Ingin tahu rasanya tinggal dalam rumah yang hampir semuanya terbuat dari sampah plastik? Barangkali Anda perlu berkunjung ke rumah aktivis lingkungan asal Prancis yang kini tinggal di Bali, Gary Bencheghib.
Bencheghib menyebut rumah itu “Pondok Alit”, yang artinya Rumah Kecil dalam bahasa Bali, sesuai luasnya yang hanya 12 meter persegi.
“Kita menggunakan 35.000 kantong keresek plastik yang kita olah menjadi papan yang dibutuhkan untuk membuat dinding, lantai, dan atap (rumah ini). Semua yang ada di dalam rumah seperti tempat tidur, kamar mandi dan dapur juga dari plastik. Semua ini berasal dari sampah plastik yang kita kumpulkan dari sungai dan kemudian diproses,” jelasnya.
Telah lebih dari setengah tahun, Bencheghib, mengaku tidur di rumah bergaya minimalis itu. Jadi jangan harap pengunjung menemukan benda mewah atau moderen di sana. Untuk mengatasi udara Bali yang panas, rumah ini juga mengandalkan sistem ventilasi udara alami.
“The inspiration behind this is really to show that apapun dari sampah palstik yang paling kotor bisa menjadi karya kreatif bila kita giving them the second life,” komentarnya.
Penerima penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award tahun 2022 ini adalah pendiri organisi nirlaba “Sungai Watch”. Organisasi yang didirikan pada tahun 2020 ini memiliki tujuan utama membersihkan sungai-sungai yang tersumbat, pantai-pantai yang kotor, dan tempat-tempat pembuangan sampah ilegal di sekitar Bali dan Jawa. Target utama organisasi itu adalah menghentikan sampah, khususnya berbagai hal yang terbuat dari plastik, masuk ke laut.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan mencatat, sepanjang tahun 2021 saja Bali memproduksi 915.500 ton sampah, dan menjadikan Bali provinsi penghasil sampah terbesar ke-8 di Indonesia.
Setelah menyelesaikan rumah pertamanya yang terbuat dari plastik daur ulang, Bencheghib ingin mengembangkan lebih lanjut model rumah itu dan memproduksinya secara massal untuk korban bencana alam. Namun, ia mengaku, usahanya itu masih berliku mengingat tidak murahnya upaya mendaur ulang sampah plastik menjadi bahan baku rumah. Ia hanya berharap, jika teknologi memungkinkan, rumah plastik kelak dibuat secara massal di pabrik.
“Apakah bisa jadi seperti prefab, artinya dibuat di pabrik sehingga di lapangan kita hanya tinggal merakitnya,” jelasnya.
Tidak hanya Gary dan Sungai Watch yang berusaha mendaur uang sampah plastik untuk menyelamatkan lingkungan. Salah satu klub pantai kelas atas di Bali juga mendorong upaya nol sampah dengan membuat furnitur dan ornamen dekorasi sendiri dari sampah plastik. Kursi, kalung, kotak tisu, dan tatakan gelas di klub pantai Potato Head dibuat di fasilitas mereka sendiri dengan menggunakan berkilo-kilo sampah plastik.
Menurut Chief Experience Officer dari Potato Head, Simon Pestridge, usaha untuk mengatasi sampah sebetulnya sudah mulai dilakukan klub pantai itu sejak didirikan.
“Sejak mendirikan klub pantai ini 12 tahun lalu, kami memanfaatkan 6 ribu daun jendela bekas dari berbagai penjuru Indonesia untuk kebutuhan dekorasi. Idenya adalah kami harus terus mencari cara-cara baru memanfaatkan apa yang selama ini dianggap sampah untuk sesuatu yang bisa menciptakan pengalaman yang indah. Jadi itu sudah mendarah daging di Potato Head sejak awal,” jelasnya.
Pestridge mengatakan, perhatian klub pantainya mulai terfokus pada sampah plastik pada tahun 2016, ketika sampah jenis itu mencemari banyak pantai di Indonesia, terutama Bali, dan merusak kehidupan laut. Sampah-sampah itu, katanya, berasal dari sungai-sungai yang dipenuhi polutan plastik. Ia dan timnya merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
“Ini benar-benar sebuah proses yang didasarkan pada kreativitas, jadi kami melihat limbah yang dihasilkan dan kemudian kami mencoba untuk berkreasi tentang apa yang dapat kami lakukan dengannya, menggunakan sains, desain, berbagai elemen,” imbuhnya.
Dari Juni tahun 2022 hingga April 2023, Potato Head, menurut Prestidge telah mendaur ulang sekitar seribu kilogram sampah plastik untuk berbagai proyek ramah lingkungan.
Tidak hanya sampah plastik, Potato Head juga, berupaya meminimalisir sampah lainnya seperti minyak bekas dan botol anggur kosong. Kedua barang itu, contohnya, digunakan, untuk membuat lilin yang dibutuhkan untuk dekorasi dan penerangan. Pestridge mengaku, apa yang dilakukan klub pantainya mendapat sambutan positif para pelanggannya.
“Kami memilik etos, indah dan berkelanjutan. Oleh karena itu apa yang kami ciptakan harus indah dan menciptakan pengalaman yang lebih baik bagi para tamu tapi mendukung keberlanjutan lingkungan. Dan mereka menanggapi positif hal ini,” komentarnya.
Pantai-pantai ikonik Bali dalam beberapa tahun terakhir kerap dipenuhi sampah plastik, terutama saat musim hujan mencapai puncaknya. Tak sedikit di antaranya berasal dari kiriman pulau di dekatnya, Jawa. Angin kencang dan hujan menyapu sampah dari Jawa ke Bali. Meski demikian, penduduk lokal dan banyak wisatawan optimistis bahwa Bali bergerak ke ‘arah yang benar’.
Napas Vongkusolkit, turis asal Thailand, mengatakan, “Sungguh mengesankan inisiatif orang Bali, hotel, dan apa yang dilakukan kebanyakan orang di sekitar sini dalam hal mengumpulkan dan mendaur ulang sampah.”
Upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi sampah plastik di pulau wisata ini antara lain melalui pelarangan penggunaan kantong plastik di supermarket-supermarket.
Polusi plastik mengancam eksistensi banyak spesies laut, dan mikroplastik kini telah menjadi bagian dari rantai makanan mereka. Kelompok-kelompok lingkungan memperingatkan sampah plastik menimbulkan konsekuensi yang parah bagi kehidupan dan planet ini. [ab/uh]