Sejuta botol plastik dibeli setiap menit. Lima triliun kantong plastik digunakan setiap tahun. Setengah dari produksi semua plastik dirancang untuk sekali pakai.
Data mengkhawatirkan dari Program Lingkungan PBB (UNEP) tersebut memperingatkan bahwa plastik kini menjadi bagian dari sejarah fosil bumi dan penanda waktu geologi bumi.
Kampanye global pun bermunculan dan menuntut penghapusan plastik sekali pakai, yang mencemari lautan dan memenuhi tempat pembuangan sampah (TPS) selama berpuluh-puluh tahun.
Phaedra Pezzullo, lektor kepala di University of Colorado Boulder, menekankan pentingnya mengangkat tema plastik untuk memperingati Hari Bumi, karena plastik telah menjadi masalah global.
Ia menjelaskan, manusia menghasilkan sampah plastik yang jauh lebih banyak daripada yang dibayangkan, yaitu sebanyak 400 juta ton. Angka itu meningkat 19.000% dalam satu abad terakhir.
“Kita semua diperkirakan mengonsumsi plastik seukuran satu kartu kredit setiap minggunya, dan (para peneliti) telah mendeteksi adanya plastik—mikroplastik—di paru-paru dan plasenta manusia di setiap sudut bumi. Jadi kita semua menjadi semakin ‘seperti plastik’, meskipun kita tidak tahu apa artinya itu,” ujarnya.
Perkiraan itu mengacu pada sebuah studi yang diprakarsai lembaga amal lingkungan WWF International pada tahun 2019, yang menyebut bahwa polusi plastik begitu mencemari lingkungan sehingga manusia berpotensi menelan lima gram plastik per minggu, atau setara dengan berat satu kartu kredit plastik.
“Setiap daerah perlu mendiskusikan (solusi apa) yang tepat di sana. Dan tentu saja, secara global, kita juga membutuhkan jawaban,” tambah Pezzullo. “Kita butuh solusi diplomatik internasional.”
Memusnahkan plastik adalah sebuah tugas berat, tetapi langkah-langkah kecil yang kita lakukan bisa memberi perubahan besar, kata Judith Enck, mantan pengelola regional Environmental Protection Agency yang kini menjadi ketua lembaga advokasi Beyond Plastics di AS.
“Di AS, berbelanja ke supermarket bagaikan sebuah bencana plastik, tetapi ada langkah-langkah yang kita bisa ambil guna mengurangi plastik. Dibutuhkan kesadaran. Ini sulit, namun jangan sampai menyulitkan diri sendiri. Kita harus sadar bahwa kita juga membeli plastik ketika berbelanja,” jelasnya.
Bagi Enck, yang berbelanja di supermarket produk lokal dan organik di Albany, New York, langkah-langkah yang dimaksudnya termasuk memilih wadah kaca daripada plastic atau membeli telur dengan wadah karton. Enck juga sengaja tidak membeli sayuran yang dibungkus plastik.
“Konsumen perlu tahu bahwa sebagian besar plastik tidak dapat didaur ulang. Hanya 5% hingga 6% plastik yang dapat didaur ulang di AS. Jadi, tips pentingnya adalah mencoba menghindari plastik sebisa mungkin,” lanjutnya.
Enck juga membawa tas belanja sendiri ke supermarket, yang kini menjadi sebuah praktik lazim di New York, sejak negara bagian itu melarang penggunaan kantong plastik beberapa tahun yang lalu.
“Langkah-langkah kecil sekalipun bisa membawa perubahan, karena supermarket-supermarket besar memperhatikan ketika pelanggan meminta bahan kemasan dikurangi. Anak-anak juga memperhatikan. Saat berbelanja bersama mereka, Anda jelaskan mengapa Anda lebih memilih wadah kaca ketimbang plastik. Ini adalah kesempatan untuk mendidik mereka,” jelasnya.
Enck yakin bahwa mengambil prakarsa sendiri merupakan solusi praktis, ketimbang sekadar merasa prihatin dengan kondisi planet kita. [br/jm]