Jakarta, CNN Indonesia —
Astronaut disebut cenderung mengalami masalah mental ketika bertugas di luar angkasa dalam waktu yang lama. Hal itu dikarenakan lingkungan kerja yang ekstrem, terisolasi dari masyarakat, kesepian, dan berbulan-bulan jauh dari keluarga.
Lantas bagaimana solusinya?
Profesor dari University of Houston, Candice Alfano dan timnya mengembangkan Mental Health Checklist (MHCL), sebuah instrumen laporan untuk mendeteksi kesehatan mental yang berubah akibat lingkungan terisolasi, terbatas, dan ekstrim (ICE). Instrumen ini kemudian digunakan di dua stasiun penelitian di Antarktika.
“Kami mengamati perubahan signifikan dalam fungsi psikologis, tetapi pola perubahan untuk aspek tertentu dari kesehatan mental berjalan berbeda. Perubahan paling mencolok diamati untuk emosi positif sehingga kami melihat penurunan terus menerus dari awal hingga akhir misi, tanpa terlihat adanya ‘efek memantul’ saat para peserta bersiap untuk kembali ke rumah,” lapor Alfano, seperti dikutip situs University of Houston.
Menurut Alfano, penelitian sebelumnya baik di luar angkasa maupun di lingkungan kutub selalu berfokus pada keadaan emosi negatif termasuk kecemasan dan gejala depresi. Namun emosi positif seperti kepuasan, antusiasme, dan kekaguman adalah hal penting untuk berkembang dalam lingkungan dengan tekanan yang cukup tinggi.
Dilansir dari Science Alert, Antarktika sendiri dianggap sebagai tempat yang ideal untuk pengujian karena lingkungan ekstremnya memiliki banyak faktor stress yang sama dengan luar angkasa.
“Selain kru kecil dan komunikasi terbatas selama bulan-bulan musim dingin Antartika, lingkungan menawarkan sedikit stimulasi sensorik, dan periode kegelapan yang lama dan kondisi cuaca yang keras membatasi aktivitas di luar ruangan. Evakuasi juga cukup sulit dilakukan,” tutur Alfano.
Selama penelitian ini, emosi negatif tampak mengalami peningkatan, tetapi peningkatan ini cukup bervariasi dan lebih dapat diprediksi lewat masalah-masalah yang ada di sekitar partisipan.
Penelitian ini menyimpulkan emosi negatif dapat terbentuk dari interaksi antar individu di pusat penelitian beserta faktor-faktor situasional yang terjadi.
Sementara itu, penurunan emosi positif disebut sebagai pengalaman yang lebih universal atau merata di antara peserta partisipan. Tanpa adanya interaksi antar partisipan, kondisi ini menjangkit para peserta penelitian secara luas.
“Oleh karena itu, intervensi dan tindakan pencegahan yang ditujukan untuk meningkatkan emosi positif dapat menjadi penting dalam mengurangi risiko psikologis dalam situasi ekstrem,” kata Alfano.
(lom/lth)