Washington — Dua astronaut Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) yang terbang ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space Station/ISS) pada Juni dengan kapsul Starliner dari Boeing yang mengalami kerusakan akan pulang ke Bumi pada awal tahun depan menggunakan wahana antariksa milik SpaceX. Pejabat NASA mengatakan masalah pada sistem propulsi Starliner membuat kapsul tersebut terlalu berisiko untuk mengangkut awaknya kembali, sehingga NASA memutuskan untuk menggunakan SpaceX demi keselamatan perjalanan pulang. Astronaut veteran NASA Butch Wilmore dan Suni Williams, yang merupakan mantan pilot uji militer, menjadi awak pertama yang terbang dengan Starliner pada 5 Juni. Mereka terbang ke ISS untuk menjalani misi uji coba yang semula diperkirakan hanya membutuhkan waktu delapan hari. Namun, sistem propulsi Starliner mengalami berbagai gangguan dalam 24 jam pertama penerbangannya ke ISS. Akibatnya, para astronaut terpaksa tinggal di stasiun selama 79 hari sementara Boeing bekerja cepat untuk menyelidiki masalah tersebut. Para pejabat NASA mengatakan dalam konferensi pers di Houston bahwa Wilmore dan Williams dalam keadaan aman dan siap untuk tinggal lebih lama. Mereka akan memanfaatkan waktu tambahan mereka untuk melakukan eksperimen sains bersama tujuh astronaut lainnya di stasiun. Kedua astronaut tersebut adalah mantan pilot uji militer. Wilmore dan Williams dijadwalkan kembali ke Bumi pada Februari 2025 dengan pesawat ruang angkasa SpaceX Crew Dragon. Pesawat tersebut, yang akan diluncurkan bulan depan sebagai bagian dari misi rotasi rutin, akan memberikan dua kursi khusus Keputusan NASA untuk menggunakan pesaing utama Boeing dalam mengembalikan astronaut merupakan langkah besar dalam beberapa tahun terakhir. Boeing berharap misi uji Starliner dapat memperbaiki program yang mengalami masalah dalam pengembangan dan pembengkakan anggaran sebesar lebih dari $1,6 miliar atau Rp24,64 triliun sejak 2016. Lima dari 28 pendorong Starliner gagal, salain itu terjadi beberapa kebocoran helium yang digunakan untuk memberi tekanan pada pendorong. Meski begitu, pesawat tersebut berhasil mendarat di stasiun luar angkasa, yang merupakan tempat tinggal kru astronaut selama lebih dari dua dekade. NASA menyatakan bahwa Starliner akan lepas landas dari ISS tanpa awak pada “awal September.” Pesawat ruang angkasa tersebut akan mencoba kembali ke Bumi secara otomatis, mengesampingkan tujuan awalnya untuk membawa awak dan mengendalikan perjalanan pulang. “Saya tahu ini bukan keputusan yang kami harapkan, tetapi kami siap melakukan langkah yang diperlukan untuk mendukung keputusan NASA,” kata Kepala Starliner Boeing Mark Nappi kepada karyawan melalui email. “Fokus utama tetap pada memastikan keselamatan awak dan pesawat ruang angkasa,” kata Nappi. Beberapa pejabat senior NASA dan perwakilan Boeing membuat keputusan tersebut dalam pertemuan yang diadakan Sabtu (24/8) pagi di Houston. Ken Bowersox, Kepala Operasi Ruang Angkasa NASA, menyatakan bahwa pejabat agensi secara aklamasi memilih Crew Dragon untuk membawa pulang astronaut. Sementara itu, Boeing tetap memilih Starliner, yang menurut mereka aman. Nelson mengatakan kepada wartawan di konferensi pers Houston bahwa ia telah berdiskusi dengan CEO baru Boeing, Kelly Ortberg, mengenai keputusan tersebut. Ia yakin Boeing akan terus melanjutkan program Starliner. Nelson juga menyatakan keyakinannya “100 persen” bahwa wahana antariksa itu akan kembali menerbangkan astronaut pada masa mendatang. Boeing menghadapi kesulitan dalam mengembangkan Starliner, kapsul yang dirancang untuk bersaing dengan Crew Dragon sebagai opsi kedua dalam mengirim astronaut ke orbit. Selain itu, perusahaan juga mengalami masalah kualitas dalam produksi pesawat komersialnya. Starliner gagal meluncur ke ISS tanpa awak dalam uji coba 2019, tetapi berhasil sebagian dalam uji ulang 2022 meski mengalami masalah pendorong. Misi pada Juni dengan awak pertama diperlukan agar NASA bisa mensertifikasi kapsul untuk penerbangan rutin. Namun, sekarang proses sertifikasi Starliner menjadi tidak pasti. Misi yang memakan waktu lama ini membuat Boeing harus merogoh kocek sebesar $125 juta atau Rp1,93 triliun. Perusahaan tersebut melakukan berbagai uji coba dan simulasi di Bumi untuk meyakinkan NASA bahwa Starliner aman untuk mengangkut kru kembali ke Bumi. Namun, pengujian itu memunculkan masalah teknis baru dan gagal mengatasi kekhawatiran NASA tentang pendorong Starliner. Masalah ini juga menimbulkan keraguan mengenai kemampuan kapsul untuk membawa kru pulang, yang merupakan bagian tersulit dari misi itu. [ah/ft]
Month: August 2024
Studi: Kebijakan ‘Pencemar Membayar’ Bisa Turunkan Emisi Karbon
Washington — Untuk mengetahui apa yang benar-benar berhasil saat banyak negara mencoba melawan perubahan iklim, para peneliti mengamati 1.500 cara yang telah dicoba oleh negara-negara untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Jawaban mereka: Tidak banyak yang berhasil. Dan keberhasilan sering kali berarti seseorang harus membayar harganya, baik di SPBU maupun di tempat lain. Menurut sebuah studi baru dalam jurnal Science edisi Kamis (22/8), para peneliti menemukan hanya 63 kasus sejak 1998 yang menunjukkan kebijakan yang menghasilkan pengurangan polusi karbon yang signifikan, Upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan mesin-mesin berbahan bakar gas, misalnya, belum berhasil dengan sendirinya. Namun, akan lebih berhasil jika dikombinasikan dengan semacam pajak energi atau sistem biaya tambahan, demikian kesimpulan yang didapat penulis studi dalam analisis mendalam tentang emisi global, kebijakan iklim, dan hukum. “Kunci utama jika Anda ingin mengurangi emisi adalah Anda harus memiliki harga dalam pembuatan kebijakan.” kata salah satu penulis studi, Nicolas Koch, seorang ekonom iklim di Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam di Jerman. “Jika subsidi dan regulasi diterapkan sendiri-sendiri atau dipadukan, Anda tidak akan melihat pengurangan emisi yang signifikan. Namun, jika instrumen harga diterapkan seperti pajak energi karbon, maka pengurangan emisi yang substansial akan tercapai.” Studi itu juga menemukan bahwa apa yang berhasil di negara-negara maju tidak selalu berhasil di negara-negara berkembang. Namun, hal itu menunjukkan kekuatan finansial dalam memerangi perubahan iklim, seperti yang selalu diperkirakan oleh para ekonom, kata beberapa pakar kebijakan luar, ilmuwan iklim, dan ekonom yang memuji studi tersebut. “Kita tidak akan memecahkan masalah iklim di negara-negara maju sampai pencemar membayar,” kata Rob Jackson, ilmuwan iklim Universitas Stanford dan penulis buku Clear Blue Sky. “Kebijakan lain membantu, tetapi hanya sedikit.” “Penetapan harga karbon membebankan tanggung jawab pada pemilik dan produk yang menyebabkan krisis iklim,” kata Jackson melalui email. Koch mengatakan, contoh terbaik dari strategi yang berhasil adalah di sektor kelistrikan di Inggris. Negara itu menerapkan gabungan dari 11 kebijakan berbeda mulai 2012, termasuk penghentian penggunaan batu bara dan skema penetapan harga yang melibatkan perdagangan emisi. Menurut Koch, gabungan kebijakan itu berhasil mengurangi hampir separuh emisi di Inggris. “Dampak yang sangat besar,” katanya. Dari 63 kisah sukses penanganan iklim, pengurangan terbesar terlihat di sektor bangunan Afrika Selatan, di mana kombinasi regulasi, subsidi, dan pelabelan peralatan mengurangi emisi hampir 54%. Satu-satunya kisah sukses di Amerika Serikat adalah di bidang transportasi. Emisi turun 8 persen dari 2005 hingga 2011 berkat perpaduan standar bahan bakar — yang berarti regulasi — dan subsidi. Namun, bahkan perangkat kebijakan yang tampaknya berhasil masih belum mampu mengurangi emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Secara keseluruhan, 63 contoh kebijakan iklim yang berhasil memangkas 600 juta hingga 1,8 miliar metrik ton gas yang memerangkap panas, demikian temuan studi tersebut. Tahun lalu, dunia mengeluarkan 36,8 miliar metrik ton karbon dioksida saat membakar bahan bakar fosil dan proses pembuatan semen. Jika setiap negara besar bisa mempelajari pelajaran dari analisis itu dan memberlakukan kebijakan yang paling berhasil, hal itu hanya akan mempersempit “kesenjangan emisi” sebesar 26 persen dari 23 miliar metrik ton “kesenjangan emisi” dari seluruh gas rumah kaca yang dikalkulasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kesenjangan tersebut adalah perbedaan antara seberapa banyak karbon yang akan dilepaskan dunia ke udara pada t2030 dan jumlah yang akan menjaga pemanasan pada atau di bawah tingkat yang disepakati secara internasional. “Hal ini pada dasarnya menunjukkan bahwa kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik,” kata Koch, yang juga merupakan kepala laboratorium evaluasi kebijakan di Mercator Research Institute di Berlin. Niklas Hohne dari Institut Iklim Baru Jerman, yang tidak terlibat langsung dalam penelitian tersebut mengatakan: “Dunia benar-benar perlu melakukan perubahan besar, beralih ke mode darurat dan menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.” Koch dan timnya mengamati emisi dan upaya untuk menguranginya di 41 negara antara 1998 dan 2022, yang mencakup 1.500 tindakan kebijakan. Jadi, pengamatan Koch tidak termasuk paket belanja penanggulangan iklim senilai hampir $400 miliar atau setara Rp 6 kuadriliun yang disahkan dua tahun lalu sebagai landasan kebijakan lingkungan Presiden Joe Biden. Mereka mengelompokkan kebijakan dalam empat kategori besar, yaitu penetapan harga, regulasi, subsidi, dan informasi serta menganalisis empat sektor ekonomi yang berbeda: listrik, transportasi, bangunan, dan industri. Tim tersebut menciptakan pendekatan yang transparan secara statistik yang dapat digunakan orang lain untuk memperbarui atau mereproduksi pendekatan tersebut, termasuk situs web interaktif tempat pengguna dapat memilih negara dan sektor ekonomi untuk melihat apa yang berhasil. Dan pendekatan tersebut pada akhirnya dapat diterapkan pada paket iklim Biden 2022, katanya. Paket tersebut sangat bergantung pada subsidi. John Sterman, seorang profesor manajemen di MIT Sloan Sustainability Institute yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa politisi merasa lebih mudah untuk meloloskan kebijakan yang mensubsidi dan mempromosikan teknologi rendah karbon. Ia mengatakan hal itu tidak cukup. “Penting juga untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil dengan menetapkan harga yang mendekati biaya penuhnya, termasuk biaya kerusakan iklim yang ditimbulkannya,” katanya. [rz/ft]
Kominfo buka 4.215 formasi untuk CPNS 2024
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) resmi mengumumkan pembukaan seleksi CPNS tahun 2024 bagi pelamar …
Cara instal permainan Pokemon Go di ponsel
Permainan Pokemon Go menggabungkan teknologi kamera ponsel pintar berbasis Android OS atau iOS dengan teknologi …
Apa itu Pokemon Go?
Pokemon Go merupakan sebuah aplikasi permainan ponsel gratis dengan teknologi pelacakan lokasi "global positioning …
Pemerintah Berencana Pensiunkan Sebagian Pembangkit PLTU Suralaya
Jakarta — Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Rabu (21/8), bahwa pemerintah mungkin akan menutup operasi sebagian unit pembangkit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Suralaya untuk mengurangi polusi udara di Jakarta. Luhut mengatakan pemerintah berencana menutup kapasitas pembangkitan sebesar 2 gigawatts (GW) dari total 4GW yang dioperasikan oleh PLTU Suralaya, yang berlokasi di Cilegon, Banten. “(Menutup Suralaya) penting untuk polusi udara di Jakarta,” kata Luhut di sela-sela konferensi energi surya di Jakarta. “Kami sedang membahas dan kami akan mengumumkan segera.” Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengoperasikan PLTU Suralaya tidak segera memberi komentar. PLN mengoperasikan delapan unit pembangkitan di kompleks PLTU Suralaya. Unit pembangkitan listrik tertua di PLTU tersebut sudah beroperasi sejak 1980. PLTU Suralaya adalah salah satu pembangkit yang memasok listrik untuk Jakarta. Namun, Suralaya juga dituding sebagai penyebab tingginya tingkat polusi udara di Jakarta, yang dihuni sekitar 10 juta jiwa. Warga Jakarta mengeluhkan kualitas udara yang buruk dari kemacetan lalu lintas kronis, asap industri dan PLTU yang menggunakan batu bara. Pada 2021, sejumlah warga Jakarta melayangkan gugatan perdata, menuntut pemerintah mengambil langkah untuk mengontrol polusi udara. Deputi Menko Maritim, Rachmat Kaimuddin, mengatakan di sela-sela konferensi yang sama bahwa pembahasan mengenai perhitungan biaya dan perincian lainnya untuk menutup unit-unit pembangkit di PLTU Suralaya, masih berlangsung. Ketika pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menutup operasi sejumlah unit pembangkitan di PLTU Suralaya, di sisi lain, PLN masih menambah kapasitas pembangkitan. Melalui usaha patungan yang didirikan bersama dengan PT Barito Pacific, PT Indo Raya Tenaga, PLN sedang membangun PLTU di Suralaya dengan kapasitas batu bara yang lebih modern untuk memasok listrik untuk Jawa dan Bali. Unit pembangkitan listrik yang baru itu akan beroperasi akhir Agustus, Reuters melaporkan, mengutip kantor berita Antara. [ft/rs]
Australia Beri Lampu Hijau Pembangunan PLTS Terbesar di Dunia
Sydney, Australia — Australia pada Rabu (21/8) menyetujui rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai yang digadang-gadang sebagai “kawasan tenaga surya terbesar di dunia”. PLTS itu nantinya akan mengekspor listrik ke Singapura. Otoritas Australia mengumumkan persetujuan lingkungan hidup untuk proyek SunCable senilai $24 miliar di wilayah utara Australia yang terpencil dan direncanakan akan memasok listrik ke tiga juta rumah. Proyek tersebut akan mencakup pembangunan serangkaian panel surya, baterai, dan, pada akhirnya, kabel yang menghubungkan Australia dengan Singapura. Proyek masif itu disokong oleh miliarder teknologi dan aktivis lingkungan hidup, Mike Cannon-Brookes. “Proyek ini akan menjadi kawasan tenaga surya terbesar di dunia –- dan menjadikan Australia sebagai pemimpin dunia dalam energi ramah lingkungan,” kata Menteri Lingkungan Hidup Tanya Plibersek. Produksi energi diharapkan dapat dimulai pada 2030. Proyek yang menempati lahan seluas 12.000 hektare itu akan menyediakan 4 gigawatt energi per jam (GWh) untuk keperluan rumah tangga.s. Dua gigawatt lagi, yang akan dikirim ke Singapura melalui kabel bawah laut, akan memasok sekitar 15 persen kebutuhan negara kota tersebut. Baterai akan mampu menyimpan daya sekitar 40 GW. Direktur pelaksana SunCable Australia Cameron Garnsworthy mengatakan persetujuan tersebut merupakan “momen penting dalam perjalanan proyek.” Meskipun lampu hijau telah diberikan pada Rabu, masih banyak proses persetujuan yang masih berjalan, termasuk bekerja sama dengan otoritas pasar energi Singapura, Pemerintah Indonesia, dan komunitas Pribumi Australia. “SunCable sekarang akan memfokuskan upayanya pada tahap perencanaan berikutnya untuk memajukan proyek menuju keputusan investasi akhir (Final Investment Decision/FID) yang ditargetkan pada 2027,” kata Garnsworthy. Pemimpin Energi Bersih Australia saat ini merupakan salah satu eksportir batu bara dan gas terbesar di dunia. Namun, negara itu juga dilanda dampak perubahan iklim, mulai dari panas terik hingga banjir dan kebakaran hutan. Meskipun masyarakat Australia merupakan salah satu negara yang paling antusias mengadopsi panel surya rumah tangga, sejumlah pemerintah negara bagian masih lamban dalam memanfaatkan sepenuhnya energi terbarukan. Pada 2022, energi terbarukan menyumbang 32 persen dari total pembangkitan listrik di Australia, dibandingkan dengan batu bara, yang menyumbang 47 persen, menurut data terbaru pemerintah. Direktur Institut Perubahan Energi di Universitas Nasional Australia Ken Baldwin mengatakan proyek ini adalah proyek “yang pertama di dunia” yang mengekspor listrik terbarukan dari tenaga surya dan angin dalam skala sebesar itu. “Australia mempunyai sumber daya tenaga surya dan angin yang terbaik dibandingkan negara mana pun, dan sebagai hasilnya, Australia memasang tenaga surya dan angin dengan tingkat tercepat dibandingkan negara mana pun di dunia berdasarkan basis per kapita,” katanya kepada AFP. Namun momentum ini harus terus berlanjut, terutama jika Australia ingin mencapai target net zero pada 2050, kata Baldwin. [ft/rs]
Cara beli tiket bus online
Beli tiket bus online diyakini sebagai cara yang efektif karena pelanggan bisa melakukannya dari manapun dan …
Menteri Lingkungan Brazil: G20 Harus Fokus pada Perubahan Iklim
Menteri Lingkungan Hidup Brazil Marina Silva, pada Selasa (20/8), mengatakan bahwa salah satu prioritas pertemuan G20 mendatang adalah memastikan suhu dunia tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius. Dalam pertemuan persiapan KTT…
Cara menghitung persen di kalkulator ponsel, mudah dipahami
Sering kali kita dihadapkan pada situasi di mana harus menghitung angka persen. Menghitung persentase adalah …