Beberapa wilayah di Pulau Jawa yang telah lama kering kini diprediksi akan diguyur hujan dalam waktu dekat. Simak sebab-sebabnya.
Month: October 2023
VIDEO: TN Ujung Kulon Tangkap Aktivitas Badak Jawa Betina Usia 8 Bulan
Kamera trap di Taman Nasional Ujung Kulon berhasil merekam aktivitas anak badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus.
Samsung luncurkan Galaxy A05s dan A05 dengan chip Snapdragon 680
Samsung Electronics Indonesia resmi menghadirkan seri Galaxy A baru, yaitu Galaxy A05s dan A05 yang sudah dibekali dengan prosesor Snapdragon 680 dan menjadi yang termurah di jajaran ponsel pintar Samsung di Indonesia …
Indosat Ooredoo Hutchison Gandeng Setara Networks Luncurkan Layanan Transaksi Instan, Gratis Biaya
Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) dan Setara Networks (tara) berkolaborasi meluncurkan fitur transaksi instan tanpa biaya tambahan.
10 Tim Futsal SMA/SMK Se-Indonesia Siap Rebutan Hadiah Total Rp435 Juta di AXIS Nation Cup 2023
Sebanyak 10 tim telah berhasil masuk babak puncak turnamen AXIS Nation Cup 2023.
Pemprov Bali libatkan masyarakat untuk dukung KTT AIS Forum
Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra mengatakan Pemerintah Provinsi Bali melakukan beberapa cara dalam memberdayakan masyarakat lokal untuk bisa terlibat aktif dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelago …
Peralatan rumah tangga buatan Turki populer di China
Pasar China menunjukkan peningkatan preferensi konsumen terhadap peralatan rumah tangga dari Turki dalam beberapa tahun terakhir ini, lapor Xinhua pada Jumat. "Produk-produk Turki seperti teko kopi listrik, oven, kompor, …
UNICEF: Jutaan Anak Mengungsi Akibat Cuaca Ekstrem
Rata-rata sekitar 20.000 anak terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap hari antara 2016 dan 2021 karena terdampak badai, banjir, kebakaran dan cuaca ekstrem lain yang diperburuk oleh perubahan iklim, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan, sebuah perkiraan yang hanya memperhitungkan risiko dari sungai yang banjir, angin topan dan banjir akibat badai menyebutkan bahwa lebih dari 113 juta anak harus mengungsi dalam tiga dekade ke depan, kata laporan UNICEF yang dirilis pada Jumat (6/10). Penderitaan akibat bencana yang berkepanjangan seperti kekeringan seringkali tidak dilaporkan. Anak-anak harus mengungsi setidaknya 1,3 juta kali akibat kekeringan selama tahun-tahun yang diulas dalam laporan tersebut – lebih dari separuhnya di Somalia. Jumlah itu pun kemungkinan besar masih di bawah jumlah sebenarnya, kata laporan tersebut. Berbeda dengan banjir atau badai, tidak ada evakuasi preventif selama musim kemarau. Di seluruh dunia, perubahan iklim telah menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Kenaikan permukaan laut menggerogoti garis pantai; badai menerjang kota-kota besar; sementara kekeringan memperburuk konflik. Namun, meski bencana semakin parah, dunia belum mengakui keberadaan migran akibat dampak iklim dan belum menemukan cara untuk melindungi mereka. Sekitar 43 juta dari 134 juta orang yang mengungsi akibat cuaca ekstrem dari tahun 2016-2021 adalah anak-anak. Hampir separuhnya terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat badai. Dari jumlah tersebut, hampir 40 persen terjadi di Filipina. Banjir membuat anak-anak mengungsi lebih dari 19 juta kali di tempat-tempat seperti India dan China. Kebakaran hutan menyebabkan 810.000 anak mengungsi di AS dan Kanada. Pelacakan data migrasi akibat cuaca ekstrem biasanya tidak membedakan anak-anak dan orang dewasa. UNICEF bekerja sama dengan lembaga nirlaba asal Jenewa, International Displacement Monitoring Center, untuk memetakan daerah-daerah yang paling berdampak pada anak-anak. Filipina, India dan China merupakan negara dengan jumlah pengungsi anak terbanyak akibat bencana iklim, yaitu hampir setengahnya. Negara-negara itu juga memiliki populasi yang besar dan sistem yang kuat untuk mengevakuasi orang, sehingga memudahkan mereka mencatat data. Namun, rata-rata anak-anak yang tinggal di Tanduk Afrika atau di pulau kecil di Karibia lebih rentan. Banyak di antara mereka yang mengalami “krisis yang tumpang tindih” – di mana risiko akibat iklim yang ekstrem diperburuk oleh konflik, lemahnya institusi pemerintahan dan kemiskinan. Meninggalkan rumah membuat anak-anak menghadapi risiko tambahan. Selama banjir Sungai Yamuna yang belum pernah terjadi sebelumnya Juli lalu di Ibu kota India New Delhi, air yang bergejolak menghanyutkan gubuk yang menjadi rumah bagi keluarga Garima Kumar yang berusia 10 tahun. Air menghanyutkan seragam sekolah dan buku-buku pelajarannya. Kumar terpaksa tinggal bersama keluarganya di trotoar kota metropolitan dan tidak masuk sekolah selama sebulan. Banyak anak di Vietnam, juga negara lain seperti India dan Bangladesh, akan terpaksa mengungsi di masa depan. Pembuat kebijakan dan sektor swasta harus memastikan bahwa perencanaan iklim dan energi memperhitungkan risiko anak-anak terhadap cuaca ekstrem, kata laporan UNICEF. Dalam memperkirakan risiko di masa depan, laporan itu tidak memasukkan kebakaran, kekeringan maupun potensi langkah mitigasi yang akan diambil. Laporan itu mengatakan, layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan harus “responsif terhadap guncangan, mudah dipindah dan bersifat inklusif,” untuk membantu anak-anak dan keluarga mereka menghadapi bencara dengan lebih baik. [rd/rs]
Puncak Mont Blanc Menyusut ke Level Terendah Akibat Musim Panas yang Lebih Hangat
Mont Blanc, puncak tertinggi di wilayah Eropa Barat, telah menyusut lebih dari dua meter dalam dua tahun terakhir dan tingginya berkurang ke level terendah sejak pengukuran mulai dilakukan 22 tahun lalu. Penyusutan terjadi di kala musim panas yang lebih hangat mengurangi ukuran tumpukan salju di gunung tersebut, kata para pakar Prancis, pada Kamis (5/10). Sekelompok tim survei yang melakukan pengukuran setiap dua tahun di bulan September mengatakan dalam konferensi pers di Chamonix di Pegunungan Alpen Prancis bahwa ketinggian gunung itu sekarang adalah 4.805,59 meter, atau 2,22 meter lebih rendah dari pengukuran sebelumnya tahun 2021, yaitu 4.807,81 meter. Saat pengukuran akurat melalui satelit GNSS dimulai pada September 2001, ketinggian Mont Blanc mencapai 4.810,40 meter. Selama periode 2001 hingga 2013, ketinggiannya berkisar antara 4.808 dan 4.810 meter, dengan rekor mencapai 4.810,90 meter pada 2007. Akan tetapi, sejak tahun 2013, ketinggiannya terus mengalami penurunan. Puncak berbatu Mont Blanc mencapai ketinggian 4.792 meter, namun tinggi keseluruhannya bergantung pada ukuran tumpukan salju yang ada di sana, yang biasanya meningkat selama musim panas, saat hujan yang turun di atasnya berubah menjadi salju. Farouk Kadded dari Leica Geosystems mengatakan bahwa pada tahun ini untuk pertama kalinya sejak 2015, ketika para ilmuwan mulai mengukur ketinggian gunung pada bulan Juni juga, tumpukan salju di puncak gunung pada bulan September tampak tidak berubah sejak Juni. Para ahli topografi mengatakan, mereka tidak bisa mengambil kesimpulan dari data yang mereka kumpulkan dan bahwa ahli glasiologi, spesialis perubahan iklim dan ilmuwan lain akan memberikan penjelasan teoritis mengenai fenomena penyusutan tersebut. Sebelum GNSS mengukur dengan tingkat akurasi hingga ke sentimeter, para ilmuwan menggunakan sistem GPS yang lebih mendasar, perkiraan trigonometri dan pengukuran barometrik – yang bisa melenceng beberapa meter – untuk mengukur ketinggian gunung. [rd/jm]
Pesawat Antariksa Segera Terbang ke Asteroid Penuh Besi, Cek Tujuannya
NASA akan mengirim misi observasi ke asteroid yang diyakini memiliki kandungan besi melimpah pada Kamis (12/10). Simak misinya.