Jakarta, CNN Indonesia —
Matahari akan berada tepat di atas kepala dan diprediksi memberikan paparan maksimum untuk wilayah Jakarta pada Senin (9/10).
Fenomena ini disebut juga kulminasi atau hari tanpa bayangan, yakni ketika Matahari di tengah hari berada tepat di atas kepala. Fenomena yang sama yang terjadi tepat di garis khatulistiwa disebut sebagai ekuinoks (equinox).
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kulminasi berdampak pada kondisi suhu udara yang lebih panas dari biasanya.
“Kulminasi utama terjadi saat kedudukan Matahari tepat di atas kepala kita. Pada saat itu sudut datang sinar matahari akan tegak lurus dengan permukaan bumi, sehingga energi sinar Matahari akan terkonsentrasi pada area yang sempit,” tulis BMKG dalam sebuah Buletin pada 2020.
“Hal ini menyebabkan permukaan bumi menerima energi yang lebih besar, sehingga kondisi suhu udara lebih panas dari biasanya,” lanjut keterangan itu.
Meski demikian, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan fenomena ini tak selalu mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis atau ekstrem.
“Faktor-faktor lain seperti kecepatan angin, tutupan awan, dan tingkat kelembapan udara memiliki dampak yang lebih besar terhadap suhu di suatu wilayah,” tutur dia, pekan lalu.
“Tidak ada perubahan suhu maksimum di Indonesia yang besar saat fenomena equinox terjadi, biasanya kisaran 32 – 36 C,” tambahnya.
Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG hingga Kamis (5/10), suhu minimum di berbagai daerah administratif Jakarta mencapai 25 atau 26 derajat C, dengan suhu maksimum senada, yakni 35 derajat C.
Soal ekuinoks, Guswanto mengatakan ini merupakan fenomena astronomi terkait posisi titik semu Matahari yang melintasi khatulistiwa atau ekuator.
Efek dari fenomena ini adalah durasi siang dan malam hampir sama, yaitu sekitar 12 jam masing-masing di atas wilayah yang dilaluinya. Fenomena ekuinoks terjadi dua kali dalam satu tahun, yakni sekitar tanggal 21 Maret dan 23 September setiap tahunnya.
“Saat fenomena ini berlangsung, Matahari dengan bumi memiliki jarak paling dekat dengan Bumi, sehingga wilayah tropis di sekitar ekuator (khatulistiwa) mendapatkan penyinaran matahari maksimum,” papar Guswanto.
Masalahnya, pada periode yang sama Jakarta dan sekitarnya masuk wilayah potensi kekeringan meteorologis (dasarian I atau 10 hari pertama Oktober), fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang memuncak, hingga minim tutupan awan.
“Kenapa Oktober panas banget? Kalau hanya El Nino 3.4 saja kita akan terkecoh, tapi puncak IOD itu sepertinya jatuh pada Oktober,” ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan, dikutip dari Antara.
“Pemanasan berasal dari wilayah timur, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa Timur termasuk Surabaya. Tidak ada El Nino saja panasnya seperti itu di Surabaya, (apalagi) ditambah El Nino dan IOD yang mencapai puncak periode Oktober,” tuturnya.
Kapan kulminasi terjadi di Jakarta dan sekitarnya?
Menurut keterangan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, hari tanpa bayangan di Jakarta akan terjadi pada Senin (9/10), tepatnya pukul 11.40 WIB.
Hari tanpa bayangan juga akan terjadi di Kota Bogor pada keesokan harinya, Selasa (10/10) pukul 11.39 WIB.
Waspadalah!