Peternakan terapung merupakan salah satu cara terbaru untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Platform seperti itu mungkin biasa digunakan untuk membudidayakan kerang, menanam rumput laut dan tumbuhan laut lainnya. Tetapi siapa sangka platform ini bisa untuk peternakan sapi bertingkat tiga.
Floating Farm telah beroperasi sejak tahun 2019. Sang pemilik menyebutnya sebagai peternakan terapung pertama di dunia. Sapi-sapi Maas-Rijn-Ijssel yang tinggal di sini diberi nama sesuai dengan nama tiga sungai di Belanda.
Target peternakan itu adalah memiliki siklus produksi penuh, dengan menggunakan limbahnya sendiri dan mendaur ulangnya.
Sapi-sapi tersebut memakan jerami dan kulit jeruk yang diperoleh dari mesin jus buah di supermarket di kota pelabuhan. Mereka mengumpulkan air hujan dari kanopi yang juga melindungi ternak itu dari cuaca buruk.
Robot digunakan untuk memerah susu dan mengangkat kotoran sapi-sapi yang akan digunakan sebagai pupuk organik. Peternakan terapung itu menjual susu, keju, mentega yang dihasilkan sapi-sapi di sana.
Minke van Wingerden, pemilik Floating Farm mengatakan, “Negara-negara kini semakin berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri dengan berbagai cara dan tentu saja, perubahan iklim adalah masalah besar, karena banyak negara mengalami banjir atau kemarau. Jadi ketika kita memiliki peternakan terapung, kita beradaptasi terhadap iklim, sehingga kita tetap dapat menghasilkan produk makanan segar bagi warga kota.”
Ia juga meyakini, peternakan terapung dapat memungkinkan orang memiliki akses terhadap produk segar di dekat kota tempat mereka tinggal. Kesejahteraan sapi-sapi tersebut juga diperhatikan secara cermat.
“Banyak dokter hewan yang berkunjung ke sini dan melihat bagaimana keadaan sapi-sapi tersebut. Mereka dalam keadaan sehat. Bulu mereka mengkilat. Mereka memproduksi banyak susu dan kualitas susunya sangat baik. Jadi semuanya berjalan dengan baik dan kami merasa senang,” jelasnya.
Pemilik Floating Farm juga berencana memperluas bisnis mereka di luar peternakan sapi, yaitu mendirikan lahan pertanian vertikal di platform terapung di pelabuhan yang sama. Mereka akan menanam tomat di lahan di dalam ruangan. Lahan itu dialiri air yang sudah dimurnikan dengan uap panas dari kotoran sapi.
Jake Boswell, seorang profesor arsitektur lansekap di Universitas Ohio, yakin bahwa keberhasilan peternakan terapung akan bervariasi di berbagai wilayah.
Ia mengatakan, walau sebagian besar populasi dunia tinggal di kawasan pesisir, hanya sebagian komunitas yang bertani di kawasan yang rawan banjir atau badai.
Boswell juga berpendapat bahwa pertanian atau peternakan seperti itu akan bermanfaat bagi negara-negara yang mengangkut makanan sejauh ratusan hingga ribuan kilometer, yakni untuk mengurangi jejak karbon.
Boswell menambahkan, jumlah karbon yang dibutuhkan untuk meluncurkan dan menjalankan operasi seperti peternakan terapung di Rotterdam sulit untuk diimbangi.
Upaya untuk melakukan lahan pertanian di atas air sudah dilakukan sejak zaman Aztek, yang membangun pulau buatan untuk membudidayakan tanaman pangan di tempat yang kini disebut Meksiko. Ia mengatakan, pertanian di India dan Bangladesh juga sudah menggunakan lahan terapung yang bersifat sementara. Konstruksi lahan tersebut memberi dampak yang lebih baik bagi lingkungan.
“Konstruksi itu tidak dibangun untuk selamanya, hanya untuk satu atau dua musim. Namun itu sangat mudah dibangun dan benar-benar organik. Mereka dapat terurai secara alami. Ini juga memungkinkan petani terus menggunakan lahan untuk pertanian yang bisa hilang. Jadi saya kira, hal itu merupakan penggunaan teknologi baru atau teknologi lama yang sangat cerdas,” komentarnya. [lj/uh]