Jakarta, CNN Indonesia —
Daerah Istimewa Yogyakarta disebut masih terkepung dua sumber gempa, yakni Sesar Opak dan megathrust, serta berpotensi tsunami hingga 10 meter.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam siaran persnya, mengungkapkan sumber bahaya di selatan Jawa.
Pertama, Sesar Opak di daratan DIY dengan potensi magnitudo 6,6. Kedua, sumber gempa subduksi lempeng atau megathrust di lautan dengan potensi magnitudo 8,7 di selatan Jawa yang masih terus aktif.
Tak cuma gempa, Dwikorita menyatakan “ada potensi tsunami setinggi 8-10 meter yang bisa menerjang pantai Selatan Jawa.”
“Sesar Opak merupakan sumber gempa yang jalurnya terletak di daratan ini memang aktif dan belum berhenti aktivitasnya. Sedangkan di Samudra Hindia selatan Yogyakarta juga terdapat sumber gempa subduksi lempeng atau megathrust, yang juga masih sangat aktif,” ungkap Dwikorita usai pembukaan ASEAN Regional Disaster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX) 2023 di Royal Ambarrukmo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, baru-baru ini.
Ia pun mengingatkan soal pentingnya pelatihan mitigasi kebencanaan kepada masyarakat di DIY harus terus dilakukan secara berkelanjutan.
“Jadi tidak boleh berhenti upaya mitigasi dan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. Khususnya yang tinggal di wilayah pesisir karena ancaman tsunami juga menghantui selain gempa bumi,” tambah dia.
Sesar Opak
Dwikorita menjelaskan Sesar Opak adalah patahan dengan jalur sesar yang mencapai 45 kilometer di sepanjang aliran Sungai Opak, DIY.
Sungai Opak berhulu dari lereng Gunung Merapi, lalu mengalir ke selatan dengan muara langsung ke Samudra Hindia di Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
BMKG mengungkap aktivitas Sesar Opak sendiri pernah menyebabkan gempa bumi merusak pada 27 Mei 2006 yang menewaskan 6.234 orang.
Dwikorita mengatakan saat ini mulai tampak ada gejala peningkatan aktivitas kegempaan akibat Sesar Opak. Salah satunya adalah gempa dengan M 6.0 di Kabupaten Bantul 30 Juni.
Namun demikian, gempa tersebut hanya menyebabkan kerusakan ringan. Menurut Dwikorita, hal ini salah satunya berkat antisipasi struktur bangunan yang cukup baik di daerah Bantul.
“Peluang periode ulang untuk terjadi gerakan lagi atau pengunciannya mulai lepas tampak dari aktivitas kegempaannya yang saat ini mulai meningkat. Kesiap-siagaan masyarakat harus terus ditingkatkan, jangan terputus,” ucapnya.
Riwayat tsunami
Pada 1 Juli, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam konferensi pers secara daring menjelaskan dua sumber gempa di DIY itu sudah memicu 12 gempa kuat.
“Jadi kalau kita lihat sejarah sejak tahun 1800, zona megathrust di Yogyakarta itu sudah memicu gempa sebanyak 12 kali. Terakhir pada 2 September 2009 berkekuatan 7,8 di wilayah selatan,” ungkap dia.
Megathrust adalah daerah pertemuan antar lempeng tektonik Bumi di lokasi zona subduksi. Sementara, subduksi yakni tumbukan antara dua atau lebih lempeng tektonik yang salah satunya menghujam ke lempeng di bawah yang lain.
Zona subduksi aktif itu, kata Daryono, bisa menimbulkan gempa bumi dan tsunami yang beberapa kali memang sudah pernah menerjang wilayah selatan Pulau Jawa.
“Kalau kita melihat catatan sejarah tsunami, bahwa di selatan Jawa sudah terjadi tsunami sebanyak 8 kali. Tahun 1818, 1840, 1859, 1904, 1921, 1957, 1994 di Banyuwangi dan di Pangandaran tahun 2006.”
“Ini merupakan catatan penting terkait dengan potensi dan bahaya gempa dan tsunami di selatan Yogyakarta dan selatan Jawa pada umumnya,” tandasnya.