Suara.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada 4 Januari lalu. Artinya, revisi kedua UU ITE itu resmi berlaku.
Kendati begitu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai bahwa revisi UU ITE jilid dua ini masih memuat pasal karet maupun kontroversi lain seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
“Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Koalisi dalam siaran pers, dikutip Minggu (7/1/2024).
Adapun pasal bermasalah di revisi UU ITE jilid dua ini yakni Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil, Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Koalisi menilai ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis.
“Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran,” lanjut mereka.
Selain itu, ada juga Pasal 28 Ayat 3 dan Pasal 45A Ayat 3 tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Koalisi mengatakan pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.
Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40. Pasal ini dianggap memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.
Koalisi Serius pun menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.
Mereka mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.
“Ketiga, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan,” tegasnya.