Jakarta, CNN Indonesia —
Peraturan tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai memiliki enam masalah krusial, terutama terkait hak asasi manusia (HAM).
Aturan PSE itu sendiri tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 10 Tahun 2021 tentang perubahan atas Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat.
Usai memberi tenggat pendaftaran pada 20 Juli, Kominfo memberi tambahan waktu pendaftaran lima hari kerja untuk PSE yang belum mendaftar, hingga 28 Juli. Beberapa yang belum mendaftar di antaranya adalah LinkedIn, Yahoo, DoTA.
“Pendaftaran PSE merupakan langkah awal negara untuk mengatur platform sedemikian rupa di dalam cengkraman negara,” demikian keterangan Koalisi SERIUS Revisi UU ITE, Selasa (26/7).
“Alih-alih memberikan platform digital keleluasaan untuk melakukan inovasi sebagaimana karakteristiknya, Pendaftaran PSE ini justru menakut-nakuti user platform dengan berbagai macam restriksi yang menyebabkan matinya kemampuan daya kreatif,” lanjut Koalisi.
Untuk lebih lengkapnya, Koalisi SERIUS Revisi UU ITE mencatat setidaknya enam masalah terkait pemberian akses PSE ini:
1. Lingkup sangat luas, rentan ‘abuse’
Pasal 21 ayat (1) Permenkominfo menjelaskan definisi ‘pengawasan’, sebagai dasar permintaan akses, yang sangat luas. Bahwa, ‘pengawasan’ dilakukan sesuai dengan peraturan UU.
“Sayangnya, saat ini legislasi utama terkait pelindungan data pribadi yang komprehensif yakni RUU PDP belum disahkan,” kata Koalisi.
“Jika nantinya, Otoritas PDP yang didirikan berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian dari K/L atau LPNK, otomatis Pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri sehingga potensi abuse of power akan sangat tinggi,” sambungnya.
2. Minim pengawasan yudisial
Permenkominfo 5/2020 mengatur permintaan akses dari Kementerian maupun aparat penegak hukum untuk tujuan ‘pengawasan’ dapat dilakukan tanpa surat penetapan dari pengadilan negeri (Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 32).
“Surat penetapan pengadilan negeri hanya dibutuhkan untuk (1) akses terhadap ‘sistem elektronik’, kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana 2-5 tahun (Pasal 33), dan (2) akses terhadap ‘konten komunikasi’ (pasal 36).”
3. Waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses
Aturan itu mewajibkan PSE Privat harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender (Pasal 27, 31, 37, 41, dan 42).
“Jangka waktu yang sangat sempit ini tidak memberikan waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisa secara seksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan UU,” kata Koalisi.
Di saat yang sama, Permenkominfo 5/2020 ini berlaku sangat luas bagi seluruh PSE lingkup privat dengan berbagai skala usaha dan kapasitas.
4. sanksi yang tak proporsional
Pasal 45 Permenkominfo itu mengatur bahwa ketidakpatuhan akan berujung pada penjatuhan sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian sementara, pemutusan akses, dan/atau pencabutan tanda daftar PSE.
“Selain sanksi berupa penghentian sementara dan pemutusan akses merupakan sanksi yang disproporsional dan juga melanggar prinsip proporsionalitas (dalam syarat 3 tahap pembatasan HAM), Permenkominfo 5/2020 juga luput mengatur secara ketat apakah sanksi-sanksi administratif diterapkan secara berjenjang,” kata Koalisi.
5. Nihil mekanisme banding
Permenkominfo 5/2020 tidak membuka ruang bagi PSE Privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk.
Selain itu, tak ada hak-hak subjek data khususnya terkait hak atas notifikasi ketika datanya diminta untuk diakses oleh Kementerian/Lembaga dan/atau aparat penegak hukum.
6. Potensi akses langsung ke ‘sistem elektronik’
Pasal 39 Permenkominfo memfasilitasi akses APH terhadap ‘sistem elektronik’.
Meskipun harus dilakukan berdasarkan surat penetapan pengadilan, pasal ini membuka potensi aparat untuk mendapat akses langsung yang disproporsional terhadap ‘sistem elektronik’.
“Khususnya ketika membaca ketentuan Pasal 39 ayat (4) yang hanya mengatur mengenai opsi-opsi akses, tapi tidak secara eksplisit membatasi adanya akses langsung,” ujar Koalisi.
“Akses langsung terhadap ‘sistem elektronik’ merupakan bentuk akses yang sangat intrusif karena memberikan akses tak terbatas kepada APH sehingga membuka potensi penyalahgunaan wewenang yang besar,” cetusnya.
Menanggapi masalah ini, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menyebut akses penegak hukum ke data PSE diperlukan, terutama jika perusahaan terindikasi melakukan kejahatan.
“Bagaimana kalo kejahatan itu dilakukan oleh perusahaannya sendiri, Binomo contohnya dan DNA Robot,” katanya di kantor Kominfo, Selasa (19/7)
“Aparat harus bisa masuk ke sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatannya,” imbuhnya.
Terkait konten, Semuel menyebut pihaknya memiliki sistem tata kelola untuk menanganinya, seraya menyebut pihak PSE juga mengetahui sistem tersebut.
“Kalau terkait konten, kita sudah ada tata kelolanya. Mereka sudah tahu juga kok, kita enggak sembarangan, ada dialog,” tuturnya.
Kemudian menanggapi diksi “ketertiban umum” yang dianggap abu-abu, Semuel menjelaskan pemblokiran akan dilakukan setelah konten tersebut membuat gaduh. Ia menyebut pemblokiran perlu dilakukan untuk meredam kegaduhan yang terjadi.
“Dan itu yang salah satunya meredam adalah melakukan pemblokiran. Hal-hal yang bener-bener terjadi, bukannya kita apa-apa terus di-takedown,” jelas Semuel.
“Namanya mengganggu ketertiban umum, jadi rame, semua orang membicarakannya,” imbuhnya menegaskan makna mengganggu ketertiban umum.