Jakarta, CNN Indonesia —
Wilayah selatan khatulistiwa Indonesia mengalami kekeringan panjang tahun ini akibat fenomena iklim pengering hujan, El Nino. Kapan anomali iklim ini rampung?
Berdasarkan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui data satelit terkait suhu muka air laut, El Nino yang dimulai sejak bulan Juli tahun ini diprediksi akan berakhir pada Februari-Maret tahun depan.
Model Prediksi ENSO BMKG mengungkap El Nino mencapai level tertingginya pada September 2023. Grafik cenderung stagnan dengan angka di atas +1,5 hingga Oktober.
Pada November, El Nino mulai menurun ke +1,5, sebulan kemudian sekitar +1,25.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pun memprediksi El Nino, berdasarkan data satelit terkait suhu muka air laut, rampung tahun depan.
“Kami prediksi itu akan dimulai sejak bulan Juli tahun ini dan berakhir tahun depan, yaitu di bulan sekitar Februari-Maret,” ucapnya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Aaron Levine, ilmuwan atmosfer di University of Washington, AS, yang penelitiannya berfokus pada El Nino, mengatakan bahwa berdasarkan rekam jejaknya, fenomena ini akan menurun dengan sangat cepat selama musim semi di belahan Bumi utara.
“Hampir semuanya berakhir pada bulan April atau Mei,” ungkap dia.
“Salah satu alasannya adalah El Nino menabur benih kehancurannya sendiri. Ketika El Nino terjadi, air hangat tersebut habis dan volume air hangat menyusut. Akhirnya, bahan bakarnya terkikis,” jelas dia.
Permukaan bumi mungkin tetap hangat untuk sementara waktu. Namun, kata dia, setelah panas dari bawah permukaan hilang dan angin pasat kembali muncul, peristiwa El Nino akan terhenti.
Pada akhir peristiwa El Nino yang lalu, anomali permukaan laut turun dengan sangat cepat dan kita melihat kondisi biasanya beralih ke La Nina – kebalikan dari El Niño yang lebih dingin.
“Kita akan melihat apakah atmosfer akan kembali normal pada musim dingin (Winter di AS Desember 2023-Maret 2024), ketika El Nino mencapai puncaknya.”
Kemungkinan El Nino menguat
Aaron juga bicara soal kemungkinan fenomena ini berkembang menjadi level kuat. Menurutnya, El Nino kuat, dalam definisi paling dasar terjadi ketika suhu rata-rata permukaan laut di Pasifik khatulistiwa setidaknya 1,5 derajat Celsius lebih hangat dari biasanya.
Ini diukur berdasarkan kotak imajiner di sepanjang khatulistiwa, kira-kira di selatan Hawaii, yang dikenal sebagai Indeks Nino 3.4.
“Namun El Nino merupakan fenomena laut-atmosfer yang terjadi bersamaan, dan atmosfer juga memainkan peranan penting,” ujarnya, dikutip dari The Conversation.
Hal yang mengejutkan mengenai El Nino tahun ini adalah bahwa atmosfer tidak merespons sebanyak yang diprediksi berdasarkan kenaikan suhu permukaan laut.
Atmosfer inilah yang menyalurkan dampak El Nino. Panas dari air laut yang hangat menyebabkan udara di atasnya memanas dan naik, sehingga memicu terjadinya curah hujan. Udara itu tenggelam lagi di atas perairan yang lebih dingin.
Naik turunnya atmosfer menciptakan putaran raksasa di atmosfer yang disebut Sirkulasi Walker. Ketika warm pool hangat bergeser ke arah timur, hal itu juga menggeser terjadinya gerakan naik dan turun.
“Reaksi atmosfer terhadap perubahan ini seperti riak di kolam saat Anda melempar batu ke dalamnya. Riak ini memengaruhi gelombang kencang atmosfer (jet stream), yang mengubah pola cuaca.”
“Tahun ini, dibandingkan dengan peristiwa El Niño besar lainnya – seperti tahun 1982-83, 1997-98, dan 2015-16 – kita tidak melihat perubahan yang sama pada lokasi terjadinya curah hujan. Butuh waktu lebih lama untuk berkembang, dan tidak sekuat itu,” tutur Levine.
Senada, indeks-indeks yang memperhitungkan atmosfer di Pasifik, berdasarkan pengukuran ketinggian awan yang dipantau oleh satelit atau tekanan permukaan laut di stasiun pemantauan sejak Mei dan Juni, tidak dalam bentuk yang sangat kuat.
“Bahkan pada September, besaran magnitudo secara keseluruhan masih belum sebesar tahun 1982.”
Ia membuka kemungkinan bahwa ini terkait suhu seluruh daerah tropis yang sangat panas. Namun, karena jarang terjadi dan variabilitas antar-kejadiannya besar, pihaknya sulit menyimpulkan.
“Bagaimana El Niño akan berubah seiring dengan pemanasan global adalah pertanyaan besar dan terbuka,” jelasnya.