adalah salah satu peran baru yang diumumkan Ardern sejak ia tiba-tiba mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada bulan Januari. Ia juga menyelesaikan dua program beasiswa di Harvard Kennedy School, sekolah ilmu pemerintahan bergengsi di AS dan menulis buku tentang kepemimpinan. “Sejak awal saya menjabat di Parlemen Selandia Baru, saya telah mengadvokasi aksi iklim global,” kata Ardern dalam sebuah pernyataan. “Semangat dan rasa urgensi saya terhadap masalah ini semakin meningkat dalam 15 tahun terakhir, terutama ketika saya menyaksikan langsung dampak perubahan iklim di wilayah kita.” Pemerintahan Ardern bergabung dengan negara-negara lain pada tahun 2020 dengan mendeklarasikan darurat iklim secara simbolis. Meskipun deklarasi tersebut dibuat tanpa adanya kewenangan atau dana undang-undang baru, ia mengatakan pada saat itu bahwa deklarasi tersebut mengakui beban yang dihadapi generasi berikutnya. Ardern juga melarang eksplorasi baru minyak dan gas lepas pantai serta kantong belanja plastik. CEO Conservation International M. Sanjayan mengatakan penunjukan Ardern merupakan kemenangan bagi seluruh gerakan konservasi dan iklim, dan menambahkan bahwa ia “telah menjadi teladan kepemimpinan, empati, dan tekad yang diperlukan untuk memberikan solusi lingkungan dan iklim yang penting.” [ab/uh]
Category: Dunia
AS Dorong Perlindungan Global terhadap Ancaman Teknologi AI
Wakil Presiden AS Kamala Harris mengatakan para pemimpin dunia memiliki “kewajiban moral, etika dan sosial” untuk melindungi umat manusia dari bahaya yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Ia mendorong disusunnya peta jalan global saat menghadiri konferensi tingkat tinggi AI di London. Para pengamat setuju dan mengatakan bahwa satu elemen yang harus tetap ada adalah pengawasan manusia. Teknologi kecerdasan buatan (AI) memang keren. Orang-orang mengunggah banyak data ke dalam mesin yang bisa melakukan kalkulasi secara lebih cepat dan punya ingatan lebih tajam dari manusia itu. Ada yang untuk membuat karya seni, melacak perenang yang tenggelam, menyelamatkan nyawa melalui diagnosis medis yang lebih baik, hingga menciptakan bunyi-bunyian aneh. Akan tetapi, seperti alat lain, pemanfaatan AI juga bergantung pada niat penggunanya. Ada yang menggunakan AI untuk menipu, memberikan informasi keliru hingga menyakiti orang lain. Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden menandatangani sebuah perintah eksekutif untuk membuat standar baru, termasuk mewajibkan pengembang AI besar untuk melaporkan hasil uji keamanan mereka dan informasi penting lainnya kepada pemerintah AS. Sementara di London, setelah menghadiri KTT Keamanan AI hari Rabu (1/11), Wakil Presiden AS Kamala Harris juga mengumumkan pendirian Institut Keamanan AI milik pemerintah AS, serta menerbitkan rancangan panduan kebijakan penggunaan AI oleh pemerintah dan deklarasi penerapannya secara bertanggung jawab di bidang militer. “Untuk menghadirkan ketertiban dan stabilitas di tengah perubahan teknologi global, saya sangat yakin bahwa kita harus berpedoman pada seperangkat pemahaman bersama antarnegara. Itu sebabnya Amerika Serikat akan terus bekerja sama dengan para sekutu dan mitra kami untuk menerapkan aturan dan norma internasional yang ada terhadap AI, serta berupaya menciptakan aturan dan norma yang baru.” Anggota Kongres AS mengadakan sidang dengar pendapat mengenai isu tersebut awal tahun ini, di mana para pemimpin industri seperti CEO OpenAI Sam Altman menyampaikan kekhawatirannya. “Ketakutan terbesar saya adalah kami – bidang ini, teknologi ini, industri ini –menimbulkan bahaya yang besar terhadap dunia. Saya rasa hal itu bisa terjadi dengan berbagai cara,” tukasnya. Di KTT London, pengusaha sekaligus miliarder Elon Musk yang sedang mengembangkan program AI generatifnya sendiri mengatakan bahwa ia memandang AI sebagai “salah satu ancaman terbesar” bagi masyarakat. Ia menyerukan adanya “wasit pihak ketiga.” “Sampailah kita di sini, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, dengan sesuatu yang akan jauh lebih cerdas dari diri kita. Tidak jelas bagi saya apakah kita benar-benar bisa mengendalikannya. Tapi saya rasa kita bisa bercita-cita membimbingnya ke arah yang dapat menguntungkan umat manusia. Tapi saya sungguh beranggapan bahwa ini adalah salah satu risiko eksistensial yang kita hadapi saat ini dan berpotensi menjadi risiko yang paling mendesak,” ujar Musk. Para pengamat mengatakan, pejabat pemerintah dan industri teknologi tidak memerlukan solusi yang universal, melainkan penyelarasan nilai-nilai dan, yang terpenting, pengawasan manusia. Jessica Brandt adalah direktur kebijakan Inisiatif AI dan Teknologi Berkembang di Brookings Institution, “Tidak apa-apa untuk menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda, dan kemudian, jika memungkinkan, berkoordinasi untuk memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi mengakar dalam sistem yang mengatur teknologi secara global.” Namun pada akhirnya, sifat manusia menjadi kekuatan sekaligus kelemahan AI, di mana – setidaknya sejauh ini – keberadaan AI tampak dibatasi oleh sifat manusia yang meluap-luap dan mampu melakukan kebaikan sekaligus kejahatan. [rd/ka]
PBB: Krisis Iklim Timbulkan Krisis Kesehatan Global
Perubahan iklim mengancam kemajuan yang telah dicapai dalam puluhan tahun dalam upaya menuju kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik, terutama terhadap komunitas yang paling rentan, ungkap laporan baru badan cuaca PBB. Dalam laporan tahunan State of Climate Services, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), pada Kamis (2/11), memperingatkan bahwa krisis iklim menyebabkan krisis kesehatan global dan banyak dari dampak buruk perubahan iklim dapat diperkecil dengan sejumlah tindakan adaptasi dan pencegahan. WMO menambahkan, perubahan iklim menyebabkan suhu dunia naik lebih cepat dibandingkan periode mana pun dalam sejarah. “Tidak ada lagi jalan untuk kembali ke masa iklim yang lebih sejuk satu abad yang lalu. Sebenarnya, kita bergerak menuju iklim yang lebih hangat untuk beberapa dekade mendatang,” ujar Petteri Taalas, sekretaris jenderal WMO. “Jika kita tidak berhasil menghentikan tren negatif ini” dengan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 atau 2 derajat Celsius, “kita akan melihat situasinya semakin memburuk,” tambahnya. Laporan itu mendapati bahwa negara-negara di Afrika dan Asia Selatan paling berisiko terkena perubahan iklim. Menurut laporan itu, perubahan iklim memicu penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti demam berdarah dan malaria, bahkan di tempat-tempat yang belum pernah mengalaminya. WMO melaporkan panas ekstrem menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan peristiwa cuaca ekstrem lainnya. WMO memperkirakan, suhu tinggi menewaskan sekitar 489.000 orang per tahun sejak 2000 hingga 2019. Sekitar 45% kematian tersebut terjadi di Asia dan 36% di Eropa. Laporan itu mencatat bahwa gelombang panas juga memperburuk polusi udara, “yang telah menyebabkan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahunnya dan merupakan pembunuh terbesar keempat berdasarkan faktor risiko kesehatan.” “Ada tantangan besar yang dihadapi komunitas kesehatan untuk mengatasi perubahan iklim,” kata kepala Kantor Gabungan WHO/WMO untuk Iklim dan Kesehatan, Joy Shumake-Guillemot. Dia mengatakan laporan itu berfokus pada kekuatan dan peluang penggunaan ilmu pengetahuan dan layanan iklim untuk memberi informasi yang lebih baik dalam kebijakan nasional. Namun, meskipun 74% dari layanan meteorologi nasional menyediakan data ke sistem kesehatan di negara-negara di seluruh dunia, “hanya sekitar 23% kementerian kesehatan yang benar-benar menggunakan informasi ini secara sistematis dalam sistem pemantauan kesehatan untuk melacak penyakit-penyakit yang kita ketahui dipengaruhi iklim,” katanya. Ia menambahkan bahwa layanan iklim harus dikembangkan lebih lanjut untuk mengatasi kesenjangan ini. [ka/lt]
China Tanam Pohon di Dalam Negeri, Tebang Pohon di Luar Negeri
Sebuah laporan baru menuduh sebuah perusahaan China melakukan deforestasi ilegal di Kongo, namun terdapat perdebatan mengenai negara mana yang harus bertanggung jawab. Selama periode enam bulan tahun lalu, perusahaan bernama Congo King Baisheng Forestry Development (CKBFD) mengekspor sekitar 30 juta kilogram kayu keras senilai $5 juta (hampir Rp80 miliar) yang ditebang secara ilegal ke konglomerat kayu Wan Peng melalui Pelabuhan Zhangjigang. Demikian menurut temuan pengawas lingkungan Global Witness dalam laporannya. Kementerian Lingkungan Hidup Kongo tidak menanggapi pertanyaan mengenai temuan tersebut, sementara Kedutaan Besar China di Washington DC menekankan bahwa China “sangat mementingkan perlindungan lingkungan.” Kedutaan menolak mengomentari kasus yang dimaksud. “Namun perlu disampaikan bahwa pemerintah China selalu menginstruksikan perusahaan-perusahaan China di luar negeri untuk mematuhi hukum dan peraturan setempat. Itu adalah sikap konsisten kami,” kata juru bicara kedutaan melalui email kepada VOA. Meski demikian, laporan Global Witness tersebut memperjelas bahwa meskipun di atas kertas ada undang-undang yang melarang konsesi penebangan kayu di Kongo, undang-undang tersebut sering kali diabaikan. Sejak tahun 2002 pemerintah Kongo telah memberlakukan moratorium terhadap penebangan hutan baru di Kongo karena adanya korupsi di sektor itu, kata Global Witness. “Walaupun demikian, sebagian besar hutan masih terus dialokasikan kepada para penebang, melanggar hukum negara itu sendiri.” Laporan tersebut juga menunjukkan fakta bahwa pada bulan April 2022 pemerintah Kongo menangguhkan lima perjanjian konsesi yang telah diberikan kepada CKBFD, namun penebangan terus berlanjut di sedikitnya dua area konsesi tersebut. Semenjak penangguhan itu, dari bulan Juni hingga Desember, perusahaan tersebut menghasilkan $5 juta dalam bentuk kayu ekspor, katanya. “Pemerintah China selalu mengimbau perusahaan-perusahaannya untuk mematuhi hukum, namun kenyataannya, hukum tidak selalu dipatuhi, terutama di negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah. Di negara-negara seperti Kongo, undang-undang seringkali bisa dinegosiasikan dengan suap,” kata Yun Sun, direktur program China di Stimson Center, kepada VOA. [lt/rd]
Perumusan Mekanisme Dana ‘Ganti Rugi’ Perubahan Iklim Masih Macet
Negara-negara temui jalan buntu saat merundingkan perumusan mekanisme pendanaan untuk membantu negara-negara pulih dan bangkit dari kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Kebuntuan itu terjadi sekitar sebulan menjelang KTT Iklim PBB di Dubai. Dua lusinan negara yang tergabung dalam sebuah komite yang ditugaskan untuk merancang dana “ganti rugi dan kerusakan” mengakhiri pertemuan mereka Sabtu (21/10) lalu di Aswan, Mesir, dengan perselisihan di antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju mengenai sejumlah pertanyaan kunci: entitas mana yang sebaiknya mengawasi dana tersebut, siapa yang dibebani tanggung jawab untuk membayar, dan negara mana saja yang memenuhi syarat untuk menerima pendanaan. Komite itu diharapkan dapat mengajukan serangkaian rekomendasi untuk menerapkan rencana pendanaan yang telah disepakati tahun lalu, dalam sebuah terobosan pada COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pendanaan itu akan menjadi dana PBB pertama yang khusus didedikasikan untuk mengatasi kerusakan permanen yang diakibatkan oleh peristiwa iklim, seperti kekeringan, banjir dan kenaikan permukaan air laut. Alih-alih menghasilkan rekomendasi, komite itu sepakat akan bertemu sekali lagi di Abu Dhabi pada 3 November, sebelum COP28 dimulai di Dubai pada 30 November, untuk menjembatani perpecahan yang dapat memengaruhi suasana negosiasi iklim pada KTT mendatang. “Seluruh negosiasi COP28 bisa gagal kalau prioritas negara-negara berkembang dalam pendanaan ganti rugi dan kerusakan tidak ditangani dengan baik,” kata Preety Bhandari, penasihat keuangan senior World Resources Institute. Salah satu masalah yang paling diperdebatkan dalam pertemuan pekan lalu adalah apakah sebaiknya Bank Dunia yang mengelola dana tersebut, seperti diusulkan AS dan negara-negara maju lain, atau justru PBB membentuk lembaga baru untuk mengelolanya, seperti keinginan negara-negara berkembang. Apabila dana itu dikelola Bank Dunia, yang presidennya ditunjuk oleh AS, maka negara pendonor akan memiliki pengaruh yang sangat besar atas dana tersebut dan bisa berujung pada tingginya biaya yang akan ditanggung oleh negara-negara penerima dana, kata negara-negara berkembang. Menanggapi kritikan itu, juru bicara Bank Dunia mengatakan kepada Reuters: “Kami mendukung prosesnya dan berkomitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara begitu mereka menyepakati cara untuk membangun dana ganti rugi dan kerusakan.” AS, Uni Eropa dan lainnya menginginkan dana yang lebih terarah. Uni Eropa ingin agar dana itu didedikasikan kepada yang paling “rentan”, sementara AS ingin dana itu fokus pada bidang-bidang yang terkena dampak iklim yang lambat, seperti kenaikan tinggi permukaan air laut. Negara-negara dalam komite itu juga terbelah soal siapa yang harus membayar ganti rugi tersebut. Brandon Wu, direktur kebijakan dan kampanye di NGO ActionAid USA meminta AS berhenti memaksa agar dana itu dikelola Bank Dunia. Perunding AS Christina Chan, yang merupakan penasihat senior Utusan Khusus bidang Iklim John Kerry, menolak kritik yang menyebut AS menghambat kemajuan dana ganti rugi dan kerusakan. “Kami telah bekerja dengan tekun di setiap kesempatan untuk mengatasi kekhawatiran, memecahkan masalah dan menemukan kesepahaman,” ungkapnya. [rd/jm]
India Gelar Uji Coba untuk Misi Orbital Berawak
India pada Sabtu (21/10) berhasil meluncurkan uji coba tak berawak pertama, bagian dari dari misi orbit berawak yang akan dilakukan pada masa datang. Uji coba tersebut merupakan tonggak sejarah terbaru terkait ambisi penjelajahan luar angkasanya. Misi Gaganyaan (“Skycraft”) dijadwalkan untuk mengirim tiga astronaut ke orbit Bumi pada 2025, yang merupakan tolak ukur penting dari kemampuan teknis Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (Indian Space Research Organisation/ISRO). Roket yang diluncurkan tersebut menguji sistem pelarian darurat modul awaknya, yang terpisah dari pendorongnya dan melakukan pendaratan lunak di laut sekitar 10 menit setelah peluncuran. “Saya sangat senang mengumumkan keberhasilan pencapaian misi ini,” kata Kepala ISRO S. Somanath. Peluncuran ditunda selama dua jam karena cuaca buruk dan insiden kerusakan mesin. ISRO akan melakukan serangkaian 20 tes besar, termasuk membawa robot ke antariksa, sebelum misi berawak terakhir dilakukan pada 2025. Gaganyaan adalah misi pertama India dan diperkirakan menelan biaya sebesar $1,08 miliar, menurut ISRO. India berencana mengirim astronaut ke luar jangkauan atmosfer Bumi selama tiga hari sebelum mereka dibawa kembali dengan selamat melalui pendaratan lunak di perairan teritorial India. Perdana Menteri Narendra Modi telah mengumumkan rencana untuk mengirim manusia ke Bulan pada 2040 setelah keberhasilan program luar angkasa India. Pada Agustus, India menjadi negara keempat yang berhasil mendaratkan pesawat tak berawak di Bulan setelah Rusia, Amerika Serikat, dan China. Bulan berikutnya, India meluncurkan studi ke luar angkasa untuk mengamati lapisan terluar Matahari dari orbit matahari. Program luar angkasa India telah berkembang pesat, baik dalam hal skala dan momentum sejak pertama kali mengirimkan wahana antariksa untuk mengorbit Bulan pada 2008. Program ini terus menyamai pencapaian negara-negara penjelajah luar angkasa yang sudah mapan dengan biaya yang jauh lebih murah. India juga merencanakan misi bersama dengan Jepang untuk mengirim wahana antariksa lainnya ke Bulan pada 2025 dan misi orbit ke Venus dalam dua tahun ke depan. [ah/ft]
Studi: Asupan Kaya Lemak Bantu Karang Bertahan dari Pemanasan Air
Sebuah tim ilmuwan Australia menerapkan pola makan baru yang tinggi lemak pada karang, dengan harapan strategi ini akan membangun ketahanan terhadap pemanasan global.
UNICEF: Jutaan Anak Mengungsi Akibat Cuaca Ekstrem
Rata-rata sekitar 20.000 anak terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap hari antara 2016 dan 2021 karena terdampak badai, banjir, kebakaran dan cuaca ekstrem lain yang diperburuk oleh perubahan iklim, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan, sebuah perkiraan yang hanya memperhitungkan risiko dari sungai yang banjir, angin topan dan banjir akibat badai menyebutkan bahwa lebih dari 113 juta anak harus mengungsi dalam tiga dekade ke depan, kata laporan UNICEF yang dirilis pada Jumat (6/10). Penderitaan akibat bencana yang berkepanjangan seperti kekeringan seringkali tidak dilaporkan. Anak-anak harus mengungsi setidaknya 1,3 juta kali akibat kekeringan selama tahun-tahun yang diulas dalam laporan tersebut – lebih dari separuhnya di Somalia. Jumlah itu pun kemungkinan besar masih di bawah jumlah sebenarnya, kata laporan tersebut. Berbeda dengan banjir atau badai, tidak ada evakuasi preventif selama musim kemarau. Di seluruh dunia, perubahan iklim telah menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Kenaikan permukaan laut menggerogoti garis pantai; badai menerjang kota-kota besar; sementara kekeringan memperburuk konflik. Namun, meski bencana semakin parah, dunia belum mengakui keberadaan migran akibat dampak iklim dan belum menemukan cara untuk melindungi mereka. Sekitar 43 juta dari 134 juta orang yang mengungsi akibat cuaca ekstrem dari tahun 2016-2021 adalah anak-anak. Hampir separuhnya terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat badai. Dari jumlah tersebut, hampir 40 persen terjadi di Filipina. Banjir membuat anak-anak mengungsi lebih dari 19 juta kali di tempat-tempat seperti India dan China. Kebakaran hutan menyebabkan 810.000 anak mengungsi di AS dan Kanada. Pelacakan data migrasi akibat cuaca ekstrem biasanya tidak membedakan anak-anak dan orang dewasa. UNICEF bekerja sama dengan lembaga nirlaba asal Jenewa, International Displacement Monitoring Center, untuk memetakan daerah-daerah yang paling berdampak pada anak-anak. Filipina, India dan China merupakan negara dengan jumlah pengungsi anak terbanyak akibat bencana iklim, yaitu hampir setengahnya. Negara-negara itu juga memiliki populasi yang besar dan sistem yang kuat untuk mengevakuasi orang, sehingga memudahkan mereka mencatat data. Namun, rata-rata anak-anak yang tinggal di Tanduk Afrika atau di pulau kecil di Karibia lebih rentan. Banyak di antara mereka yang mengalami “krisis yang tumpang tindih” – di mana risiko akibat iklim yang ekstrem diperburuk oleh konflik, lemahnya institusi pemerintahan dan kemiskinan. Meninggalkan rumah membuat anak-anak menghadapi risiko tambahan. Selama banjir Sungai Yamuna yang belum pernah terjadi sebelumnya Juli lalu di Ibu kota India New Delhi, air yang bergejolak menghanyutkan gubuk yang menjadi rumah bagi keluarga Garima Kumar yang berusia 10 tahun. Air menghanyutkan seragam sekolah dan buku-buku pelajarannya. Kumar terpaksa tinggal bersama keluarganya di trotoar kota metropolitan dan tidak masuk sekolah selama sebulan. Banyak anak di Vietnam, juga negara lain seperti India dan Bangladesh, akan terpaksa mengungsi di masa depan. Pembuat kebijakan dan sektor swasta harus memastikan bahwa perencanaan iklim dan energi memperhitungkan risiko anak-anak terhadap cuaca ekstrem, kata laporan UNICEF. Dalam memperkirakan risiko di masa depan, laporan itu tidak memasukkan kebakaran, kekeringan maupun potensi langkah mitigasi yang akan diambil. Laporan itu mengatakan, layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan harus “responsif terhadap guncangan, mudah dipindah dan bersifat inklusif,” untuk membantu anak-anak dan keluarga mereka menghadapi bencara dengan lebih baik. [rd/rs]
Presiden COP28 Klaim Perusahaan Minyak Dukung Program Nol Emisi 2050
Presiden COP28 Sultan al-Jaber mengatakan pada Senin (2/10) bahwa lebih dari 20 perusahaan minyak dan gas mendukung seruannya untuk memangkas produksi emisi karbon menjelang pertemuan puncak PBB tentang perubahan iklim. Jaber, yang juga merupakan pimpinan perusahaan minyak raksasa Uni Emirat Arab (UEA) ADNOC, mendesak industri energi untuk ikut memerangi perubahan iklim. Dipilihnya Jaber menjadi presiden COP28 pada tahun ini penuh kontroversi mengingat negara asalnya merupakan anggota OPEC dan eksportir minyak utama. “Kita memerlukan transformasi holistik yang menyeluruh di seluruh sistem perekonomian – perekonomian yang saat ini menggunakan setara dengan 250 juta barel minyak, gas, dan batu bara setiap hari,” kata Jaber pada konferensi minyak dan gas di Abu Dhabi. “Sudah terlalu lama, industri ini dipandang sebagai bagian dari permasalahan, karena industri ini tidak berbuat cukup dan dalam beberapa kasus bahkan menghalangi kemajuan. Ini adalah kesempatan Anda untuk menunjukkan kepada dunia bahwa, pada kenyataannya, Anda adalah pusat dari solusi tersebut,” katanya, berbicara kepada perusahaan-perusahaan energi besar. Jaber mengatakan bahwa lebih dari 20 perusahaan minyak dan gas memberikan respons positif terkait seruan untuk mencapai net zero pada 2050, dan imbauan untuk menghilangkan emisi metana serta menghilangkan pembakaran rutin pada 2030. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut. KTT COP28 dijadwalkan berlangsung di Dubai antara 30 November dan 12 Desember. Menjelang COP28, negara-negara masih terpecah menjadi dua, yaitu negara-negara yang menuntut kesepakatan untuk menghentikan bahan bakar fosil yang dapat menyebabkan pemanasan global, dan negara-negara yang bersikeras mempertahankan peran batu bara, minyak, dan gas. KTT ini dipandang sebagai peluang penting bagi pemerintah untuk mempercepat tindakan membatasi pemanasan global. Laporan sejauh ini menunjukkan negara-negara abai dalam membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius. Para pemimpin perusahaan minyak dan gas besar mengadakan pertemuan dengan para pemimpin industri berat pada Minggu (1/10) di UEA untuk membahas komitmen dekarbonisasi menjelang COP28. [ah/rs]
Industri Antariksa Swasta India Terus Melesat
Ketika pengusaha India Awais Ahmed mendirikan perusahaan rintisan (startup) yang bergerak di industri satelit di Bangalore pada 2019, negaranya masih menutup sektor antariksa bagi swasta. Namun, akhirnya setahun setelahnya Pemerintah india memutuskan membuka pintu bagi pihak swasta untuk turut bergiat di industri tersebut. “Saat kami memulainya, sama sekali tidak ada dukungan, tidak ada momentum,” kata Ahmed, ketika mendirikan Pixxel, sebuah perusahaan yang menyebarkan konstelasi satelit pencitraan Bumi. Sejak itu, sektor luar angkasa swasta mulai berkembang di India, mengekor pasar global yang berkembang pesat. Saat ini terdapat 190 perusahaan rintisan luar angkasa di India, dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dengan investasi swasta melonjak sebesar 77 persen antara 2021 dan 2022, menurut perusahaan konsultan Deloitte. “Banyak investor India tidak mau melirik teknologi luar angkasa, karena sebelumnya risikonya terlalu besar,” kata Ahmed dalam wawancara dengan AFP. “Sekarang Anda dapat melihat semakin banyak perusahaan meningkatkan investasi di India, dan sekarang semakin banyak perusahaan yang mulai bermunculan,” tambahnya. Pixxel membuat satelit pencitraan hiperspektral — teknologi yang menangkap spektrum cahaya luas untuk memberikan detail yang tidak terlihat oleh kamera biasa. Perusahaan tersebut mengatakan bahwa mereka mempunyai misi untuk membangun “pemantau kesehatan bagi planet ini” di mana mereka dapat melacak risiko pemanasan iklim seperti banjir, kebakaran hutan, atau kebocoran gas metana. Pixxel awalnya berusaha menggunakan roket dari Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (Indian Space Research Organisation/ISRO) yang dikelola negara. “Saya ingat pernah berbincang dengan seseorang di ISRO. Kami mencoba untuk menjadwalkan peluncuran dan mereka berkata, ‘Begini, kami bahkan tidak memiliki prosedur untuk meluncurkan satelit India. Namun jika Anda adalah perusahaan asing, maka pada dasarnya ada proses’, yang tidak masuk akal ketika kami memulainya,” kata Ahmed. Pixxel akhirnya harus menyewa perusahaan roket AS SpaceX untuk meluncurkan dua satelit pertamanya. Pixxel berhasil mengantongi dana $71 juta dari investor, termasuk $36 juta dari Google, yang akan memungkinkan perusahaan meluncurkan enam satelit lagi tahun depan. Perusahaan rintisan ini juga telah memenangkan kontrak dengan agen mata-mata AS, Kantor Pengintaian Nasional, untuk menyediakan gambar hiperspektral. Anggaran Rendah Sebelum pembukaan sektor ini pada 2020, “seluruh aktivitas antariksa India berada di bawah pengawasan badan antariksa ISRO, yang mengelola segala sesuatu dengan mutlak,” kata Isabelle Sourbes-Verger, seorang ahli sektor antariksa India di Centre National de la Recherche Scientifique Prancis. Anggaran ISRO masih relatif kecil, yaitu sebesar $1,9 miliar pada 2022, enam kali lebih kecil dibandingkan program luar angkasa China. Meskipun sumber dayanya terbatas, program luar angkasa India telah mencapai kemajuan besar, yang berpuncak pada pendaratan kendaraan penjelajah di kutub selatan Bulan yang belum dijelajahi sebelumnya oleh negara manapun pada Agustus. Negara tersebut juga meluncurkan penyelidikan ke arah Matahari pada awal bulan ini dan sedang mempersiapkan misi berawak selama tiga hari ke orbit Bumi pada tahun depan. Sebelum reformasi, perusahaan swasta hanya dapat bertindak sebagai pemasok bagi badan tersebut. “Hal ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terlalu banyak yang harus dilakukan,” kata Sourbes-Verger. India memperdalam reformasi sektor ini pada April, dengan meluncurkan kebijakan antariksa baru yang membatasi pekerjaan ISRO pada penelitian dan pengembangan sekaligus mendorong “partisipasi sektor swasta yang lebih besar dalam seluruh rantai nilai Ekonomi Antariksa.” India menyatakan bahwa negara ini menyumbang dua persen dari perekonomian antariksa global senilai $386 miliar, dan diharapkan akan meningkat menjadi sembilan persen pada 2030. Pasar ini diperkirakan akan tumbuh hingga $1 triliun pada 2040. Beberapa Batasan Perusahaan-perusahaan India memiliki keunggulan dalam hal biaya karena negara tersebut memiliki banyak insinyur berkualifikasi tinggi dengan gaji lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka di luar negeri. Perusahaan rintisan India lainnya yang muncul dalam beberapa tahun terakhir termasuk Skyroot Aerospace, perusahaan India pertama yang meluncurkan roket swasta. Dhruva Space mengembangkan satelit kecil sementara Bellatrix Aerospace berspesialisasi dalam sistem propulsi untuk satelit. “Apakah hal ini benar-benar akan menciptakan tatanan industri yang dinamis dan menguntungkan? Mungkin, tetapi tidak diragukan lagi, dengan beberapa batasan,” kata Sourbes-Verger. India belum rampung dalam melakukan reformasi terhadap sektor ini. Undang-undang lain diperkirakan akan disahkan dalam beberapa minggu mendatang untuk membuka industri tersebut bagi investasi asing. [ah/ft]