Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar otomotif yang juga akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai penyesuaian kandungan lokal mobil listrik ‘made in Indonesia’ tak bisa instan. Butuh waktu, terlebih untuk komponen utama kendaraan listrik, yakni baterai.
Penyesuaian kandungan lokal dipahami sebagai target dari pemerintah soal peta jalan kendaraan listrik. Dalam peta jalan, pemerintah menyusun skema importasi KBLBB dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap sebagai bagian tahap pengembangan industrialisasi KBLBB di Indonesia.
Berdasarkan Peta Jalan Pengembangan KBLBB, pengembangan industri diawali melalui skema Completely Knock Down (CKD) hingga 2024, dilanjutkan dengan Incompletely Knock Down (IKD),dan Importasi secara part by part.
Skema ini menurut Kementerian Perindustrian ditujukan agar diperoleh nilai tambah berupa peningkatan nilai TKDN melalui pendalaman manufaktur secara bertahap hingga 2030.
Di sisi lain, saat ini dua produk mobil tanpa emisi di Indonesia memang telah diproduksi di dalam negeri, yakni Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV.Namun berbicara mengenai komponen, bagian utama pada mobil listrik itu jelas masih diimpor dari negara lain.
Jadi bisa diartikan, kandungan lokal mobil listrik yang saat ini sudah dibuat di Indonesia masih sangat kecil.
“Untuk saat ini belum (sehingga semua termasuk baterai harus impor),” kata dia saat dihubungi, Jumat (23/9).
Ia menjelaskan untuk lepas dari ketergangungan baterai impor, tentu ini harus menunggu pabrik di Indonesia siap melakukan produksi yang menurut pemerintah akan beroperasi paling cepat antara 2024 dan 2025.
Indonesia dipahami merupakan salah satu negara kaya akan sumber daya alam yang menghasilkan material inti pembuatan baterai seperti nikel dan kobalt. Hal ini membuat banyak perusahaan asing yang berinvestasi untuk mendirikan pabrik baterai di dalam negeri.
Hanya saja, Yannes bilang yang harus diperhatikan tidak melulu mengenai baterai buatan dalam negeri. Melainkan bagaimana anak bangsa menguasai teknologi pembuatan baterai.
“Saat ini belum ada pakar yang benar-benar ahli untuk skala industri manufaktur baterai berdensitas tinggi kelas dunia, semua masih bergantung pada teknologi dari negara-negara industri maju,” ucap dia.
“Satu lagi untuk jangka pendek, kita masih harus terus belajar dari China, Jerman, USA, Jepang, Korea dan Polandia,” kata Yannes menambahkan.
Mengingat sudah banyak pabrikan baterai yang berinvestasi di dalam negeri, ia menilai ini menjadi waktu tepat agar Indonesia bisa belajar dari para investor asing itu.
“Jadi sekarang waktunya untuk belajar dari mereka-mereka yang sudah berinvestasi di Indonesia dan kemudian memastikan terjadi transfer of knowledge dan transfer of technology. Pemerintah harus menggenjot peningkatan kualitas dan kapasitas SDM nasional untuk itu,” ucapnya.
Dimulai dari sekarang
Yannes melanjutkan semua kegiatan transfer teknologi atas pembuatan baterai kendaraan listrik tak bisa ditunda. Kata dia jika dimulai sekarang, paling tidak Indonesia dapat menguasai ilmu pembuatan baterai terhitung lima sampai dengan enam tahun ke depan.
“Jika dimulai sekarang, dengan mengirimkan SDM untuk level doktoral diperlukan 5-6 tahun, untuk tenaga operator manufaktur level D3 memerlukan waktu 3-4 tahun,” ungkap dia.
Namun, ia menjelaskan semua itu harus didukung dengan peralatan laboratorium hingga industri berteknologi terbaru.
“Mengingat perkembangan teknologi baterai densitas tinggi berkembang sangat cepat menuju ke tingkat keekonomiannya. Semua harus dimulai sejak sekarang kalau tidak kita akan terlambat,” kata dia.
Ia menambahkan peran pemerintah sangat penting untuk hal ini.
“Peran pemerintah sebagai kunci dan motor penggerak dari migrasi Indonesia menuju negara produsen baterai berkelas dunia lagi-lagi diuji,” ucapnya.
(ryh/mik)