Sebuah yang video dipublikasikan di halaman YouTube Komite Nasional Partai Republik ini, dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan. Video ini menggunakan citra yang disempurnakan melalui AI untuk menggambarkan ledakan di Taiwan, migran yang melintasi perbatasan selatan AS, dan San Francisco yang diliputi kejahatan, dengan tank-tank bersliweran di jalanan kota. Tidak satupun mencerminkan kenyataan.
Sebuah video lain menampilkan suara mantan presiden Donald Trump, yang disebarkan oleh organisasi Back Down Committee. Belakangan diketahui bahwa pernyataan mantan presiden tersebut diambil dari postingan media sosialnya, dan suaranya dihasilkan oleh AI.
Pada pertengahan Oktober, Google yang juga memiliki YouTube, mengumumkan akan mewajibkan pengguna yang memposting konten hasil AI untuk mengungkapkan dengan jelas, bahwa konten tersebut berisi materi yang diubah atau sintetis.
Mark Grzegorzewski, asisten profesor di Departemen Studi Keamanan dan Hubungan Internasional di Embry-Riddle Aeronautical University, mengatakan, “Penggunaan AI generatif dalam iklan-iklan ini, telah menurunkan biaya pembuatannya secara signifikan, dan tersedia bagi siapa saja yang memiliki kartu kredit. Setelah Anda membuat iklan ini dan menayangkannya secara daring, iklan itu menyebar dengan sangat cepat,” ucapnya.
Dan sejumlah kandidat bertaruh bahwa iklan yang dihasilkan oleh AI dapat mempengaruhi swing voters atau pemilih-pemilih yang berpotensi mengalihkan dukungan mereka di Amerika.
“Mengingat selisih suara dalam Pemilu presiden yang sangat tipis dalam beberapa siklus pemilu terakhir, menargetkan 6 persen pemilih tersebut dapat mengubah hasil Pemilu. Terutama, jika Anda melakukan apa yang dilakukan Cambridge Analytica dan menargetkan secara mikro, para pemilih tersebut,” lanjut Mark Grzegorzewski.
Sejumlah otoritas di tingkat negara bagian Amerika sudah berupaya mengatur konten yang dihasilkan oleh AI. Di Wisconsin, anggota parlemen menginginkan para politisi dan kelompok politik untuk merinci kalau mereka menggunakan materi audio dan video yang dihasilkan AI dalam promo kampanye mereka. Melanggar undang-undang ini, jika RUU ini berhasil diloloskan, akan berakibat sanksi denda senilai seribu dolar. Langkah serupa diperkirakan akan diterapkan di Michigan, kata anggota DPR negara bagian Penelope Tsernoglou.
“Penting untuk memberi tahu para pemilih saat Anda menggunakan AI, terutama jika Anda menggunakannya untuk menciptakan citra palsu , bahwa sebenarnya orang tersebut tidak melakukan atau mengatakan apa yang Anda lihat mereka lakukan atau katakan,” kata Penelope Tsernoglou, anggota DPR Michigan dari Partau Demokrat.
Senator AS Amy Klobuchar, menyerukan tindakan serupa di tingkat federal. Pada Oktober, ia berbicara kepada raksasa media sosial Meta dan X, meminta mereka untuk mengklarifikasi bagaimana mereka akan mengatur promo kampanye politik yang dihasilkan oleh AI di platform masing-masing.
“Menjelang pemilu 2024, kami menulis surat ini untuk mengungkapkan keprihatinan serius tentang munculnya penggunaan konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) dalam iklan politik di platform Anda, dan meminta informasi tentang upaya Anda, untuk menanggapi ancaman ini terhadap pemilu kita yang seharusnya bebas dan adil,” kata Amy Klobuchar.
Sebagai tanggapan, pada 6 November, Meta melarang pengkampanye politik dan pengiklan menggunakan fungsi-fungsi AI generatifnya.
X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, belum mengeluarkan kebijakan AI generatif apapun, terkait dengan kampanye presiden yang sedang berlangsung. [ns/lt]
https://www.voaindonesia.com/a/amerika-siapkan-aturan-penggunaan-ai-dalam-iklan-politik/7363036.html