Ini adalah kisah tiga pengkampanye lingkungan yang menghadapi kekerasan dan represi, menghentikan tambang emas liar di Ekuador, budidaya udang ilegal di Karimunjawa, dan proyek minyak kontroversial di Uganda.
Daniel Frits Maurits Tangkilisan pernah diserang, ditangkap dan dituntut di pengadilan karena aktivitasnya untuk melindungi taman nasional. Namun dia tidak pernah mau tunduk.
“Leher dan pundak saya enggak enak selama beberapa hari. Tapi syukurlah tidak lebih dari itu, intimidasi terhadap saya juga ada lewat Whatsapp atau media sosial, tapi enggak sampai nyawa. Yang dapat ancaman nyawa itu teman-teman saya,” kata Daniel.
“Kenapa harus takut? Kenapa harus menyerah? Rumahmu harus dipertahankan,” kata pria berumur 51 tahun itu ketika ditemui di Jakarta. Dia sedang menunggu putusan pengadilan terbaru untuk kasus terhadapnya.
Lahir dan dibesarkan di ibu kota, Daniel “jatuh cinta pada pandangan pertama” dengan Karimunjawa, pulau terpencil di Laut Jawa yang masuk sebagai Taman Nasional. Dia datang pertama kali pada 2011 dan kemudian menetap di sana.
Karimunjawa ada di sebelah utara wilayah Jawa Tengah, tidak jauh dari kota Jepara.
Daniel mulai mengamati meningkatnya dampak buruk tambak udang ilegal, yang mulai marak sekitar 2017.
Air limbah dari tambak ini membunuh rumput laut dan memaksa kehidupan air untuk berpindah menjauh dari pantai, yang berdampak lanjutan terhadap penghidupan komunitas nelayan, kata dia.
Pada 2022, Daniel mendukung dimulainya gerakan #SaveKarimunjawa, yang mendorong aturan tata ruang daerah melarang tambak udang.
Namun, aktivismenya membuat Daniel menjadi target, dia diancam, diserang dan bahkan dicekik, dan teman-temannya sesama aktivis lingkungan menerima ancaman pembunuhan.
“Perasaan saya ya enggak enak. Siapa yang suka diintimidasi. Tapi saya sadar ini bagian dari perjuangan. Ini salah satu harga yang harus dibayar. Kalau mundur, itu artinya, kamu tinggal say goodbye kepada masa depanmu,” kata Daniel.
Dia ditangkap pada Desember 2023 atas dakwaan ujaran kebencian dari sebuah unggahan di Facebook yang mengkritik tambak udang ilegal.
Pengadilan Negeri memvonisnya pada April lalu dengan hukuman penjara tujuh bulan.
Keputusan itu dibatalkan dalam proses banding di Pengadilan Tinggi, tetapi jakwa membawa kasus itu melalui banding ke Mahkamah Agung. Jaksa bersikukuh bahwa Daniel tidak seharusnya disebut sebagai aktivis lingkungan.
Aktivitasnya telah menuai hasil, di mana pemerintah dalam beberapa waktu terakhir melakukan inspeksi dan mengharuskan penutupan sejumlah tambak udang ilegal.
“Kita punya tanggung jawab untuk anak-anak, cucu dan generasi mendatang,” ujar dia.
“Saya mengajak orang-orang untuk bermimpi tentang Karimunjawa yang jauh lebih baik, suatu ekosistem hidup, di ruang hidup, rumah hidup ini, yang alamnya menyokong kehidupan disana, menyokong budaya, dan masyarakatnya punya pendidikan dan budaya yang bagus, untuk menyokong alamnya,” tandas Daniel.
Neraka di Dunia
Abdulaziz Bweete tumbuh di Kawempe, sebuah kota kumuh di ibu kota Uganda, Kampala, dan melihat langsung dampak buruk perubahan lingkungan pada masyarakat miskin.
“Saya tumbuh besar dengan melihat banjir di sekitar, tetapi saya tidak tertarik dengan apa yang menyebabkan banjir,” katanya kepada AFP.
Butuh dua hal untuk membangkitkan semangat pria berusia 26 tahun itu: kuliah, dan melihat respons pemerintah Uganda terhadap protes perubahan iklim.
Bweete merupakan bagian dari sekelompok aktivis mahasiswa yang menggelar aksi di parlemen pada Juli, dengan petisi yang menentang proyek minyak bernilai miliaran dolar yang menurut para aktivis, akan berdampak buruk pada lingkungan yang rapuh.
Dia dan beberapa aktivis muda lainnya ditangkap, didakwa dengan penyelenggaraan aksi ilegal, dan ditahan di penjara keamanan maksimum Luzira di Kampala hingga Agustus.
Dia mengatakan kepada AFP bahwa dia dan sesama pengunjuk rasa dipukuli oleh polisi.
Para aktivis tersebut sebelumnya dipenjara dan ditangkap setelah unjuk rasa di ibu kota.
“Tentu saja kami menghadapi banyak tantangan. Saya pernah masuk penjara, saya pernah beradu mulut, atau kami pernah berselisih paham dengan universitas ini, dengan kepala keamanan, karena kami telah membuat beberapa kegiatan di kampus, di mana kami telah melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran, dan memobilisasi mahasiswa untuk menjadi bagian dari seruan ini,” kata Bweete.
“Yang bisa saya katakan, penjara adalah neraka di bumi,” katanya.
“Kami tidak memiliki kebebasan berunjuk rasa di negara ini,” kata Bweete lagi, sambil melihat sekeliling dengan gugup di lingkungan kampus Universitas Kyambogo yang asri.
Demonstrasi di Uganda, negara yang dipimpin dengan tangan besi oleh Presiden Yoweri Museveni selama empat dekade, sering kali ditanggapi dengan tindakan keras oleh polisi.
Bweete mengatakan politik dan perubahan iklim berjalan beriringan.
“Jika kita memiliki pemimpin yang baik, kita dapat memiliki kebijakan iklim yang baik. Ini adalah perjuangan yang panjang, tetapi kami bertekad untuk menang,” tegasnya.
Mempertahankan Kehidupan
Alex Lucitante, seorang tokoh masyarakat pribumi Cofan, di perbatasan antara Ekuador dan Kolombia, menciptakan kemenangan hukum bersejarah pada 2018, atas perusahaan pertambangan di Amazon. Dia berhasil menggagalkan 52 konsesi tambang emas.
Aktivitas itu membantunya memenangkan penghargaan lingkungan Goldman, yang sering disebut sebagai Nobel bagi pembela lingkungan, dua tahun lalu.
“Ancaman terus bertambah setiap hari. Ancaman dari kegiatan ekstraktif terus bertambah, dalam hal ini pertambangan, dan juga dari kepentingan pemerintah untuk menggandakan eksploitasi minyak. Kami sebagai masyarakat adat hidup dari wilayah ini,” kata dia.
Meskipun telah menyiapkan sistem patroli dan bahkan pengawasan pesawat nirawak, hal itu tidak menghentikan para penambang emas untuk melanggar wilayah adat mereka.
“Kerusakan masih terjadi di seluruh tanah kami, dan ancamannya semakin kuat,” katanya kepada AFP, menceritakan tentang penambangan ilegal, penggundulan hutan, dan ancaman dari kelompok bersenjata.
“Saat ini, situasinya sangat kritis di wilayah kami,” tambah dia.
Dia juga mengatakan, bahwa semua aktivitas merusak alam ini terjadi di depan mata dan dengan sepengetahuan pihak berwenang, yang terkadang, tambah Lucitante, terkait dengan pelaku ilegal yang beroperasi di wilayah tersebut.
Aktivis lingkungan itu telah mendesak para pemimpin global untuk mendengarkan “suara masyarakat Pribumi” dan mendengar permohonan mereka untuk “mempertahankan kehidupan”. [ns/jm]