Presiden Amerika Serikat Joe Biden, pada Senin (25/9), membuka pertemuan puncak negara-negara Kepulauan Pasifik dengan permintaan maaf dan pengakuan. Pertama-tama, ia menyampaikan penyesalannya karena membatalkan kunjungan ke Papua Nugini awal tahun ini di tengah drama politik di dalam negeri. Biden kemudian memuji pengakuan diplomatik AS terhadap Kepulauan Cook dan negara kepulauan kecil, Niue.
Biden juga berfokus pada ancaman nyata yang dialami oleh 18 negara kepuluan tersebut akibat perubahan iklim, dan menjanjikan dana untuk bantuan iklim dan infrastruktur. Secara keseluruhan, kata Gedung Putih, Biden mengumumkan pihaknya menganggarkan sekitar $200 juta untuk menunjukkan komitmen AS bekerja sama dengan Kepulauan Pasifik guna memperluas dan memperdalam kerja sama di tahun-tahun mendatang.
“Kami mendengar peringatan Anda mengenai naiknya air laut dan hal ini merupakan ancaman nyata bagi negara-negara Anda. Kami mendengarkan seruan Anda untuk mendapatkan kepastian bahwa Anda tidak akan pernah kehilangan status kenegaraan atau keanggotaan Anda di PBB sebagai akibat dari krisis iklim,” kata Biden.
Ke-18 negara anggota ini telah menjadi perebutan sejak masa kolonial selama berabad-abad. Kepulauan Cook, misalnya, diberi nama sesuai dengan nama Kapten James Cook yang pemberani – petualang Inggris yang dengan kejam menaklukkan tanah Pribumi di hamparan luas Pasifik, dari Australia hingga Kanada sebagai kebanggaannya. Pembunuhannya secara kejam pada tahun 1779 oleh penduduk asli Hawaii, hingga saat ini masih dirayakan di pulau itu.
Sebaliknya, AS memiliki rekam jejak yang lebih baik, kata Gordon Peake, penasihat senior bidang Kepulauan Pasifik di Lembaga Perdamaian, US Institute of Peace.
“Amerika mungkin sedikit melupakan Kepulauan Pasifik selama delapan dekade terakhir, namun Kepulauan Pasifik tidak melupakan Amerika,” ujarnya. “Masih banyak sisa-sia niat baik Amerika sejak Perang Dunia Kedua.”
Mungkin untuk menggambarkan hubungan yang erat dan kerap bersifat pribadi ini, para pemimpin negara-negara Kepulauan Pasifik tersebut singgah di beberapa tempat di AS sebelum datang ke Gedung Putih. Mereka menumpang kereta khusus dari New York – di mana banyak pemimpin ini menghadiri Majelis Umum PBB – menuju Baltimore di Maryland, untuk menyaksikan tim football profesional Baltimore Ravens, rumah bagi beberapa pemain Polinesia terkemuka dan para pemain yang dinobatkan dalam Hall of Fame.
Namun di bidang diplomatik, Washington menghadapi persaingan yang ketat. China baru-baru ini menandatangani perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon – sebuah fakta yang diperparah dengan keputusan Perdana Menteri Manasseh Sogavare yang tidak menghadiri pertemuan di Gedung Putih pada hari Senin itu. Sogavare malah mengirim menteri luar negerinya.
“Kepulauan Pasifik sendiri, setidaknya beberapa di antaranya, cukup pintar, sejujurnya, dalam mengadu domba antara China dan Washington, atau sekadar membela diri mereka sendiri setelah sekian lama tidak ada yang memperhatikan,” kata Bruce Jones, yang mempelajari wilayah tersebut di Brookings Institution.
“Sekarang, banyak negara yang menaruh perhatian, dan banyak negara sudah bersiap untuk berinvestasi. Dan negara-negara ini menanganinya secara berbeda. Beberapa negara sudah benar-benar mengarah pada hubungan yang lebih dalam dengan China, seperti Kepulauan Solomon. Ada pula yang menggoda kedua belah pihak, seperti Vanuatu. Ada pula yang memperkuat hubungan dengan negara-negara Barat, seperti Fiji. Namun ini masih merupakan permainan yang terbuka, dan pulau-pulau tersebut memiliki banyak lembaga dan kapasitas untuk memanfaatkan situasi ini guna mendapatkan perhatian dan investasi yang lebih besar,” katanya.
Pada hari Senin, Perdana Menteri Mark Brown dari Kepulauan Cook menekankan hubungan yang diinginkan negaranya dengan AS.
“Kita memiliki kesempataan di sini sebagai Forum Kepulauan Pasifik, layaknya AS, berkeinginan untuk mengembangkan kemitraan demi kemakmuran,” ujar Brown. [my/rs]