Pemerintah Jepang pada Selasa (6/6) mengadopsi revisi rencana negara untuk menggunakan lebih banyak hidrogen sebagai bahan bakar sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi karbon. Rencana tersebut menetapkan target yang ambisius untuk meningkatkan pasokan tahunan enam kali lipat tingkat saat ini menjadi 12 juta ton pada tahun 2040. Rencana tersebut juga menjanjikan 15 triliun yen ($107 miliar) dalam pendanaan dari sumber swasta dan publik untuk membangun rantai pasokan terkait hidrogen selama 15 tahun ke depan. Strategi dekarbonisasi Jepang berpusat pada penggunaan apa yang disebut energi batu bara bersih, hidrogen, dan nuklir untuk menjembatani transisinya ke energi terbarukan. Perang Rusia di Ukraina telah memperdalam kekhawatiran atas keamanan energi dan memperumit upaya itu, tetapi negara-negara Barat maju lainnya mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih cepat, seperti matahari, angin, dan panas bumi. Selama ini, Jepang mengandalkan hidrogen yang sebagian besar diproduksi menggunakan bahan bakar fosil. Beberapa ahli mengatakan strategi seperti komersialisasi penggunaan hidrogen dan amonia terutama melayani kepentingan bisnis besar dan industri besar yang banyak berinvestasi dalam teknologi berbasis bahan bakar fosil dan memiliki pengaruh atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Revisi rencana tersebut memprioritaskan sembilan bidang strategis, termasuk pengembangan peralatan elektrolisis air, baterai penyimpanan energi, dan kapal tanker ukuran besar untuk mengangkut hidrogen. “Hidrogen adalah sektor industri yang dapat mewujudkan tiga hal dalam satu kesempatan, yakni dekarbonisasi, pasokan energi yang stabil, dan pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno pada rapat kabinet Selasa. “Kami akan promosikan (hidrogen) secara besar-besaran, baik permintaan maupun pasokan.” Para pemimpin Jepang mengatakan mereka ingin mengubah negara itu menjadi “masyarakat hidrogen”, tetapi industri hidrogen masih dalam tahap awal. Pemerintah masih menyusun undang-undang untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang diperlukan dan rantai pasokan untuk penggunaan komersial hidrogen murni dan amonia, sumber hidrogen lainnya. [ab/uh]
Category: Asia Pasifik
Roket Gagal Berfungsi, Satelit Korut Jatuh ke Laut
Sebuah satelit Korea Utara yang diluncurkan pada hari Rabu (31/5) berakhir dengan kegagalan, membuat roket pendorong dan muatannya jatuh ke laut, kata media pemerintah Korea Utara. Militer Korea Selatan mengatakan telah menemukan bagian-bagian dari roket itu. Roket peluncur satelit Chollima-1 yang baru itu gagal karena sistem bahan bakar dan mesin yang tidak stabil, lapor kantor berita pemerintah Korea Utara KCNA. Itu adalah upaya peluncuran satelit keenam yang dilakukan negara pemilik senjata nuklir tersebut, dan yang pertama sejak 2016. Peluncuran ini seharusnya menempatkan satelit mata-mata pertama Korea Utara di orbit. Peluncuran tersebut mendorong peringatan darurat dan peringatan evakuasi singkat di beberapa daerah di Korea Selatan dan Jepang. Peringatan tersebut dicabut tanpa ada bahaya atau kerusakan yang dilaporkan. Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, Rabu (31/5) mengatakan militer sedang melakukan operasi penyelamatan untuk mengumpulkan apa yang diyakini sebagai bagian dari wahana peluncuran antariksa. Militer berbagi sejumlah foto puing-puing yang diambil dari laut, termasuk sebuah benda berupa silinder besar yang ditambatkan ke sebuah pelampung. George William Herbert, asisten profesor di Pusat Kajian Nonproliferasi dan juga konsultan rudal, mengatakan, foto-foto tersebut memperlihatkan setidaknya bagian dari sebuah roket, termasuk bagian interstage yang didesain sebagai penghubung antartingkat roket. Roket tersebut kemungkinan besar berbahan bakar cair. Benda bulat berwarna coklat di dalamnya kemungkinan besar adalah tangki propelan untuk bahan bakar atau pengoksidasi, kata Herbert. Para pejabat dari AS, Jepang, Korea Selatan mengadakan percakapan telepon, di mana mereka “mengecam keras” peluncuran, kata kementerian luar negeri Jepang. “Ketiga negara akan tetap waspada dengan urgensi tinggi,” kata pernyataan kementerian itu. Korea Utara telah mengatakan akan meluncurkan satelit pengintai militer pertamanya antara 31 Mei dan 11 Juni untuk meningkatkan pemantauan aktivitas militer AS. Korea Selatan pekan lalu menempatkan satelit di orbit dengan roket yang untuk pertama kalinya dirancang dan diproduksi di dalam negerinya. China mengirim tiga astronaut ke stasiun antariksanya sebagai bagian dari rotasi awak pada hari Selasa. Roket jatuh ke laut “setelah kehilangan daya dorong karena starter abnormal pada mesin tingkat kedua,” lapor KCNA, dalam pengakuan terus terang yang tidak biasa mengenai kegagalan teknis oleh Korea Utara. Administrasi Pembangunan Dirgantara Nasional Korea Utara (NADA) akan menyelidiki “cacat serius” itu dan mengambil tindakan untuk mengatasinya sebelum melakukan peluncuran kedua sesegera mungkin, kata KCNA. [uh/ab]
Misi Shenzhou-16 China Lepas Landas Menuju Stasiun Luar Angkasa
China mengirim tiga astronautnya ke stasiun luar angkasa Tiangong miliknya pada Selasa (30/5), di mana salah satu di antaranya adalah ilmuwan sipil pertama yang dikirim Beijing ke antariksa, di tengah rencana China untuk mengirim misi berawak ke Bulan pada akhir dekade ini. Ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah menginvestasikan anggaran senilai miliaran dolar untuk program luar angkasanya yang dioperasikan oleh militer, dalam upaya untuk mengejar ketertinggalan dari Amerika Serikat dan Rusia. Awak Shenzhou-16 lepas landas dengan menumpangi roket Long March 2F dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan di barat laut China pada pukul 9:31 pagi waktu setempat, seperti ditunjukkan wartawan AFP dan stasiun TV milik pemerintah China. Komandan Jing Haipeng memimpin misi tersebut dalam perjalanan antariksanya yang keempat. Dua astronaut lainnya yaitu teknisi Zhu Yangzhu dan dosen Universitas Beihang, Gui Haichao, yang menjadi warga sipil China pertama yang terbang ke luar angkasa. Stasiun Luar Angkasa Tiangong adalah mahkota program antariksa China, yang sebelumnya telah mendaratkan robot penjelajah di planet Mars dan Bulan, serta menjadikannya negara ketiga yang menempatkan manusia di orbit Bumi. Pembangunan Tiangong sendiri disebut telah rampung November lalu ketika bagian ketiganya ditambahkan. China membangun stasiun luar angkasa sendiri setelah dikeluarkan dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) – sebagian besarnya karena AS keberatan atas kedekatan hubungan program antariksa China dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Misi Shenzou-16 adalah misi pertama Tiangong semenjak stasiun luar angkasa itu memasuki tahap “penerapan dan pengembangan”, kata Beijing. Begitu tiba di orbit, Shenzhou-16 akan berlabuh di modul inti Tianhe dari Tiangong, sebelum para awak bertemu dengan tiga koleganya yang lain dari penerbangan misi berawak Shenzhou-15, yang sudah berada di Tiangong selama enam bulan dan akan kembali ke Bumi dalam beberapa hari ke depan. Misi tersebut akan “melakukan eksperimen berskala besar di orbit… dalam penelitian fenomena kuantum baru, sistem frekuensi ruang waktu presisi tinggi, verifikasi relativitas umum, dan asal usul kehidupan,” kata juru bicara CMSA Lin Xiqiang kepada wartawan pada Senin (29/5). Stasiun antariksa itu telah dipasok kembali dengan persediaan air minum, pakaian, makanan dan propelan bulan ini menjelang kedatangan awak misi Shenzhou-16. Astronom dan astrofisikawan Pusat Astrofisika Harvard-Smithsonian Jonathan McDowell mengatakan kepada AFP, penerbangan itu merupakan “penerbangan rotasi awak rutin, di mana awak yang satu menyerahkan ke awak yang lain.” Akan tetapi, itu pun signifikan. “Mengumpulkan kedalaman pengalaman dalam operasi penerbangan luar angkasa berawak itu penting dan memang tidak selalu melibatkan pencapaian baru yang spektakular,” ungkapnya. [rd/ah]
China akan Kirim Warga Sipil Pertamanya ke Luar Angkasa
China akan mengirim astronaut sipil pertamanya ke luar angkasa sebagai bagian dari misi berawak ke stasiun luar angkasa Tiangong pada Selasa (30/5), menurut pengumuman Badan Antariksa Berawaknya, seiring upaya Beijing mendorong ambisi ekstra-terestrialnya. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah menginvestasikan miliaran dolar ke dalam program luar angkasanya yang dioperasikan oleh pihak militer, untuk mencoba mengejar ketertinggalan dari AS dan Rusia setelah bertahun-tahun terlambat menyamai pencapaian kedua negara tersebut. Hingga kini, semua astronaut China yang dikirim ke luar angkasa merupakan anggota Tentara Pembebasan Rakyat China. “Pakar muatan Gui Haichao adalah seorang dosen di Universitas Aeronautika dan Astronautika Beijing,” kata Juru Bicara Badan Antarika Berawak China Lin Xiqiang kepada wartawan pada Senin (29/5), saat mengenalkan Gui sebagai warga sipil China pertama yang akan dikirim ke luar angkasa. Gui akan “bertanggung jawab terutama untuk operasi muatan eksperimen ilmu antariksa di orbit,” kata Lin. Komandan pada misi itu adalah Jing Haipeng, yang sudah menjalani tiga misi luar angkasa sebelumnya, menurut media pemerintah. Sementara awak ketiga adalah teknisi Zhu Yangzhu. Mereka rencananya akan meluncur dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan di China barat laut pada Selasa jam 9.31 pagi waktu setempat, kata badan tersebut. Pihak kampus Gui, yang dikenal dengan nama Beihang University dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa ia berasal dari “keluarga biasa” di provinsi Yunnan. Ia “pertama kali merasakan daya tarik dunia kedirgantaraan” saat mendengarkan berita mengenai orang China pertama di luar angkasa, Yang Liwei, di radio kampus pada 2003, kata pihak universitas dalam sebuah unggahan di media sosial. [rd/rs]
Pejabat AS: Balon Mata-mata China Tidak Terlalu Membahayakan
Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan bahwa balon pengintai yang digunakan oleh China merupakan usaha mengalihkan perhatian, dan menyebutnya tidak terlalu penting dibandingkan dengan masalah yang lebih besar yang ditimbulkan China di mana kapabilitas negara tersebut untuk mengerahkan kemampuan militernya ke luar angkasa semakin meningkat. Penggunaan balon mata-mata oleh China telah mencuri perhatian sejak Pentagon mengumumkan pihaknya tengah melacak sebuah balon yang terbang tinggi yang melintasi daratan Amerika pada Februari lalu. Sejak itu, AS telah menembak jatuh satu balon China, dan sejumlah obyek mencurigakan yang terbang tinggi. Penembakan itu dilakukan dengan menggunakan persenjataan canggih dan sejumlah pejabat AS menyebut bahwa balon tersebut dapat mengumpulkan informasi sensitif yang berada pada fasilitas militer. Sekretaris Angkatan Udara AS Frank Kendall, pada Senin (22/5), mengatakan penggunaan balon oleh China, yang diklaim Beijing sebagai balon cuaca, merupakan usaha pengalihan perhatian. “Mereka mempunyai program pengumpulan data intelijen yang agresif. Balon-balon tersebut adalah sebagian kecil dan tidak terlalu esensial,” ujar Kendall kepada wartawan dalam sebuah pengarahan di Washington. Yang membuat dirinya khawatir adalah apa yang terbang lebih tinggi dari balon tersebut. Sejumlah pejabat AS lainnya juga telah meperingatkan akan peningkatan kemampuan China di luar angkasa. “China melihat luar angkasa sebagai potensi kelemahan AS,” ujar Doug Wade, kepala Lembaga Intelijen Pertahanan, China Mission Group, pada Maret lalu. “Terdapat beragam aset atau kapabilitas China di luar angkasa yang membuat kami khawatir,” tambah Wade, seraya menyebut program luar angkasa Beijing, “selangkah lebih dekat menyamai kemampuan AS.” [jm/lt/rs]
Microsoft: Peretas yang Didukung China Menyasar Sarana Vital di Guam, AS
Perusahaan Microsoft, pada Rabu (24/5), mengatakan telah membongkar tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang didukung oleh China yang menyasar sejumlah sarana vital milik beberapa organisasi yang berada di Guam dan Amerika Serikat. Microsoft mengatakan dengan “keyakinan cukup” pihaknya menilai bahwa kampanye Volt Typhoon “mengusahakan pengembangan kemampuan yang dapat mengganggu sarana komunikasi penting antara AS dan kawasan Asia pada krisis di masa depan.” Volt Typhoon telah aktif sejak pertengahan 2021 dan menyasar organisasi sarana penting di Guam dan tempat-tempat lain di AS, kata perusahaan itu. Guam adalah lokasi dari sejumlah fasilitas militer AS yang besar, termasuk Pangkalan Udara Andersen, yang merupakan fasilitas kunci dalam menanggapi konflik di kawasan Asia Pasifik. Microsoft mengatakan, pihaknya telah memberitahu pengguna yang menjadi target atau dirugikan oleh aksi tersebut dan memberi mereka informasi. Kedutaan Besar China di Washington tidak merespons permintaan komentar Reuters terkait isu peretasan ini. [jm/lt]
Studi: Pasokan Energi dan Air Asia Terancam akibat Krisis Iklim
Dampak yang disebabkan oleh krisis iklim terhadap sistem pengairan Hindu Kush-Himalaya menimbulkan risiko bagi pembangunan ekonomi dan keamanan energi terhadap 16 negara di Asia, demikian ungkap para peneliti pada Rabu (24/5). Mereka menyerukan aksi nyata bersama untuk melindungi sistem air tersebut. Cekungan dari 10 sungai besar yang mengalir dari menara air Hindu Kush-Himalaya adalah rumah bagi 1,9 triliun orang dan menghasilkan $4,3 triliun dalam PDB tahunan. Dampak perubahan iklim seperti pencairan gletser dan cuaca ekstrem sudah menimbulkan “ancaman serius”, kata lembaga kajian China Water Risk. Para peneliti memperingatkan bahwa seluruh sungai akan menghadapi “risiko (volume) air yang meningkat dan bertambah … jika kita tidak dapat mengendalikan emisi,” dan bahwa pembangunan lebih lanjut dari infrastruktur energi yang bergantung pada air justru memperparah masalah. Ke-10 sungai itu termasuk Gangga dan Brahmaputra yang mengalir ke India dan Bangladesh, Sungai Yangtze dan Kuning di China, serta sungai yang melintasi sejumlah negara seperti Mekong dan Salween. Sungai-sungai tersebut menopang hampir tiga perempat pembangkit listrik tenaga air dan 44 persen pembangkit listrik tenaga batu bara di 16 negara, termasuk Afghanistan, Nepal, dan Asia Tenggara. Kapasitas listrik sebesar 865 gigawatt (GW) di sepanjang 10 sungai dianggap rentan terhadap risiko iklim, yang sebagian besar bergantung pada air. Lebih dari 300 GW – cukup untuk menggerakkan Jepang – terletak di daerah yang menghadapi risiko air “tinggi” atau “sangat tinggi”, tambah para peneliti. Cekungan Sungai Yangtze di China, yang menyokong sekitar sepertiga dari populasi negara itu dan sekitar 15 persen dari kapasitas listriknya, mengalami rekor kekeringan panjang tahun lalu. Anjloknya tenaga air dari sungai tersebut yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga Air (PLTA) turut mengganggu rantai pasokan global. Sejak kekeringan, pemerintah menyetujui belasan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru untuk mengatasi gangguan PLTA di masa depan. Namun, pembangkit tersebut juga membutuhkan air dan lonjakan kapasitas di China dan India dapat semakin memperparah kekurangan. Saat risiko iklim meningkat, negara-negara tersebut berada di bawah tekanan untuk menyusun kebijakan yang memastikan “kesesuaian” keamanan energi dan air, catat para peneliti. “Karena pilihan daya dapat memengaruhi air dan kekurangan air dapat merusak aset daya, keamanan air harus menentukan keamanan energi,” kata para peneliti. [ah/rs]
Gempa Magnitudo 7,7 Guncang Pasifik Selatan, Tidak Ada Laporan Kerusakan
Survei Geologi AS (USGS) mengatakan gempa magnitudo 7,7 mengguncang kawasan selatan Pasifik hari Jumat (19/5). Gempa ini memicu peringatan tsunami yang kemudian dicabut untuk kawasan kepulauan Loyalty di Kaledonia Baru dan Vanuatu. USGS mengatakan gempa itu terjadi pukul 2.57 Universal Time (pukul 6.57 WIB) 334 kilometer sebelah timur kota Vao di Kaledona Baru, atau 436 kilometer sebelah barat daya Vanuatu. Gempa kuat lainnya, magnitude 5,9, tercatat di daerah yang sama sekitar 10 menit kemudian. Zona gempa berada d sebelah barat daya Fiji, sebelah utara Selandia Baru dan sebelah timur Australia, di mana Laut Coral bertemu dengan Samudra Pasifik. Pusat Peringatan Tsunami Pasifik (PTWC) mengeluarkan peringatan tsunami untuk kawasan itu dengan kemungkinan gelombang merusak setinggi hingga satu meter. Peringatan ini kemudian dicabut. Kantor Penanggulangan Bencana Nasional Vanuatu mengeluarkan pesan saran tsunami, dan warga dianjurkan agar mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Kantor berita Prancis AFP mengunggah video mengenai warga di ibu kota Kaledonia Baru, Nouma, di lereng bukit sambil mengamati perkembangan. Beberapa daerah di Vanuatu melaporkan gelombang sekitar setengah meter di atas level gelombang pasang normal. [uh/lt]
Aktivis Berunjuk Rasa Menentang Rencana Pembuangan Air Fukushima
Puluhan aktivis antinuklir pada Selasa (16/5) berunjuk rasa menuntut Jepang agar membatalkan rencana membuang air yang sudah diolah, tetapi masih mengandung radioaktif ke laut dari sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang rusak akibat tsunami. “Jangan buang air tercemar ke laut!” seru para pengunjuk rasa di luar kantor pusat TEPCO, operator PLTN tersebut, di Tokyo. Mereka juga membawa spanduk dengan tuntutan seperti “Jangan cemari Pasifik dengan radioaktif,” dan “Stop air terkontaminasi.” Unjuk rasa dilakukan sementara TEPCO hampir menyelesaikan pembangunan fasilitas yang diperlukan sebelum pembuangan air yang diperkirakan berlangsung setelah Juni. Kyoungsook Choi, seorang aktivis Korea Selatan, mengatakan, “Lautan Pasifik bukan milik Jepang. Ini milik semua makhluk hidup di dalam lautan dan siapa pun yang bergantung padanya untuk mata pencaharian mereka.” Ia menambahkan bahwa Jepang tidak punya hak untuk membuang air radioaktif. Gempa bumi kuat dan tsunami pada tahun 2011 merusak sistem pendingin PLTN Fukushima Daiichi, merusak tiga reaktor, dan menyebabkan air pendingin di sana mengandung kadar radioaktif tinggi dan bocor ke ruang bawah tanah bangunan reaktor. Air tersebut dikumpulkan, diolah dan disimpan di tangki-tangki yang menutup sebagian besar PLTN tersebut. Pemerintah dan TEPCO mengatakan tangki-tangki itu harus disingkirkan untuk memberi ruang bagi penonaktifan PLTN tersebut dan untuk meminimalkan risiko kebocoran seandainya terjadi bencana lainnya. Rencana ini menghadapi protes keras dari komunitas nelayan setempat yang khawatir mengenai keamanan dan rusaknya reputasi. Negara-negara tetangga, termasuk Korea Selatan, China dan negara-negara Kepulauan Pasifik, telah memprotes rencana itu. Para pejabat Jepang mengatakan air itu akan disaring dengan aman dan kemudian diencerkan dengan sejumlah besar air laut sebelum dibuang, membuatnya tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Beberapa ilmuwan mengatakan dampak jangka panjang, paparan tritium dosis rendah dan radionuklida lainnya terhadap lingkungan dan manusia masih belum diketahui dan pembuangan itu seharusnya ditunda. Tokyo dan Seoul sepakat untuk menerima satu delegasi Korea Selatan berkunjung ke PLTN Fukushima Daiichi pada akhir Mei untuk mengamati persiapan pembuangan sementara kedua pihak berupaya untuk memperbaiki hubungan yang tegang akibat sengketa sejarah. [uh/lt]
Kurangi Emisi, Northern Territory Australia Gunakan Pembangkit Listrik Hibrida
Terus meningkatnya kelangkaan gas, kenaikan harga dan ketidakpastian stabilitas jaringan, sebuah kota kecil di Northern Territory, Australia, melakukan inovasi dengan mengoperasikan sebuah pembangkit listrik hibrida baru. Jaringan mikro yang dipasang di Jabiru menghasilkan 50% energi terbarukan.