Sejumlah aktivis hak asasi manusia mendesak platform media sosial internasional untuk berbuat lebih banyak guna mencegah pihak berwenang China mendapatkan informasi pribadi penggunanya. Seruan tersebut muncul setelah dua influencer media sosial populer China menduga bahwa polisi di China sedang menyelidiki pengikut mereka di platform X dan YouTube dan memanggil beberapa orang untuk diinterogasi.
Platform media sosial seperti X, yang sebelumnya dikenal dengan nama Twitter, dan YouTube serta ribuan situs web – mulai dari The New York Times hingga BBC dan VOA – diblokir di China oleh sistem penyensoran negara tersebut yang dikenal dengan nama Great Firewall. Namun bahkan ketika kontrol sosial semakin ketat di bawah kepemimpinan Xi Jinping, semakin banyak orang di China yang menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk mengakses X, YouTube, dan situs-situs lain untuk mendapatkan berita, informasi, dan opini yang tidak tersedia di China.
Li Ying, yang juga dikenal secara online sebagai Guru Li, adalah salah satu influencer media sosial yang mengeluarkan peringatan tersebut pada hari Minggu (25/2). Li menjadi terkenal sebagai sumber berita dan informasi menyusul adanya perbedaan pendapat publik, yang jarang sekali terjadi di China, pada tahun 2022, yang memprotes kebijakan nol-COVID yang kejam dari pemerintah. Akun Li di platform X kini telah menjadi pusat berita dan video yang disediakan oleh para warganet yang dianggap sensitif dan disensor oleh pemerintah China secara online.
Dalam sebuah unggahan pada hari Minggu (25/2), Guru Li mengatakan, “Saat ini, biro keamanan publik sedang memeriksa 1,6 juta pengikut saya dan orang-orang yang mengisi kolom komentar, satu per satu.”
Ia membagikan tangkapan layar pesan pribadi yang diterimanya dari para pengikutnya selama beberapa bulan terakhir, beberapa di antaranya mengklaim bahwa polisi telah menginterogasi individu-individu, dan bahkan menyebabkan satu orang kehilangan pekerjaannya.
VOA tidak dapat memverifikasi keaslian klaim tersebut secara independen, namun catatan pengadilan di China dan laporan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia sebelumnya telah mencatat peningkatan penggunaan platform media sosial yang dilarang di China untuk menahan, mengadili, dan menghukum individu-individu atas komentar yang mereka buat secara online.
Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu, mengatakan ia tidak mengetahui akan kasus terkait dengan influencer media sosial yang dimaksud.
“Pada prinsipnya, pemerintah China mengatur urusan yang terkait dengan internet sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku,” ujar Liu.
Maya Wang, direktur sementara untuk divisi China di Human Rights Watch, mengatakan China telah melakukan lebih banyak usaha untuk mengatur sejumlah platform yang berbasis di luar negeri mengingat semakin banyak warga China yang pindah ke platform tersebut untuk menyuarakan pendapatnya.
Ia mengatakan laporan terbaru terkait pihak berwenang yang melacak pengikut di media sosial adalah bagian dari upaya lama China dalam membatasi kebebasan berpendapat.
“Saya pikir pemerintah China juga semakin khawatir dengan informasi yang disebarkan, dikirimkan, dan didistribusikan di sejumlah platform asing ini karena platform tersebut, berkat para warganet, menjadi sangat berpengaruh,”kata Wang.
Yaqiu Wang, direktur penelitian untuk urusan China, Hong Kong dan Taiwan di Freedom House, mengatakan selain melindungi privasi para penggunanya, para perusahaan media sosial tersebut juga harus lebih berusaha untuk meredam tindakan keras China dalam membatasi kebebasan berpendapat.
“Mereka seharusnya memiliki prosedur untuk membantu aktivis dalam melindungi kekebasan berpendapat,” ujarnya. “Perusahaan media sosial besar seharusnya mendistribusikan informasi kepada penggunanya, semacam instruksi bagaimana melindungi akun mereka.
“Mereka harus lebih transparan, sehingga pengguna dan publik tahu jika peretasan yang disponsori oleh pemerintah tengah berlangsung,” tambahnya. [lt/jm/rs]
Xiao Yu berkontribusi dalam laporan ini